Rabu, 14 Januari 2015

Ibu

Tanganmu obat terampuh
Doamu pemberi teduh
Kau penggugur segala peluh

Tatap matamu menabur rasa bahagia
Dikakimu Tuhan beri surga
Bukti derajatmu tiada dua

Seluruh mimpiku teratas namamu
Aku tak berjanji mampu bahagiakanmu
Apalagi membalas segalamu

Namun doaku selalu
Semoga Tuhan selalu menjagamu
Dan surga terindah dijanjikan-Nya untukmu

Ibu....

Senin, 31 Maret 2014

Jodoh Pasti Bertemu

“Selamat ulang tahun, Rama. Semoga semua yang kamu cita-citakan bisa kamu capai ya.. amin.” 

Aku termenung membaca isi pesan singkat itu. Terlebih karena ucapan itu datang dari yang tak aku sangka akan memberi sebuah ucapan.

Hari ini usiaku bertambah, yang berarti waktu hidupku di dunia berkurang. Cepat sekali waktu berjalan sampai-sampai aku merasa baru kemarin aku terjatuh, karena baru belajar naik sepeda tanpa roda kecil bantuan diban belakang, baru kemarin aku berteriak meminta uang bersama teman-teman rumahku ketika pesawat terbang lewat diatas langit, bahkan merasa baru kemarin aku dengan bangga memakai seragam putih abu untuk pertama kali diseumur hidupku.

“iya amin, makasih ya Dilla ucapan sama doanya..” balasku, dan berharap akan mendapat balasan lagi.

Aku meraih tasku. Suara klakson mobil terdengar dari halaman rumah. Aku bergegas mengambil jaket yang tergantung dipintu kamar dan beranjak keluar untuk berangkat menuju kampus.  Selama melangkahkan kaki dari dalam kamar sampai luar rumah, aku tak henti memandang layar ponsel, berharap balasan itu masuk, barharap balasan pesan singkat itu akan ada walau sekedar berbasa-basi berkata ‘sama sama’ atau kalau  bisa bertanya kabar.

“woi brooo! Selamat ulang tahuuunn!!”

Aku mendapat sambutan kasar dari sahabatku begitu aku memasuki mobilnya. Dia meraih leherku dan mengacak-acak rambutku yang kurasa sudah rapih dengan wajah gemas dan girang. Aku hanya mengucap terimakasih dengan senyum yang dipaksakan.

“kenapa lo Ram? Ulang tahun murung amat.” Tanya Adit padaku sembari menyalakan mesin mobil dan perlahan melaju meninggalkan  rumahku.

“Adilla ngucapin ke gue via sms, Dit. Tadi malem, jam 00:43, guenya udah tidur kecapean ngerjain tugas kampus, baru gue bales barusan sebelum gue keluar kamar, gue berharap banget dia bales sms gue lagi dengan bilang samasama atau apa kek gitu Dit. Tapi sampe sekarang belum.” Jelasku.

“yaelah brooo, belum juga sejam. Tungguin aja kali.”

“Udah setahun gue nunggu kejelasan  dari orangnya, sekarang buat balesan sms sesimple itu aja, gue harus nunggu lagi.” Aku menghela napas panjang.

Adilla, dia teman satu kelas ketika aku SMA dulu. Aku tertarik dan jatuh hati padanya, kapan persisnya aku tak tahu. Semenjak aku menyadari ketertarikanku, aku melakukan berbagai cara untuk bisa mengenal lebih jauh. Pernah suatu waktu aku dan Dilla mengunjungi event pameran buku, kebetulan aku dan Dilla memiliki kesamaan minat pada buku dan membaca. Itu kali pertama aku menghabiskan waktu dengan Dilla. Dibawah rintik hujan dan gumpalan polusi kota Jakarta aku menggulung waktu yang kuharap dapat melaju dengan lambat. Aku tak pernah lupa moment itu, itu moment terakhir sebelum, uhm...sebelum Dilla perlahan menjadi asing padaku, dan menjauh.

