Sabtu, 11 Mei 2013

Manusia Di Persimpangan


“sedang apa?”

“menunggu seseorang.” Jawabku.

“memangnya sudah pasti datang?”

Pertanyaan itu membuat tenggorokanku mendadak kemarau. Aku hanya menelan ludah, sementara pandanganku tetap tertuju pada satu arah. Aku duduk di sisi batu karang dibagian barat pantai, sembari sesekali melempar kerikil ke tengah pantai.

“kenapa diam?”

Perempuan ini duduk disebelah kananku, kakinya dibiarkan mengayun disisi batu karang, kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, membuka sebuah buku bercover usang, tetapi antik.

“kenapa harus banyak bicara?” jawabku, mengalihkan pandanganku darinya dan memperhatikan sekitar pantai. Angin bertiup kencang, suara ombak yang beradu dengan karang ikut serta menemaniku. Angin sibuk memainkan rambutku, juga rambut hitam legam sepinggang perempuan yang tak ku kenal ini.

“kenapa hanya diam menunggu? Jika masih mampu bergerak?”

Kau tahu? Kalimatnya menamparku telak. Mataku terbelalak, tetapi aku tak berminat menatap lekat pada siapa yang baru saja mengeluarkan kalimat itu dengan santai kepadaku.

“dia bilang, dia pasti datang.” Aku berbohong.

“bagaimana kalau ternyata dia lupa jalan pulang? Atau bahkan lupa ada seseorang yang diam menunggunya disini?”

“dia...pasti ingat keduanya.”

“lantas, kenapa masih belum juga datang?”

Entah kalimat apa yang paling layak aku utarakan untuk perempuan ini. Gadis mungil dengan ballpoin berwarna merah dengan bandul kepala tokoh Elmo dibagian ujung ballpoin, Elmo yang sedang tertawa lebar tak tahu apa-apa. Rasanya ingin aku rampas buku usang ditangannya dan ku sobek sambil berkata “apa yang kau tahu????hah???” untung saja dia terlalu lugu, aku tak sampai hati. Dan aku masih ingin sibuk menunggu.

“mungkin sedang dalam perjalanan pulang.” Jawabku, singkat. Aku tak berminat bicara banyak.

“bersama orang lain?” Pandangannya tetap menunduk.

“hey! Apa yang kau tahu tentangku???” aku lepas kendali.

“katanya tak mau banyak bicara.” Jarinya masih tetap sibuk bergerak menumpahkan tinta, sampai aku tak di gubris.

“kalau mau tetap disini, diam. Kalau tak bisa diam, sebaiknya cari tempat lain.”

“kalau mau mendapatkan apa yang kau mau, jangan diam. Kalau hanya diam, cari saja batu karang lain yang tak pernah terkikis habis untuk di duduki lelaki pasif sepertimu.” Ia tetap menulis, dan menulis.

Aku mengepal telapak tanganku dengan kuat, mengalirkan seluruh emosi dan amarahku pada satu titik pusat. Dia berdiri tanpa sedikitpun menatapku, lalu pergi meninggalkan aku di tempat aku terdiam selama berjam-jam setiap harinya, ditemani senja, angin pantai, juga desir ombak. Menunggu kedatangan seseorang, yang sejujurnya tak pernah berjanji akan kembali untukku, tapi entah alasan apa yang begitu meyakinkan aku bahwa aku akan bertemu kembali disini, ditempat terakhir pertemuan itu.




***




            Aku mencari ballpoin kepunyaanku di meja belajar Clara, adikku. Meja belajarnya berantakan, tapi aku yakin hatiku juga arah hidupku masih lebih berantakan dari pada ini. Novel-novel, majalah remaja perempuan tak tertata dengan rapih, tak ada buku berbobot yang mengandung unsur pelajaran, sepertinya adikku terpengaruh gaya hidup perempuan labil metropolitan. Aku mengangkat semua novel serta majalah dan mencari Ballpoin berwarna  silver white buah tangan dari Bangkok, saat Ayahku bertugas disana.

            “Manusia Di Persimpangan.” Ucapku pelan.

Aku memegang sebuah novel roman remaja milik adikku, bercover merah pekat dengan ilustrasi design sebuah siluet seorang lelaki sedang berdiri di depan dua jalan gelap yang bersimpangan. Tertulis Adiya Melia di depan bagian bawah cover novel ini, sepertinya ini nama dari penulisnya. Lantas aku membalik buku ditangan ku ini, membaca sinopsisnya dibagian cover belakang, yang tertulis:

“Kepada kamu yang menyampaikan telapak kakiku di depan persimpangan ini. Menemani langkahku hingga sampai di tempatku berdiri kini, di depan dua buah jalan berbeda yang memaksaku untuk memilih salah satu dari keduanya. Jalan yang aku tak tahu akan kutemui apa dan bagaimana. Aku berdiri diam di tempat ini, diam, tak ingin melangkah satu kalipun, sebab aku masih menyimpan sedikit harapan untuk melihat bayanganmu datang dari kejauhan menuju tempat ku berdiri, atau memeluk punggungku dari belakang, untuk kembali, sekalipun kemungkinan itu hanya setipis jaring laba-laba. Meski katamu dulu, aku hanya perlu memilih satu jalan, antara pergi melanjutkan, atau kembali untuk pulang, tetapi tak ada kamu pada keduanya.

