The Eyes
Sore itu aku menapaki barisan kayu pada dermaga di ujung pantai.
Menyaksikan langit merubah panorama menjadi jingga. Aku seorang diri, nampak
berdua dengan bayang kaki yang menempel. Aku menyusuri sisi dermaga. Melangkah
perlahan dengan burung pada dermaga yang meramaikan senja itu. Di sudut lain ku
dapati seorang lelaki dengan tangan yang menggenggam sebuah kamera. Menangkap
peristiwa yang tengah ia potret. Dan aku, termasuk dalam peristiwa yang ia
abadikan dalam bentuk gambar. Aku acuh meski tersadar.
Tak pernah ada yang mampu menebak garis takdir yang di
tuliskan oleh Yang Maha Agung. Berbagai pertemuan tanpa rencana. Berbagai
prahara tanpa izin akan berkunjung. Berbagai akhir tanpa suara. Begitupun
dengan hal ini. Entah kebetulan apa yang menjadikan hal kecil sebagai mula dari
hubungan yang kini telah berlanjut. Lelaki itu, lelaki dengan kamera pada
genggamannya. Masuk ke dalam hidup yang aku singgahi. Menjadikan aku sebagai
objek favoritnya. Dan ia menjadikan aku sama halnya dengan jingga yang ku nanti
setiap sore. Namun berbeda, dia tak menanti jingga untuk di potret, tetapi aku.
Aku dan dia, bersama dalam hubungan lebih dari sekedar
teman. Berbagi kebahagiaan dalam pelukan dan tawa. Kita bersama-sama dalam
waktu yang tak sekejap. Aku lalui hari dengan sosok dia sebagai pendamping
sisiku yang kosong. Aku menyayangi dia. Sama seperti dia menyayangi aku dan
potret yang ia pajang pada sisi ruang itu. Sepetak ruang milik kita berdua,
yang bercahaya remang dan di hiasi berbagai moment kebersamaan kita.
Dari sekian gambar yang telah terekam dalam lensa, aku
memiliki satu yang paling ku suka. Hanya satu, ketika aku duduk pada sisi
dermaga tempat pertemuan pertama itu terjadi. Tapi tak ku dapadi foto itu pada
sudut dinding manapun. Aku mengelilingi setiap sudut, sampai rasa ingin tahuku
memuncak pada satu lembar yang terlihat pada celah botol-botol cairan di bagian
lemari atas. Aku menarik lembar itu dengan kaki yang berjinjit. Sampai hal tak
terduga itu membuat duniaku menggelap.
Aku terbangun pada ruangan yang baunya tak ku suka.
Seperti berbau obat namun ruang itu
sangat gelap. Aku tak mendapati sosok manapun pada pandanganku. Aku terperanjat
karna hanya nada yang ku tangkap. Ada apa dengan mataku? Kemana larinya para cahaya? Ku
dapati ketenangan berkat cairan yang di suntikkan pada lengan kiri.
“Navella buta, bahkan permanen. Cairan itu terlalu keras. Tak ada peluang lain selain pendonoran mata.”
Aku seperti tak ingin hidup. Seperti ingin memaksa nyawaku
untuk pergi meninggalkan raga. Hanya mereka yang ada di ruangan itu, orang tua,
dan sahabat-sahabatku. Ku dapatkan kembali semangat untuk hidup dari peran
serta sahabat-sahabatku.
Yang meyakinkan aku bahwa dunia masih memiliki warna. Meski
aku harus menerima masuknya retina dari
tubuh lain. Aku menjalani serangkaian proses yang sebenarnya tak ingin ku
lalui. Hanya karna semangat yang di berikan Tuhan melalui orang tua dan
sahabatku. Sampai akhirnya proses menyakitkan itu berakhir dengan torehan
bahagia. Aku kembali melihat orang-orang yang ku sayangi. Melihat tangis haru
orang tua dan sahabat ku. Aku kembali melihat jingga, melihat burung pada sisi
dermaga,dan melihat mentari kembali pada peraduannya.
Satu hal yang sedari awal tak ku lihat. Kemana sosok dia?
Aku tetap ingin melihat dia, meski dia tak berada sama sisi dengan orang tua
dan sahabat-sahabatku, ketika aku terpuruk jatuh. Aku merindukan sepetak ruang
itu. Ruang yang pertama kali membuat cahaya lari. Kemana dia? Aku ingin memeluknya barang sebentar saja. Aku berarah lari pada dermaga pertemuan pertama itu. Langkahku
tak mampu ku perlambat. Sebab rindu ini semakin membuat aku sesak. Seperti tak
tercipta lagi oksigen pada ruang bumi ini. Angin tampak kencang karna
berlawanan arah dengan tubuhku. Sampai aku mengerti bahwa angin ingin
menunjukkan aku pada kenyataan. Aku berhenti berlari, dan memusatkan
pandanganku pada selembar potret yang ku kenal tepat di depan kakiku. Pada
selembar potret itu ada aku, tengah duduk pada sisi dermaga. Potret itu tak
sempat ku tempel pada dinding ruang milik aku dan dia. Sebab, duniaku terlanjur
menggelap. Ku ambil dengan tangan bergetar. Mengapa potret itu ada di sini?
Apakah dia ada di sini sambil menanti jingga?
Air mataku tumpah tampa izin. Aku terlalu kelu untuk
berkata. Dengan langkah yang terasa berat, aku melangkah penuh ragu. Menuju kursi
kayu yang ada di depan sana. Ku taruh selembar potret itu pada sisi kanan.
Sebab sisi kiri telah terisi. Ingin ku sentuh pundak sosok yang menempati sisi
kiri, belum sempat ku sentuh, sosok itu beranjak pergi. Pergi dengan tongkat
kayu yang menopang langkahnya. Aku terjatuh pada deretan kayu dermaga itu.
Rindu yang tadi menyesakkan kini menjadi menyakitkan. Semua warna dan cahaya yang
dipantulkan pada mataku, sesungguhnya bukan milikku. Melainkan milik dia,
lelaki yang menjadikan aku sebagai objek favoritnya. Yang kini melangkah jauh
dari aku dengan tongkat dan dunia baru dia yang gelap.
The End....
Created by :
Febby
N. Septiani
Lia
Elviany
Nidya
amalia
oke, kaya gitu ceritanya. jadi si cowok itu yang ngasih donor mata. tapi dia ngga mau masuk lagi ke kehidupan Navella. mungkin bagi cowok itu, dua mata dia di tubuh Navella udah cukup sebagai pengganti kehadiran dia. ironis....
0 komentar:
Posting Komentar