Jumat, 17 Agustus 2012

Lelaki Dengan Dua Tangkai Bunga


Tulip menatap punggung Lelaki yang setengah mati menahan luka. Menahan diri agar tak ada air mata yang tumpah di hadapan dua wanita itu. Lalu Tulip tak mampu lagi memendam amarah pada Lili.
 
“jangan memaksakan cinta yang tak lagi ada untukmu!” bentak Tulip. 
 “diam wanita jalang! Dia milikku! Tetap milikku. Dia mencintai aku setulus hati!” sanggah Lili.
“aku jalang? Hah... lalu kau apa? Liar?” Tanya Tulip. 
“kau perusak atas segala kebahagiaanku! Kau perebut atas segala hal milikku! Tak tahu malu!” Jelas Lili sambil menghapus air mata amarah pada pipi merahnya. Ia murka.
 
“apa aku tersangka? Aku dipilih, bukan memilih. Sadarkah sikapmu seperti apa? Seperti bunga tanpa tangkai di tepi jalan yang kering. Mengharap air yang jelas tak ada pada gurun. Lelaki tak bisa menyirammu lagi dengan cinta sekedar menyegarkanmu. Sebab cintanya telah surut dan larut atas sifatmu. Perlu ku ambilkan sebilah pedang? Agar kau melihat bayanganmu disana? Mengemis cinta bagai paras tak bertopeng!” Kata Tulip.
 Tulip tampak menahan diri. Agar tak meluapkan semua amarah pada Lili. Hanya sesekali menghela napas agar amarah Tulip tak meluap tanpa kendali. Sebab dia memikirkan Lelaki. Yang terengah kelelahan menyembuhkan luka seorang diri. Lelaki hanya menyaksikan pertengakaran dua wanita itu yang terjadi akibat dia. Menyudutkan diri dibalik jendela. Tak mampu melerai sebab darah telah mengalir banyak akibat luka yang kian menganga. Luka pada hati Lelaki yang sengaja di sembunyikan. Agar tak menarik perhatian terhadap dirinya yang kesepian.
“jangan paksa Lelaki mencintaimu lagi! Jangan paksa dia kembali padamu! Dia tak lagi bisa!” seru Tulip pada Lili yang membenci Tulip setengah mati.
“Apa yang kau tau tentang cinta? Kau memiliki cinta karna kau merebut! Tak pernah kau memiliki cinta yang benar-benar datang untukmu bukan? Lalu kau merasa menang karna berhasil merebut? Dasar pecundang!” Ucap Lili dengan senyum sinis yang terukir di wajahnya.
Ucapan Lili benar-benar meninggalkan rasa sakit pada hati Tulip. Tulip melemas karna ucapan yang mencabiknya itu. Menatap Lelaki yang tulip rasa....datang sendiri tanpa pemaksaan dari Tulip. Lalu mengapa Lili tetap berkata bahwa Tulip telah merebut? Mengapa Lelaki sampai hati membiarkan Tulip mendapat anggapan seperti itu?Tiba-tiba saja perasaan marah dan kecewa mampir pada nurani milik Tulip. Membenci Lelaki dan enggan lagi peduli terhadap luka milik Lelaki.
“dengar wanita Murka... aku tak pernah memaksa Lelaki untuk mencintaiku! Dia datang tanpa aku undang! Bagaimana bisa kau bilang aku perebut? Dia yang datang padaku! Sekali lagi dia yang datang padaku! Kau tau karna apa? Karna lelah atas sikapmu itu!” Sayang, Tulip lepas kendali.
“kau perebut!” singkat Lili.
“aku-tak-merebut!” Tegas Tulip.
Lelaki menopang dirinya untuk berjalan hingga sampai di belakang Tulip. Berjalan perlahan dengan sedikit menyeret tubuhnya yang menahan sakit. Lalu merangkul Tulip dengan tangan kanannya. Tulip acuh tak acuh. Sebab kecewa dan marah terlanjur mengusai dirinya.
“Pergilah...cari yang dapat membahagiakanmu. Namun bukan aku. Sudah cukup aku membuatmu bahagia selama ini. Aku mencintai Tulip atas kehendak hatiku sendiri. Otakku saja tak mampu mengendalikan perasaan. Jadi jangan kau salahkan Tulip. Aku ingin bersama dia. Ingin dia yang selanjutnya menjadi pendampingku. Tulip, bukan kau, Lili.” Ucap Lelaki sembari melindungi Tulip dalam dekapannya yang dipererat.
“Kau lihat? Aku menang. Aku tak jalang. Tak perusak. Juga tak perebut. Lalu siapa yang lebih layak disandang sebagai pecundang?” tanya Tulip.
“Bukan aku.” jawab Lili. Lalu pergi membawa perih, luka, dan kecewa.

 
Bandung. Malam hari. 30-06-2012
Nidya :)