Jumat, 11 Mei 2012

Short Story: The Eyes

jadi....gue dapet tugas dari ketua excul gue, namanya Kak Ani. nah tugasnya itu di suruh bikin skenario short movie. satu kelompok 3 orang. yaudah, akhirnya hari kamis kemaren gue sama anggota kelompok gue mulai bikin skenario. ide cerita dari gue, editor dan pengetikan juga gue, dan dua partner gue Febby dan Lia bertugas nyusun susunan kejadian dan penentuan bahasa atau kata-kata. sebelum bikin skenario, kita bertiga buka YouTube dulu, pengen liat contoh short movie kaya gimana. dan kita milih short movie tanpa dialog. alur ceritanya dituntun sama pemeran utama yang jadi narator. setelah selesai, kita bermaksud buat ngumpulin. dan ternyata, ketua excul mading di sekolah gue itu, maunya skenario dengan dialog. akhirnya ngga jadi di kumpulin. dan kita berencana ganti skenario yang sampe sekarang belum di buat. dan skenario yang salah itu gue posting di sini. nih ceritanya....... ---->


The Eyes


Sore itu aku menapaki barisan kayu pada dermaga di ujung pantai. Menyaksikan langit merubah panorama menjadi jingga. Aku seorang diri, nampak berdua dengan bayang kaki yang menempel. Aku menyusuri sisi dermaga. Melangkah perlahan dengan burung pada dermaga yang meramaikan senja itu. Di sudut lain ku dapati seorang lelaki dengan tangan yang menggenggam sebuah kamera. Menangkap peristiwa yang tengah ia potret. Dan aku, termasuk dalam peristiwa yang ia abadikan dalam bentuk gambar. Aku acuh meski tersadar.


Tak pernah ada yang mampu menebak garis takdir yang di tuliskan oleh Yang Maha Agung. Berbagai pertemuan tanpa rencana. Berbagai prahara tanpa izin akan berkunjung. Berbagai akhir tanpa suara. Begitupun dengan hal ini. Entah kebetulan apa yang menjadikan hal kecil sebagai mula dari hubungan yang kini telah berlanjut. Lelaki itu, lelaki dengan kamera pada genggamannya. Masuk ke dalam hidup yang aku singgahi. Menjadikan aku sebagai objek favoritnya. Dan ia menjadikan aku sama halnya dengan jingga yang ku nanti setiap sore. Namun berbeda, dia tak menanti jingga untuk di potret, tetapi aku.


Aku dan dia, bersama dalam hubungan lebih dari sekedar teman. Berbagi kebahagiaan dalam pelukan dan tawa. Kita bersama-sama dalam waktu yang tak sekejap. Aku lalui hari dengan sosok dia sebagai pendamping sisiku yang kosong. Aku menyayangi dia. Sama seperti dia menyayangi aku dan potret yang ia pajang pada sisi ruang itu. Sepetak ruang milik kita berdua, yang bercahaya remang dan di hiasi berbagai moment kebersamaan kita.
Dari sekian gambar yang telah terekam dalam lensa, aku memiliki satu yang paling ku suka. Hanya satu, ketika aku duduk pada sisi dermaga tempat pertemuan pertama itu terjadi. Tapi tak ku dapadi foto itu pada sudut dinding manapun. Aku mengelilingi setiap sudut, sampai rasa ingin tahuku memuncak pada satu lembar yang terlihat pada celah botol-botol cairan di bagian lemari atas. Aku menarik lembar itu dengan kaki yang berjinjit. Sampai hal tak terduga itu membuat duniaku menggelap.


Aku terbangun pada ruangan yang baunya tak ku suka. Seperti  berbau obat namun ruang itu sangat gelap. Aku tak mendapati sosok manapun pada pandanganku. Aku terperanjat karna hanya nada yang ku tangkap. Ada apa dengan mataku? Kemana larinya para cahaya? Ku dapati ketenangan berkat cairan yang di suntikkan pada lengan kiri.


“Navella buta, bahkan permanen. Cairan itu terlalu keras. Tak ada peluang lain selain pendonoran mata.”

Aku seperti tak ingin hidup. Seperti ingin memaksa nyawaku untuk pergi meninggalkan raga. Hanya mereka yang ada di ruangan itu, orang tua, dan sahabat-sahabatku. Ku dapatkan kembali semangat untuk hidup dari peran serta sahabat-sahabatku. 


Yang meyakinkan aku bahwa dunia masih memiliki warna. Meski aku harus menerima masuknya  retina dari tubuh lain. Aku menjalani serangkaian proses yang sebenarnya tak ingin ku lalui. Hanya karna semangat yang di berikan Tuhan melalui orang tua dan sahabatku. Sampai akhirnya proses menyakitkan itu berakhir dengan torehan bahagia. Aku kembali melihat orang-orang yang ku sayangi. Melihat tangis haru orang tua dan sahabat ku. Aku kembali melihat jingga, melihat burung pada sisi dermaga,dan melihat mentari kembali pada peraduannya.


Satu hal yang sedari awal tak ku lihat. Kemana sosok dia? Aku tetap ingin melihat dia, meski dia tak berada sama sisi dengan orang tua dan sahabat-sahabatku, ketika aku terpuruk jatuh. Aku merindukan sepetak ruang itu. Ruang yang pertama kali membuat cahaya lari. Kemana dia? Aku ingin memeluknya barang sebentar saja. Aku berarah lari pada dermaga pertemuan pertama itu. Langkahku tak mampu ku perlambat. Sebab rindu ini semakin membuat aku sesak. Seperti tak tercipta lagi oksigen pada ruang bumi ini. Angin tampak kencang karna berlawanan arah dengan tubuhku. Sampai aku mengerti bahwa angin ingin menunjukkan aku pada kenyataan. Aku berhenti berlari, dan memusatkan pandanganku pada selembar potret yang ku kenal tepat di depan kakiku. Pada selembar potret itu ada aku, tengah duduk pada sisi dermaga. Potret itu tak sempat ku tempel pada dinding ruang milik aku dan dia. Sebab, duniaku terlanjur menggelap. Ku ambil dengan tangan bergetar. Mengapa potret itu ada di sini? Apakah dia ada di sini sambil menanti jingga?


Air mataku tumpah tampa izin. Aku terlalu kelu untuk berkata. Dengan langkah yang terasa berat, aku melangkah penuh ragu. Menuju kursi kayu yang ada di depan sana. Ku taruh selembar potret itu pada sisi kanan. Sebab sisi kiri telah terisi. Ingin ku sentuh pundak sosok yang menempati sisi kiri, belum sempat ku sentuh, sosok itu beranjak pergi. Pergi dengan tongkat kayu yang menopang langkahnya. Aku terjatuh pada deretan kayu dermaga itu. Rindu yang tadi menyesakkan kini menjadi menyakitkan. Semua warna dan cahaya yang dipantulkan pada mataku, sesungguhnya bukan milikku. Melainkan milik dia, lelaki yang menjadikan aku sebagai objek favoritnya. Yang kini melangkah jauh dari aku dengan tongkat dan dunia baru dia yang gelap.

       The End....



Created by :

Febby N. Septiani
Lia Elviany
Nidya amalia

oke, kaya gitu ceritanya. jadi si cowok itu yang ngasih donor mata. tapi dia ngga mau masuk lagi ke kehidupan Navella. mungkin bagi cowok itu, dua mata dia di tubuh Navella udah cukup sebagai pengganti kehadiran dia. ironis.... 

0 komentar:

Posting Komentar