Senin, 31 Maret 2014

Jodoh Pasti Bertemu

“Selamat ulang tahun, Rama. Semoga semua yang kamu cita-citakan bisa kamu capai ya.. amin.” 

Aku termenung membaca isi pesan singkat itu. Terlebih karena ucapan itu datang dari yang tak aku sangka akan memberi sebuah ucapan.

Hari ini usiaku bertambah, yang berarti waktu hidupku di dunia berkurang. Cepat sekali waktu berjalan sampai-sampai aku merasa baru kemarin aku terjatuh, karena baru belajar naik sepeda tanpa roda kecil bantuan diban belakang, baru kemarin aku berteriak meminta uang bersama teman-teman rumahku ketika pesawat terbang lewat diatas langit, bahkan merasa baru kemarin aku dengan bangga memakai seragam putih abu untuk pertama kali diseumur hidupku.

“iya amin, makasih ya Dilla ucapan sama doanya..” balasku, dan berharap akan mendapat balasan lagi.

Aku meraih tasku. Suara klakson mobil terdengar dari halaman rumah. Aku bergegas mengambil jaket yang tergantung dipintu kamar dan beranjak keluar untuk berangkat menuju kampus.  Selama melangkahkan kaki dari dalam kamar sampai luar rumah, aku tak henti memandang layar ponsel, berharap balasan itu masuk, barharap balasan pesan singkat itu akan ada walau sekedar berbasa-basi berkata ‘sama sama’ atau kalau  bisa bertanya kabar.

“woi brooo! Selamat ulang tahuuunn!!”

Aku mendapat sambutan kasar dari sahabatku begitu aku memasuki mobilnya. Dia meraih leherku dan mengacak-acak rambutku yang kurasa sudah rapih dengan wajah gemas dan girang. Aku hanya mengucap terimakasih dengan senyum yang dipaksakan.

“kenapa lo Ram? Ulang tahun murung amat.” Tanya Adit padaku sembari menyalakan mesin mobil dan perlahan melaju meninggalkan  rumahku.

“Adilla ngucapin ke gue via sms, Dit. Tadi malem, jam 00:43, guenya udah tidur kecapean ngerjain tugas kampus, baru gue bales barusan sebelum gue keluar kamar, gue berharap banget dia bales sms gue lagi dengan bilang samasama atau apa kek gitu Dit. Tapi sampe sekarang belum.” Jelasku.

“yaelah brooo, belum juga sejam. Tungguin aja kali.”

“Udah setahun gue nunggu kejelasan  dari orangnya, sekarang buat balesan sms sesimple itu aja, gue harus nunggu lagi.” Aku menghela napas panjang.

Adilla, dia teman satu kelas ketika aku SMA dulu. Aku tertarik dan jatuh hati padanya, kapan persisnya aku tak tahu. Semenjak aku menyadari ketertarikanku, aku melakukan berbagai cara untuk bisa mengenal lebih jauh. Pernah suatu waktu aku dan Dilla mengunjungi event pameran buku, kebetulan aku dan Dilla memiliki kesamaan minat pada buku dan membaca. Itu kali pertama aku menghabiskan waktu dengan Dilla. Dibawah rintik hujan dan gumpalan polusi kota Jakarta aku menggulung waktu yang kuharap dapat melaju dengan lambat. Aku tak pernah lupa moment itu, itu moment terakhir sebelum, uhm...sebelum Dilla perlahan menjadi asing padaku, dan menjauh.

Aku tak tahu pasti apa sebabnya, apa salahku, atau apa maksud darinya. Yang aku tahu, aku dilanda kebingungan yang tak terjawab. Aku menerka dan menebak seorang diri. Sering aku meminta waktu untuk bertemu dan bicara, walau aku hanya meminta sepermenit  dari waktu hidupnya tetap saja rasanya sulit. Sekalinya aku berhasil, Dilla hanya berdiam diri dan menjawab sekenanya, atau memintaku cepat pergi dan pulang. Padahal maksudku hanya ingin tahu apa salahku, aku meminta maaf, lalu sudah. Jika memang maunya aku tak lagi datang mengusik, tentu aku tak akan. Untuk apa aku memaksakan cinta jika memang tak ada? Untuk apa aku menunggu yang sudah jelas tak ingin aku ada? Mengapa perempuan senang sekali memperumit keadaan yang sebenarnya bisa saja tak menjadi rumit?