Alasan aku tetap diam dipersimpangan ini karena aku menantikan jalan lain yang barangkali saja tercipta dan di dalamnya ada kamu, meski sempit, sesak, dan semu. Selama itu denganmu kau pikir aku peduli? Tidak. Terhitung sejak kepergianmu aku tak memiliki arah lagi, tak berminat memilih jalan lain selain menunggu kepulanganmu yang tak pasti. Terhitung sejak kepergianmu harapanku mulai menipis dan terkikis, impianku, anganku, semuanya melangkah menjauh dariku, terutama tentang kamu, nyaris mati. Tapi aku masih berdiri di persimpangan ini, sendiri, menanti, untuk sebuah jalan yang disana kuharap ada aku denganmu beriringan. Aku, manusia dipersimpangan.”

            “Lumayan.”

            Kemudian aku membuka biografi penulis dibalik cover belakang, setelah lembar halaman terakhir. Aku melihat seorang gadis perempuan mungil dengan rambut hitam legam sepinggang, memangku buku usang yang antik, dan di tengah-tengah buku yang ia genggam terselip sebuah ballpoin merah berbandul Elmo, ia sedang tersenyum manis menatap kemera.




***




“sedang apa? Menunggu seseorang? Memang sudah pasti datang? Kalau dia lupa jalan pulang atau lupa ada yang menunggunya bagaimana?” Kataku.

            Aku berdiri disampingnya, memasukkan telapak tangan kananku ke dalam saku jaket, sementara tangan kiriku memegang novel roman remaja bercover merah pekat yang aku beli beberapa waktu lalu. Pandanganku tertuju lurus ke depan, memperhatikan senja di tepi pantai, menelaah keindahan karya Tuhan. Sementara gadis mungil ini menatap apa yang ku pegang lalu mengangkat kepalanya perlahan dan menatap parasku, kemudian tertawa kecil tanpa suara.

“Ya...aku menunggu seseorang. Dan baru saja orang yang ku tunggu tiba. Tak sepertimu.” Nadanya meledek.

“hah? Kau menungguku?”

“ya, sepertinya. Aku menulis Manusia Di Persimpangan berbulan-bulan yang lalu, terinspirasi dari cerita sahabatku, sekarang dia melanjutkan studynya di Turki. Namanya Quamilla Faradhisa, sudah pasti kau mengenalnya.  Dia bercerita tentangmu, kebetulan aku seorang penulis, dan cerita tentangmu yang Milla ceritakan cukup menarik.” Jelasnya.

Aku benar-benar kehabisan udara, sesak. Apalagi mendengar nama perempuan yang sudah lama tak aku temui sosoknya. Dan ku tunggu hadirnya, disini, di batu karang bagian barat pantai.

“Bulan ini dia pulang ke Indonesia, membawa Ibrahim, kekasihnya selama 3 tahun dia kuliah di Turki.”

Demi tuhan! Paru-paruku di remas habis-habisan.

“ Jadi nanti disaat kamu mendapatinya kembali di tempatmu berdiri, menunggu dan menanti setiap hari, jangan lemah dan lemas ya, jika tangannya menggegam tangan orang lain. Sudah pasti itu Ibrahim.”

Oksigen entah mengumpat di sudut bumi bagian mana. Aku rasanya sekarat.

“Aku tahu, waktu 3 tiga tahun yang kau habiskan bersama Milla tak singkat. Juga kepergian Milla yang tanpa peringatan membuatmu tak pernah sepenuhnya rela bahkan sampai detik ini. Tapi bukankah hidup hanya sebatas jatuh cinta lalu patah hati dan terus berulang seperti itu?”

Rasanya seluruh syarafku mengencang, kemudiam terjadi keram luar biasa, mengalirkan rasa sakit yang terlampau sulit aku gambarkan. Rasanya ngilu.

“Kamu, Andreas Saputra Widjaya, manusia di persimpangan yang ku maksud, yang kuharap terhitung hari ini sudah tau jalan mana yang sepatutnya kau pilih.”

Gadis ini mengambil buku yang ku pegang, aku masih tercengang, perlahan celah mataku mulai berair, aku merasa sangat payah sebagai lelaki. Dia menandatangani novel ini dengan pesan:

Tuhan tak pernah salah perhitungan dalam menulis takdir ;)

            Aku masih belum bergerak, ia kembali menyelipkan novel ini di telapak tanganku, aku masih tetap diam saja. Kemudian dia menepuk pundakku, tersenyum, lalu pergi. Entah harus ku sebut apa gadis ini, malaikat pembawa kabar buruk, atau justru kabar baik. Sebab darinya aku tahu, tak perlu lagi aku membuang waktu. Ternyata aku yang dia maksud sebagai Manusia Di Persimpangan, ya, ternyata aku.

0 komentar:

Posting Komentar