Aku tak tahu pasti apa sebabnya, apa salahku, atau apa maksud darinya. Yang aku tahu, aku dilanda kebingungan yang tak terjawab. Aku menerka dan menebak seorang diri. Sering aku meminta waktu untuk bertemu dan bicara, walau aku hanya meminta sepermenit  dari waktu hidupnya tetap saja rasanya sulit. Sekalinya aku berhasil, Dilla hanya berdiam diri dan menjawab sekenanya, atau memintaku cepat pergi dan pulang. Padahal maksudku hanya ingin tahu apa salahku, aku meminta maaf, lalu sudah. Jika memang maunya aku tak lagi datang mengusik, tentu aku tak akan. Untuk apa aku memaksakan cinta jika memang tak ada? Untuk apa aku menunggu yang sudah jelas tak ingin aku ada? Mengapa perempuan senang sekali memperumit keadaan yang sebenarnya bisa saja tak menjadi rumit?

“Ram, dengerin gue. Sekarang gini ya, kalo lo emang beneran punya salah yang fatal, ngapain Dilla ngucapin? Pasti Dilla bener-bener ogah dong sama apapun itu yang berhubungan sama lo, apalagi sampe sms lo ngucapin segala macem. Kalo tadi malem pas Dilla sms tapi elonya tidur, berarti emang belum jodoh buat lu komunikasi lagi sama dia. Barangkali entar pas lo megang hp terus tiba-tiba dia bales, baru tuh jodoh. Tenang bro, jodoh pasti ketemu.” Jelas Adit panjang kali lebar. Lalu memarkirkan mobilnya dan melenggang menuju kantin kampus.


***


Jodoh, pasti bertemu. Aku terngiang kalimat Adit tadi siang. Aku merebahkan badanku diatas kasur, ini pukul sebelas malam dan aku baru sampai rumah. Teman-temanku meminta traktiran ulang tahun yang membuatku pulang telat hari ini, rasanya lelah, tapi senang juga bersyukur, Tuhan masih memberiku kesempatan untuk bernapas sampai detik ini. Aku menatap langit-langit kamar, lalu tibatiba saja ponselku bergetar. Dengan semangat dan penuh harap yang meluap aku mengeluarkan ponsel dari saku celanaku,  “semoga ini Dilla!” Kataku dalam hati.

“Thanks Ram traktirannya, sukses terus yaaa... Rachel.”

Aku melepas ponselku dari tangan dan membiarkannya tergeletak disamping lenganku lalu mengambil napas panjang. “Mungkin belum jodoh” kataku, menenangkan diri sendiri. Badanku terasa remuk, aku terlelap tanpa harap yang terpenuhi; mendapat satu balasan pesan singkat.


***


Mataku silau terkena paparan sinar matahari pagi, rupanya si mbok membuka gorden kamarku yang membuat sinar matahari bebas masuk dan membangunkan aku dari tidur lelap yang terasa singkat. Aku mengusap mataku dan menguap beberapa kali, lalu melakukan hal yang biasa dilakukan orang-orang ketika baru saja bangun tidur; mencari ponsel. Sebuah amplop berwarna kuning terpampang dilayar ponselku, dengan nyawa yang belum berkumpul dan dengan penglihatan yang masih buram aku membuka pesan masuk itu.

“sama sama, Ram. Apa kabar?”

Adilla membalas pesanku!

Aku segera membalas pesan itu dengan cepat dan bersemangat. Berkata kabarku baik dan menanyakan bagaimana kabarnya. Aku tak sabar menanti balasannya, aku memutar-mutar ponselku, mengganti posisi tubuhku, dan berkali melihat jam, hingga di berpuluh menit selanjutnya masih tak ada balasan. Aku mengecek pesan itu, dan melihat jam masuk pesan itu, ternyata pesan itu masuk setengah jam setelah aku tertidur.

Hanya senyum kelu yang bisa aku ukir dibibirku. Mungkin memang benar, apa yang dinanti tak selalu datang sesuai harapan, tak selalu datang tepat sesuai perkiraan, tapi bisa jadi justru datang pada saat yang tak dikira namun sesuai yang diimpikan. Jika memang aku belum jodoh untuk kembali berkomunikasi, semoga suatu hati nanti aku jodoh untuk saling mengisi. Ternyata, untuk saat ini, masih belum jodoh. Aku yakin, bagaimanapun dan kapanpun, jodoh pasti bertemu.


Nidya

23 Februari 2014



Sekalipun

Beribu kali aku merasa keliru, beribu kali pula aku menyangkal, maka sekian ribu kali pula aku gagal. Aku tak berhasil meyakinkan diri kalau ini hanyalah perasaan klasik.Aku  tak berhasil menasehati hati kalau ini hanya rasa biasa saja.

