Sabtu, 25 Januari 2014

Sisa Sepotong Hati

Aku melihat diriku sendiri tengah berdiri pada ujung tebing, memandang lurus pada satu titik dengan air muka yang parau. Aku melihat jelas diriku mulai menyeret perlahan kaki-kakiku yang tak beralas sambil tersedu menangis pilu, sesenti lalu dua, lalu.......hei! Aku jatuh! Aku melompat dari tebing! Hei tangkap aku! Aku melihatnya dengan jelas! hingga yang terakhir aku lihat adalah logikaku tewas tergeletak.

Aku memungut sisa rasional yang bisa aku pegang untukku, untuk diriku. Sebab atas sepeninggal logikaku yang terhantam dan mati, kini yang ku miliki hanya sepotong hati, itupun miliki banyak memar yang jauh dari samar. Hebat sekali sepotong bagian ini, ribuan luka pernah mampir namun tak pernah sedetikpun membusuk, obat mujarabnyapun hanya waktu, orang baru atau memori yang malfungsi, maksudku lupa kalau pernah miliki luka. Pernah didalamnya laba-laba membuat sarang kemudian cintaku disekap! pernah pula dinding ragu begitu kokoh terbangun didalamnya, sampai ketulusan dan perjuangan merobohkan dinding itu kemudian hancur, lalu cintaku yang tersekap akhirnya terbebas. Atau sewaktu di bagian sepotong  ini, mengalir darah sampai menahun hingga aku pening menanti akhir, sampai datang seseorang dengan tangan mahir mencipta akhir pada darahku yang tak henti mengalir. Hebat bukan? Ini sepotong yang masih kumiliki. Entah yang lain sedang koma atau tak lagi kenali fungsi. 

Lalu setelah segala yang terjadi, yang ku harap kini hanya hatiku tak akan pernah mati, sekalipun kenyataan bahwa dimuka bumi ini tak ada yang abadi mustahil dipungkiri.

Sebab padaku untuk saat ini, hanya sisa sepotong hati.



0 komentar:

Posting Komentar