Selasa, 26 Februari 2013

Like An Espresso Coffee (Cerpen)



Siang ini Jakarta teduh. Aku tebak langit sedang murung karena awan sudah keberatan menampung terlalu banyak air. Ini menuju pukul 6 sore, biasanya lembayung senja sudah menyuguhkan keindahannya. Berwarna oranye keemasan diujung langit. Tapi hari ini dia tidak muncul. Mungkin sedang penat.

Aku duduk di kursi bar yang viewnya menghadap keluar. Aku menopang daguku dengan tangan. Melihat lalu lalang jalanan Jakarta dari dalam kedai kopi. Mataku berpendaran melihat sekeliling ruangan. Tetap sepi. Tetap sama. Walau sebenarnya ramai. Aku memang sering sekali merasa sendiri sekalipun kenyataannya riuh ramai. Aku menikmati sendiri. Apalagi sepi. Tapi hatiku mengeluh minta diisi penghuni. Yang benar-benar aku miliki.

Aku percaya, bahwa hati tak selalu sendiri. Tak selalu tidak berpenghuni. Termasuk hatiku. Sejujurnya aku malas melihat diriku. Malas menyaksikan nasibku. Apalagi bila yang terpaksa ku bahas tentang sosok itu.

‘satu cangkir Espresso, Mas.’ Ucap barista cantik bernama Gina.

‘iya, makasih Mba.’

Satu gelas Espresso. Aromanya yang kuat menelusup kedalam lekuk indra penciumanku. Aku tak terlalu bergairah untuk segera menyeruputnya. Aku menikmati uap yang melayang kecil diatas permukaan kopi ini. Rasanya pahit, juga kuat. Tapi aku tetap suka walau aku tahu rasanya tak semanis gula. Sama seperti hal itu, sosok itu.

Aku mendekatkan cangkir ini dengan tubuhku. Menggesernya perlahan dan aku melihat bayangan wajahku diatas kopi ini. Pikiranku melaju mundur.

‘kita taruhan Len. berani ngga?’ tantangku.

‘taruhan apa dulu? Males ah kalo hukumannya ngga wajar.’

Raut wajahnya tak tertarik. Alena tetap sibuk dengan ponselnya. Dia mantan kekasihku. Aku gemas melihat tingkah acuhnya. Padahal jika aku pergi, dia selalu mencari.

‘eh! Siniin hape gue Ta!’

Aku memang sengaja merampas ponselnya. Sudah lama aku tak melihat wajah kesalnya saat Alena merajuk padaku.

‘makanya iya-in dulu ajakan taruhan dari gue. ngga macem-macem. Payah banget sih taruhan aja ngga mau.’

‘apa dulu?’

Aku diam sejenak. Mataku memutar berkeliling ruangan dengan maksud mencari ide yang barangkali sedang berkeliaran menuju ruang imajiku. Yak, dapat!

‘kita taruhan masak!’

‘jadi dari tadi lo mau ngajakin taruhan masak? ahahaha kalo itu sih gue berani.’

Mimiknya menjengkelkan sekali. Pipinya minta dicubit.

Ini tahun ke tiga. Tahun ketiga aku benar-benar kecanduan sosok Alena. Aku ketergantungan pada kehadirannya. Ini tahun ketiga pula. Aku mendapatkan diriku dilumuri jutaan pengabaian atas setiap jerih payahku. Dijadikan bahan pembicaraan sekitar atas segala tindak kebodohan yang aku beri nama ketulusan. Dan tahun ketiga, dimana aku tak juga lelah dan menyerah.

Jika mereka bilang aku bodoh. Aku hanya berpikir mereka yang terlihat bodoh atas segala ke-maha-sok-tahuan mereka. Jika mereka bilang aku buta, mereka yang buta atas segala kebahagiaan yang aku dapat dari Alena. Meski mereka bilang tetap tak sebanding. Tapi entahlah apa yang telah menghambat logikaku, apa yang telah merusak kerja syaraf dan jutaan sel di otakku. Seperti hati dan otak tidak berada dalam satu raga. Saat otakku melulu berteriak ‘Hentikan!’, justru hatiku berkata ‘Lanjutkan!’. Keduanya bertolak belakang.


***


Pagi ini aku beradu skill memasakku di motel tempat aku tinggal sementara waktu bersama adikku. Kita beradu masak makanan kesukaan Bilqis, adik perempuanku. Alena begitu antusias. Percaya diri sekali dia akan memenangkan pertarungan ini. Padahal aku tak akan begitu saja membiarkan dia menjadi pemenang.

‘oke, mulai!’

Aku sibuk memotong bawang bombay. Sementara Alena sibuk mencincang jamur kaleng. Mata kami sesekali mencuri pandang pada bahan yang sedang sibuk kami potong. Mata waspada, gerakan tangan yang cepat, karena rasa takut disandang pencundang.