Aku bertanya pada diri sendiri “apa aku melantur?”, aku bertanya pada semua “apa aku setengah sadar?” semua jawabnya adalah tidak. Sebab rasanya aku merasa terganggu, terganggu dengan sesuatu yang sama sekali tak berniat menggangguku; yang adalah bayangmu, yang adalah segala hal tentangmu.

Aku ingin sekali membenturkan kepala hingga yang tertinggal hanya logika, namun aku lupa bahwa rasa tak pernah berjalan sama dengan logika. Maka biar saja aku diterpa badai barangkali raguku ikut terbawa.



Apa kau rasa hal yang sama? Atau ini hanya padaku saja?. Aku terus bertanya hingga paham aku dapat. Paham itu berisi tentang aku yang terlanjur menaruh hati padamu. Sekalipun kamu tak memberi izin, sekalipun kamu tak bermaksud, sekalipun kamu tak berharap aku jatuh hati padamu, sekalipun kamu tak rasakan hal yang sama.



Senin, 27 Januari 2014

Sajak Rindu

Sayang, kau tahu?
Aku sedang dirindung pilu
Hati kelu menahan sendu
Hati membiru ada yang berderu
Berderu seru hingga meribu

Sayang, kau tahu?
Penyebab semua karena ku rindu
Sungguh aku merindu
Merindu kamu meski tak tahu

Sayang, kau rasa?
Aku gelisah tiada arah
Aku resah semakin parah
Aku tak bisa menahan rindu dengan pasrah

Sayang, kau dengar?
Aku ingin bersandar dalam pelukmu
Aku ingin bahagia hanya dengan tawamu
Aku ingin tenang dengan genggammu
Aku ingin semua yang denganmu

Sayang, kau mau?
Cabut benalu rindu
Padamkan api-api itu
Lupakan yang telah lalu
Lalu kita mulai yang baru?

Aku mau, jangan buat aku menunggu
Nanti aku sekarat ditikam rindu


Sabtu, 25 Januari 2014

Sisa Sepotong Hati

Aku melihat diriku sendiri tengah berdiri pada ujung tebing, memandang lurus pada satu titik dengan air muka yang parau. Aku melihat jelas diriku mulai menyeret perlahan kaki-kakiku yang tak beralas sambil tersedu menangis pilu, sesenti lalu dua, lalu.......hei! Aku jatuh! Aku melompat dari tebing! Hei tangkap aku! Aku melihatnya dengan jelas! hingga yang terakhir aku lihat adalah logikaku tewas tergeletak.

Aku memungut sisa rasional yang bisa aku pegang untukku, untuk diriku. Sebab atas sepeninggal logikaku yang terhantam dan mati, kini yang ku miliki hanya sepotong hati, itupun miliki banyak memar yang jauh dari samar. Hebat sekali sepotong bagian ini, ribuan luka pernah mampir namun tak pernah sedetikpun membusuk, obat mujarabnyapun hanya waktu, orang baru atau memori yang malfungsi, maksudku lupa kalau pernah miliki luka. Pernah didalamnya laba-laba membuat sarang kemudian cintaku disekap! pernah pula dinding ragu begitu kokoh terbangun didalamnya, sampai ketulusan dan perjuangan merobohkan dinding itu kemudian hancur, lalu cintaku yang tersekap akhirnya terbebas. Atau sewaktu di bagian sepotong  ini, mengalir darah sampai menahun hingga aku pening menanti akhir, sampai datang seseorang dengan tangan mahir mencipta akhir pada darahku yang tak henti mengalir. Hebat bukan? Ini sepotong yang masih kumiliki. Entah yang lain sedang koma atau tak lagi kenali fungsi. 

Lalu setelah segala yang terjadi, yang ku harap kini hanya hatiku tak akan pernah mati, sekalipun kenyataan bahwa dimuka bumi ini tak ada yang abadi mustahil dipungkiri.

Sebab padaku untuk saat ini, hanya sisa sepotong hati.



Jumat, 17 Januari 2014

Semoga Penatku Hanya Tamu

Ada rasa bosan teruntuk lagi dan lagi menghela napas lalu mengelus dada, penat. Sedemikian aku mencoba untuk melulu berkata pada diri pula hati bahwa aku harus banyak mengucap syukur. Syukur karena miliki pelengkap terlengkap sepertimu. Bukan aku ingin menjadi Pengeluh yang unggul, namun, Sayangku, keluhanmu terhadapku memalu paku tajam pada otakku. Yang aku adalah dinding keras sedang kamu adalah Pemaku yang lembut. Tancapanmu bertubi namun tak juga tertanam kuat, sakit sekali. Ketahuilah aku ingin menjadi apa adanya aku lalu kau tetap mencintai keseluruhanku.

