“sedang
apa?”
“menunggu
seseorang.” Jawabku.
“memangnya
sudah pasti datang?”
Pertanyaan itu
membuat tenggorokanku mendadak kemarau. Aku hanya menelan ludah, sementara
pandanganku tetap tertuju pada satu arah. Aku duduk di sisi batu karang dibagian
barat pantai, sembari sesekali melempar kerikil ke tengah pantai.
“kenapa diam?”
Perempuan ini
duduk disebelah kananku, kakinya dibiarkan mengayun disisi batu karang,
kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, membuka sebuah buku bercover
usang, tetapi antik.
“kenapa harus
banyak bicara?” jawabku, mengalihkan pandanganku darinya dan memperhatikan
sekitar pantai. Angin bertiup kencang, suara ombak yang beradu dengan karang
ikut serta menemaniku. Angin sibuk memainkan rambutku, juga rambut hitam legam
sepinggang perempuan yang tak ku kenal ini.
“kenapa hanya
diam menunggu? Jika masih mampu bergerak?”
Kau tahu?
Kalimatnya menamparku telak. Mataku terbelalak, tetapi aku tak berminat menatap
lekat pada siapa yang baru saja mengeluarkan kalimat itu dengan santai kepadaku.
“dia bilang, dia
pasti datang.” Aku berbohong.
“bagaimana kalau
ternyata dia lupa jalan pulang? Atau bahkan lupa ada seseorang yang diam
menunggunya disini?”
“dia...pasti
ingat keduanya.”
“lantas, kenapa
masih belum juga datang?”
Entah kalimat
apa yang paling layak aku utarakan untuk perempuan ini. Gadis mungil dengan
ballpoin berwarna merah dengan bandul kepala tokoh Elmo dibagian ujung
ballpoin, Elmo yang sedang tertawa lebar tak tahu apa-apa. Rasanya ingin aku
rampas buku usang ditangannya dan ku sobek sambil berkata “apa yang kau
tahu????hah???” untung saja dia terlalu lugu, aku tak sampai hati. Dan aku
masih ingin sibuk menunggu.
“mungkin sedang
dalam perjalanan pulang.” Jawabku, singkat. Aku tak berminat bicara banyak.
“bersama orang
lain?” Pandangannya tetap menunduk.
“hey! Apa yang
kau tahu tentangku???” aku lepas kendali.
“katanya tak mau
banyak bicara.” Jarinya masih tetap sibuk bergerak menumpahkan tinta, sampai aku
tak di gubris.
“kalau mau tetap
disini, diam. Kalau tak bisa diam, sebaiknya cari tempat lain.”
“kalau mau
mendapatkan apa yang kau mau, jangan diam. Kalau hanya diam, cari saja batu
karang lain yang tak pernah terkikis habis untuk di duduki lelaki pasif
sepertimu.” Ia tetap menulis, dan menulis.
Aku mengepal
telapak tanganku dengan kuat, mengalirkan seluruh emosi dan amarahku pada satu
titik pusat. Dia berdiri tanpa sedikitpun menatapku, lalu pergi meninggalkan
aku di tempat aku terdiam selama berjam-jam setiap harinya, ditemani senja,
angin pantai, juga desir ombak. Menunggu kedatangan seseorang, yang sejujurnya
tak pernah berjanji akan kembali untukku, tapi entah alasan apa yang begitu
meyakinkan aku bahwa aku akan bertemu kembali disini, ditempat terakhir pertemuan
itu.
***
Aku
mencari ballpoin kepunyaanku di meja belajar Clara, adikku. Meja belajarnya
berantakan, tapi aku yakin hatiku juga arah hidupku masih lebih berantakan dari
pada ini. Novel-novel, majalah remaja perempuan tak tertata dengan rapih, tak
ada buku berbobot yang mengandung unsur pelajaran, sepertinya adikku
terpengaruh gaya hidup perempuan labil metropolitan. Aku mengangkat semua novel
serta majalah dan mencari Ballpoin berwarna silver white buah tangan dari Bangkok, saat
Ayahku bertugas disana.
“Manusia
Di Persimpangan.” Ucapku pelan.
Aku memegang
sebuah novel roman remaja milik adikku, bercover merah pekat dengan ilustrasi
design sebuah siluet seorang lelaki sedang berdiri di depan dua jalan gelap yang
bersimpangan. Tertulis Adiya Melia di depan bagian bawah cover novel ini,
sepertinya ini nama dari penulisnya. Lantas aku membalik buku ditangan ku ini,
membaca sinopsisnya dibagian cover belakang, yang tertulis:
“Kepada kamu yang menyampaikan telapak kakiku di
depan persimpangan ini. Menemani langkahku hingga sampai di tempatku berdiri
kini, di depan dua buah jalan berbeda yang memaksaku untuk memilih salah satu
dari keduanya. Jalan yang aku tak tahu akan kutemui apa dan bagaimana. Aku
berdiri diam di tempat ini, diam, tak ingin melangkah satu kalipun, sebab aku
masih menyimpan sedikit harapan untuk melihat bayanganmu datang dari kejauhan
menuju tempat ku berdiri, atau memeluk punggungku dari belakang, untuk kembali,
sekalipun kemungkinan itu hanya setipis jaring laba-laba. Meski katamu dulu,
aku hanya perlu memilih satu jalan, antara pergi melanjutkan, atau kembali untuk
pulang, tetapi tak ada kamu pada keduanya.
