Saat ini aku layaknya tertatih tanpa sanggahan. Aku melemas tanpa penyemangat. Dinding rapuh ini menopang punggungku yang masih tersisa hangat bekas pelukanmu. Aku menyandarkan diri, yang ku rasa....sudah tak ada arti lagi bagimu. “Lalu untuk apa?” pertanyaan ini yang melulu aku pertanyakan. Aku menanyakan pada zat yang tak menjawab. Angin saja hanya berdesis. Menusuk roma yang merindu pada sentuhan. Terutama kamu.
Sekian waktu, aku bertaruh menghempas rasa sakit jauh-jauh agar tak lagi ku rasa. Aku berjuang mengembalikan kepercayaan yang telah aku luluh lantahkan. Padahal aku sendiri yang membangunnya. “lalu untuk apa?” sebab semua usaha itu hanya memberi hasil yang singkat. Tak bertahan lama. Lalu melebur lagi. Rapuh.
Sekian kali, aku mendapati pisau belati menusukku dari belakang, dan ternyata itu tusukkan yang berasal dari jemari manismu yang lembut itu. Aku hanya melepasnya perlahan. Setengah mati menahan sakit. Sekedar ingin tampak baik saja pada pandangan anggunmu. Pandangan kamu, yang selalu aku nanti. Terutama saat kita bertemu pandang. Ah, aku rindu sensasi itu. “lalu untuk apa?” merasakan sensasi itu, tapi hanya ada pada satu pihak.
Berkali-kali. Kali ini aku tak menggambarkan satu pihak. Ini tentang aku dan kamu. Ya, aku dan kamu. Yang tentu saja bukan kita. Berkali-kali aku dan kamu megalahkan ego masing-masing hanya untuk meredam emosi pada amarah milik sendiri. Menyembunyikan sikap manja agar tampak sebagai sosok yang siap di cinta. Mengurai janji lelucon yang sialnya tak lenyap dari ingatan. Itu semua pernah aku lewati, tentu saja bersama kamu. Tapi ingat, bukan kita yang melewati. “lalu untuk apa?” melewati semua itu tapi tak mengubah semuanya sesuai dengan harapku.
Kamu menjawab pada secarik catatan yang sengaja di buat untuk aku. Disana kamu berkata:
“jangan memaksa Tuhanmu untuk menjawab. Jangan mendesak Dia dengan tuntutan. Sebab aku yakin, Dia lelas atas kalimat ‘lalu untuk apa?’ yang terlampau sering kau ucap dalam percakapanmu dengan Tuhan. Jangan menyalahkan apa yang telah terjadi. Ini baru terjadi, bukan berarti ini garis akhir atas semua yang kau gurat dalam perjuanganmu yang lelah itu. Apa kau tahu? Di luar sana, banyak yang lebih lelah dan lebih berjuang di bandingkan kamu, tapi mereka tak memaki keadaan layaknya dirimu. Aku ingin semua itu, semua yang pernah kau lewati khususnya bersama aku, mampu mendewasakanmu. Bahwa tak selamanya cerita berakhir indah. Bahwa tak selamanya kau temui akhir dari cerita. Sebab ini hidup, yang ceritanya berakhir ketika nyawa melarikan diri dari raganya. Bukan sebuah film, yang ceritanya berakhir apabila skenario telah usai pada lembar terakhir. Jadi, berbahagialah dengan lukamu. Buat kamu tak kalah atas rasa sakit. Sebab perlu kau ingat, satu kali lagi, biar aku perjelas, ini hidup, bukan sebuah film. Tak selamanya yang kau anggap akhir, adalah sebuah akhir.”
Aku hanya tersenyum. Menjabarkan setiap kalimat rumitmu dan merumuskannya dalam satu kalimat. Yang sengaja aku sembunyikan dari indra milik siapapun kecuali Tuhan, jadi hanya ku ucap dalam hati saja. Lalu aku terlelap bahkan tak sempat mengucapkan selamat malam, pada bulan cantik yang temaram.
Bekasi, 08-09-2012.
Nidya :)
0 komentar:
Posting Komentar