Aku tidak tahu harus bagaimana sekalipun aku tahu aku salah. Aku lelah sekali berlaku salah, apalagi jika benarku masih saja masuk hitungan salah. Sebagaimana ocehanmu yang memusingkan itu, pula yang paling cepat aku rindu jika kamu mendadak membisu. Dinginku mungkin sudah menjadi gunungan es padaku yang ingin sekali kau lelehkan, tetapi ketahuilah bahwa kulit tanganku dan tatap mataku masih cukup bisa menghangatkanmu. Aku makhluk Tuhan yang juga punya celah. Sepertimu.

Pada akhirnya aku hanya dapat menghela napas, berkata aku penat, lalu tak sudah. Ini adalah kali kesekian aku memusingkan diriku dimatamu, diriku bagimu, dan teruntuk kamu. Aku ingin sekali menyamaratakan aku dengan kedudukanmu, kehebatanmu, juga ketulusanmu dalam urusan mencinta, namu Kekasih, aku masih kalah karena terlampau banyak salah dan masih saja berlaku salah bahkan yang sudah-sudah.


Maka Tuhan ampuni aku jika aku masih tak tahu diri atas nikmat-Mu, bahkan terhadap Penjaga yang sedemikian rupa nyaris sempurna untukku namun aku masih mengucap keluhan. Kuharap ini hanya kunjungan tamu. Tamu yang sesekali datang sebagai pelengkap bagi daftar hadir cerita yang mampir kepadaku. Semoga penatku, hanya tamu.







Kamis, 07 November 2013

Kau

Kau yang kerap kali membuat tawaku lepas ketika air mata tengah menggenang dipelupuk mataku, aku tertawa sembari menyeka, lega, bahagia

Kau yang mengobati luka di batin dan pikiranku dengan tingkah konyolmu itu, kau tak tanggung dalam urusan menghibur, terutama jika aku tengah sangat kabur dalam melihat hal-hal indah di hidupku

Kau yang menjaga setiap inci kulit dan tubuhku dari luka yang menyakitkanku, nyamukpun tak kau izinkan menyentuhku, ku rasa

Kau yang mengemut darahku jikalau jariku luka tertusuk jarum, itu manis, Sayang

Kau penyorak unggul dalam hariku agar aku tetap semangat

Kau yang mengucapkan selamat malam dan mengecupku lewat mimpi dan menghantarkan doa-doa terbaik untukku dengan tulus dan penuh harap

Kau yang membangunkanku dikala pagi dan mengirim peluk lembut lewat butiran embun sejuk

Kau yang menangkapku ketika aku terjatuh, lalu kau angkat aku perlahan hingga aku kembali berdiri tegak seperti semula, layaknya aku wanita paling tangguh sejagat raya setelah ibumu dan ibuku

Meski, terkadang, mungkin kau tak sengaja menjatuhkanku dan lupa menangkapku

Kau, kau pelengkap, sungguh

Atas semua itu aku ucap Terimakasih, Sayang....

Bersamamu aku bahagia.
Perlukah aku bersumpah?




Pergilah...

Semilir angin dimalam ini menelusuk romaku
Aku merasa tersusuk namun bagiku ini tak seberapa bila dibanding dengan kamu terhadapku

Aku masih saja sibuk mengingat kamu, membahas kamu, juga...berharap padamu
Aku tahu ini perbuatan nihil, membuang detik-detik hidup yang hanya ada satu kali saja
Namun Sayang, maunya hati siapa yang mengendali?

Kau masih anganku, harapku, mimpiku, sedihku, juga lukaku
Masih kau! sayang sekali masih saja kau
Ah, aku bak siput yang pergerakannya amatlah lamban
Dan rasa ini sepertinya sudah mengakar kuat dalam sel-sel tubuhku

Aku ingin sekali berkata "Sudahlah, aku akan pergi..."
Namun nyatanya hanya sebatas sampai di ujung lidah
Untuk meletup keluar sangatlah susah
Ah, payah!

Mungkin aku terlalu pelit menawarkan diri pada banyak hal yang lebih menarik
Tetap saja minat otakku, hatiku, tertarik ke arahmu, menujumu
Lagi-lagi kamu

Sayang, pergilah....