Alasan aku tetap diam dipersimpangan ini karena aku
menantikan jalan lain yang barangkali saja tercipta dan di dalamnya ada kamu,
meski sempit, sesak, dan semu. Selama itu denganmu kau pikir aku peduli? Tidak.
Terhitung sejak kepergianmu aku tak memiliki arah lagi, tak berminat memilih
jalan lain selain menunggu kepulanganmu yang tak pasti. Terhitung sejak
kepergianmu harapanku mulai menipis dan terkikis, impianku, anganku, semuanya
melangkah menjauh dariku, terutama tentang kamu, nyaris mati. Tapi aku masih
berdiri di persimpangan ini, sendiri, menanti, untuk sebuah jalan yang disana
kuharap ada aku denganmu beriringan. Aku, manusia dipersimpangan.”
“Lumayan.”
Kemudian aku membuka biografi
penulis dibalik cover belakang, setelah lembar halaman terakhir. Aku melihat
seorang gadis perempuan mungil dengan rambut hitam legam sepinggang, memangku
buku usang yang antik, dan di tengah-tengah buku yang ia genggam terselip
sebuah ballpoin merah berbandul Elmo, ia sedang tersenyum manis menatap kemera.
***
“sedang
apa? Menunggu seseorang? Memang sudah pasti datang? Kalau dia lupa jalan pulang
atau lupa ada yang menunggunya bagaimana?” Kataku.
Aku berdiri disampingnya, memasukkan
telapak tangan kananku ke dalam saku jaket, sementara tangan kiriku memegang
novel roman remaja bercover merah pekat yang aku beli beberapa waktu lalu. Pandanganku
tertuju lurus ke depan, memperhatikan senja di tepi pantai, menelaah keindahan
karya Tuhan. Sementara gadis mungil ini menatap apa yang ku pegang lalu mengangkat
kepalanya perlahan dan menatap parasku, kemudian tertawa kecil tanpa suara.
“Ya...aku
menunggu seseorang. Dan baru saja orang yang ku tunggu tiba. Tak sepertimu.”
Nadanya meledek.
“hah?
Kau menungguku?”
“ya,
sepertinya. Aku menulis Manusia Di Persimpangan berbulan-bulan yang lalu,
terinspirasi dari cerita sahabatku, sekarang dia melanjutkan studynya di Turki.
Namanya Quamilla Faradhisa, sudah pasti kau mengenalnya. Dia bercerita tentangmu, kebetulan aku seorang
penulis, dan cerita tentangmu yang Milla ceritakan cukup menarik.” Jelasnya.
Aku benar-benar kehabisan udara, sesak.
Apalagi mendengar nama perempuan yang sudah lama tak aku temui sosoknya. Dan ku
tunggu hadirnya, disini, di batu karang bagian barat pantai.
“Bulan
ini dia pulang ke Indonesia, membawa Ibrahim, kekasihnya selama 3 tahun dia
kuliah di Turki.”
Demi tuhan! Paru-paruku di remas
habis-habisan.
“
Jadi nanti disaat kamu mendapatinya kembali di tempatmu berdiri, menunggu dan
menanti setiap hari, jangan lemah dan lemas ya, jika tangannya menggegam tangan
orang lain. Sudah pasti itu Ibrahim.”
Oksigen entah mengumpat di sudut bumi
bagian mana. Aku rasanya sekarat.
“Aku
tahu, waktu 3 tiga tahun yang kau habiskan bersama Milla tak singkat. Juga
kepergian Milla yang tanpa peringatan membuatmu tak pernah sepenuhnya rela
bahkan sampai detik ini. Tapi bukankah hidup hanya sebatas jatuh cinta lalu
patah hati dan terus berulang seperti itu?”
Rasanya seluruh syarafku mengencang,
kemudiam terjadi keram luar biasa, mengalirkan rasa sakit yang terlampau sulit
aku gambarkan. Rasanya ngilu.
“Kamu,
Andreas Saputra Widjaya, manusia di persimpangan yang ku maksud, yang kuharap
terhitung hari ini sudah tau jalan mana yang sepatutnya kau pilih.”
Gadis ini mengambil buku yang ku pegang,
aku masih tercengang, perlahan celah mataku mulai berair, aku merasa sangat
payah sebagai lelaki. Dia menandatangani novel ini dengan pesan:
Tuhan tak pernah
salah perhitungan dalam menulis takdir ;)
Aku masih belum bergerak, ia kembali
menyelipkan novel ini di telapak tanganku, aku masih tetap diam saja. Kemudian
dia menepuk pundakku, tersenyum, lalu pergi. Entah harus ku sebut apa gadis
ini, malaikat pembawa kabar buruk, atau justru kabar baik. Sebab darinya aku
tahu, tak perlu lagi aku membuang waktu. Ternyata aku yang dia maksud sebagai
Manusia Di Persimpangan, ya, ternyata aku.
0 komentar:
Posting Komentar