“Ram, dengerin gue. Sekarang gini ya, kalo lo emang beneran punya salah yang fatal, ngapain Dilla ngucapin? Pasti Dilla bener-bener ogah dong sama apapun itu yang berhubungan sama lo, apalagi sampe sms lo ngucapin segala macem. Kalo tadi malem pas Dilla sms tapi elonya tidur, berarti emang belum jodoh buat lu komunikasi lagi sama dia. Barangkali entar pas lo megang hp terus tiba-tiba dia bales, baru tuh jodoh. Tenang bro, jodoh pasti ketemu.” Jelas Adit panjang kali lebar. Lalu memarkirkan mobilnya dan melenggang menuju kantin kampus.


***


Jodoh, pasti bertemu. Aku terngiang kalimat Adit tadi siang. Aku merebahkan badanku diatas kasur, ini pukul sebelas malam dan aku baru sampai rumah. Teman-temanku meminta traktiran ulang tahun yang membuatku pulang telat hari ini, rasanya lelah, tapi senang juga bersyukur, Tuhan masih memberiku kesempatan untuk bernapas sampai detik ini. Aku menatap langit-langit kamar, lalu tibatiba saja ponselku bergetar. Dengan semangat dan penuh harap yang meluap aku mengeluarkan ponsel dari saku celanaku,  “semoga ini Dilla!” Kataku dalam hati.

“Thanks Ram traktirannya, sukses terus yaaa... Rachel.”

Aku melepas ponselku dari tangan dan membiarkannya tergeletak disamping lenganku lalu mengambil napas panjang. “Mungkin belum jodoh” kataku, menenangkan diri sendiri. Badanku terasa remuk, aku terlelap tanpa harap yang terpenuhi; mendapat satu balasan pesan singkat.


***


Mataku silau terkena paparan sinar matahari pagi, rupanya si mbok membuka gorden kamarku yang membuat sinar matahari bebas masuk dan membangunkan aku dari tidur lelap yang terasa singkat. Aku mengusap mataku dan menguap beberapa kali, lalu melakukan hal yang biasa dilakukan orang-orang ketika baru saja bangun tidur; mencari ponsel. Sebuah amplop berwarna kuning terpampang dilayar ponselku, dengan nyawa yang belum berkumpul dan dengan penglihatan yang masih buram aku membuka pesan masuk itu.

“sama sama, Ram. Apa kabar?”

Adilla membalas pesanku!

Aku segera membalas pesan itu dengan cepat dan bersemangat. Berkata kabarku baik dan menanyakan bagaimana kabarnya. Aku tak sabar menanti balasannya, aku memutar-mutar ponselku, mengganti posisi tubuhku, dan berkali melihat jam, hingga di berpuluh menit selanjutnya masih tak ada balasan. Aku mengecek pesan itu, dan melihat jam masuk pesan itu, ternyata pesan itu masuk setengah jam setelah aku tertidur.

Hanya senyum kelu yang bisa aku ukir dibibirku. Mungkin memang benar, apa yang dinanti tak selalu datang sesuai harapan, tak selalu datang tepat sesuai perkiraan, tapi bisa jadi justru datang pada saat yang tak dikira namun sesuai yang diimpikan. Jika memang aku belum jodoh untuk kembali berkomunikasi, semoga suatu hati nanti aku jodoh untuk saling mengisi. Ternyata, untuk saat ini, masih belum jodoh. Aku yakin, bagaimanapun dan kapanpun, jodoh pasti bertemu.


Nidya

23 Februari 2014



Sekalipun

Beribu kali aku merasa keliru, beribu kali pula aku menyangkal, maka sekian ribu kali pula aku gagal. Aku tak berhasil meyakinkan diri kalau ini hanyalah perasaan klasik.Aku  tak berhasil menasehati hati kalau ini hanya rasa biasa saja.

Aku bertanya pada diri sendiri “apa aku melantur?”, aku bertanya pada semua “apa aku setengah sadar?” semua jawabnya adalah tidak. Sebab rasanya aku merasa terganggu, terganggu dengan sesuatu yang sama sekali tak berniat menggangguku; yang adalah bayangmu, yang adalah segala hal tentangmu.

Aku ingin sekali membenturkan kepala hingga yang tertinggal hanya logika, namun aku lupa bahwa rasa tak pernah berjalan sama dengan logika. Maka biar saja aku diterpa badai barangkali raguku ikut terbawa.



Apa kau rasa hal yang sama? Atau ini hanya padaku saja?. Aku terus bertanya hingga paham aku dapat. Paham itu berisi tentang aku yang terlanjur menaruh hati padamu. Sekalipun kamu tak memberi izin, sekalipun kamu tak bermaksud, sekalipun kamu tak berharap aku jatuh hati padamu, sekalipun kamu tak rasakan hal yang sama.