Cepatlah minggir dari hidupku yang mau tak mau kau tempati ini
Sudah cukup ku rasa aku berdiam diri dalam harapan tak bertepi
Usahlah kau pikirkan aku karena memang nyatanya kau ingat aku saat tak miliki siapapun saja
Acapkali kau jadikan aku tempat singgahmu saja bukan?

Maka sudahlah, Sayang
Sudah ya, sampai dihari ini saja
Aku begitu lelah membahagiakan diri sendiri dalam keadaan membatin

Pergilah....

Kau akan baik saja hidup tanpaku meski aku tak tahu setelah ini hidupku akan seperti apa
Aku sudah kering kerontang untuk terus menyegarkan harimu itu
Toh, masih ada dia, dia, dan dia yang biasa kau datangi bukan?

Pergilah....

Aku mendoakanmu bahagia, selalu
Do'akan aku, semoga aku bahagia memulai hidup baru yang adalah tanpamu




Sabtu, 02 November 2013

Denganmu

Kamu suka sekali melucuti pikiran baik di otakmu hingga yang tertinggal di benakmu tinggalah yang tak perlu
Apa cinta yang terlalu menggebu sebegini merepotkan diri sendiri?

Kamu mengkhawatirkan sesuatu yang sayangnya hanya Tuhan yang tahu
Sayang, bagiku saat terbaik adalah saat ini
Saat kita masih bersama, masih habiskan waktu berdua
Maka berjuanglah kita untuk mengabadikan saat terbaik ini hingga kita merenta

Aku ingin denganmulah aku terkejut pada banyak hal yang terjadi di masa depan
Aku masa depanmu bukan?
Aku yang ada pada setiap esokmu dan selalu begitu ku harap
Hingga kita telah sampai pada akhir dari segala punghujung kehidupan yang mereka namai kematian

Bahkan disaat rohku akan keluar yang adalah disampingmu dan masih tetap bersamamu,
aku yakin aku akan tetap sangat bahagia
sebab dengan demikian aku tahu, bahwa kamu benar selamanya aku hidup
ketika aku sudah tak lagi bernyawapun, aku akan tetap mencintaimu

Ada banyak anak-anak kisah yang menunggu kita di ujung sana
Mereka akan kita temui satu persatu dengan letupan emosi yang tak kita tahu
Tapi tahukah sayang? selama itu denganmu, tak ada yang patut aku khawatirkan

Denganmu aku begitu tenang
Denganmu aku merasa begitu imbang

Walau tak dapat dipungkiri perseteruan memang mutlak sebagai pelengkap sebuah hubungan
Biarlah, secara tidak sadar kita tengah diantar pada kedewasaan

Sudahlah sayang, percayalah kita akan selalu bersama
Karena hanya dengan kamu aku akan habiskan waktu
Karena hanya dengan satu aku bersedia merenta dan menua
Yang adalah....denganmu




Peluk, Rindu, Kamu

Kau sedang mencariku dalam mimpimu ya?
Berharap di mimpi aku memelukmu seperti biasa
Kau sudah rasa bukan pagi begitu hambar yang tanpa pelukku?

Ah, betapa jarak membatasi
Melipat gandakan rindu hingga bertumpuk
Ini pelatihankah? Aku rasa aku tak akan sanggup
Cinta lebih baik berada dalam dekat, setahuku

Sayang, ada banyak hati yang menawarkan tempat untuk diisi
Tapi bukankah rasa percaya membuat seseorang menjadi setia?
Aku percaya padamu, aku yakin begitupun kamu
Maka berjanjilah kita untuk saling setia

Ah iya! aku suka sekali melihat sekeliling yang iri padaku sebab miliki seorang sepertimu
Kau hadiah yang sengaja ditali-pitakan Tuhan untukku, ku rasa
Tak usahlah kau cari-cari aku di mimpimu itu
Jelas jelas aku nyata untukmu

Tak usah kau menggigil seperti itu, jelek!
Pelukku selalu dan selalu untukmu
Bermimpilah kita bertemu
Sebab aku merasa sangat merindu

Merindu kamu!
Si pengganggu yang sukses sekali membuatku candu

Sini! Biar bayangmu ku peluk
Biarkan aku bebas melingkarkan lengan dipinggangmu


Selamat malam,


Kamu