Aku mulai memasukkan bahan-bahan. Pertama mentega ku biarkan meleleh, lalu segera ku masukkan potongan bombay yang tadi aku cincang. Setelah layu tambahkan tepung terigu, ku aduk rata. Lalu biarkan terigu matang, setelah kupikir cukup matang ku tuangi susu dan kaldu, aduk rata dan biarkan mendidih, setelah mendidih ku pindahkan ke dalam panci. Lalu ku masukkan ayam, jamur, dan bumbu lainnya. Kurasa sudah matang, aku mengambil sedikit bagian melalui ujung spatula untuk uji rasa. Ya, kurasa cukup. Rasanya pas.

Aku melirik masakan Alena. Rupanya dia juga hampir sampai pada tahap penyajian akhir. Dia tengah memasukkan mangkuk sajiannya ke dalam oven. Sementara aku masih memotong Puff Pastry sesuai ukuran mangkuk putih tahan panas yang kami gunakan sebagai tempat penyajian. Sekarang giliranku memasukkan mangkuk tahan panas ini ke dalam oven.

‘Zuppa Soup siap disajikaaan!’

Alena mengangkat Zuppa Soup buatannya dengan wajah puas dan senyum lebar. Aku masih perlu menunggu beberapa menit sampai Puff Pastry berubah warna menjadi cokelat kekuningan.

‘wohooo. Gue selesai lebih dulu. Bau bau kemenangan udah mulai tercium nih.’

Alena menghirup udara sembari memejamkan mata. Seolah aku sudah mutlak kalah.

‘dih, gede rasa! kan perjanjiannya yang masakannya lebih enak, dia yang menang. Bukan siapa yang duluan selesai.’



‘eh udah abis tuh timer ovennya. Cepet keluarin terus panggil Bilqis buat nilai Zuppa Soup siapa yang lebih enak. Pasti Zuppa Soup gue lah ya ahaha.’

Kita duduk di ruang TV. Aku dan Alena menaruh Zuppa Soup buatan kami di hadapan Bilqis. Bilqis masih duduk di bangku menengah pertama kelas satu. Bilqis mencicipi Zuppa Soup buatan kami satu per satu. Wajah Alena kelihatan sekali harap-harap cemas. Sebenarnya aku bisa saja menyuap Bilqis agar meloloskan aku sebagai pemenang dalam pertarungan ini. Disuap hadiah bola basket juga pasti dia menuruti kemauanku. Tapi itu akan menjadi kemenangan paling menjijikan.

‘Gimana de? Enakan Zuppa buatan siapa?’

Alena melekatkan kedua telapak tangannya. Pandangannya tak lepas pada Bilqis. Sedangkan Bilqis memasang mimik seperti menimbang-nimbang sesuatu.

‘Pasti buatan Bang Dighta kan de yang lebih enak? Kan biasanya juga Abang yang bikinin Zuppa buat kamu. Mama mana sempet.’

Sejujurnya aku menyesal tentang taruhan ini. Aku menyesal menyerahkan seluruh keputusan mengenai hukuman kepada Alena. Sungguh ini menjadi taruhan yang menghujam nurani ku sendiri.

Hari itu, hari dimana aku menantang taruhan pada Alena.

‘jadi hukumannya apa? Kalo lo yang nentuin pasti aneh-aneh. Males ah.’ Alena mengalihkan pandangannya.

‘engga deh’ bujukku.

‘tapi hukuman dari gue langsung diiyain loh ya. Kalo engga berarti lo pe-cun-dang!’

‘dih enak aja. Iya iya. Gue sportif kali.’

Aku terpaksa mengiyakan. Kalau tidak, Alena pasti sudah mundur bahkan sebelum pertarungan dimulai.

‘yessss. Eum...kalo gue kalah, gue ngapain?’ tanya Alena.

‘Berhubung liburan panjang nanti gue sama Bilqis mau liburan di Bandung dan lo orang Bandung, jadi lo harus nemenin gue sama Bilqis seharian keliling kota Bandung. Deal?’

‘Bandung kan luaaas. Ah yaudah deh, deal.’        

‘ahahaha sportif lah. Kalo gue yang kalah?’

‘eum...kalo lo yang kalah. Lo harus samperin Carissa. Dan bilang kalo lo sayang sama dia.’

Entah kalimat apa yang baru saja aku dengar. Aku harap itu hanya ocehan pasien yang sudah koma selama satu pekan. Atau aku rasa Alena mendadak kerasukan.

         Aku sempat pergi sekian waktu dan minggir dari kehidupan Alena. Aku kembali pada cinta pertamaku, Carissa. Alena menjalin hubungan lebih dari sekedar teman dengan lelaki lain. Aku remuk, juga tak berhak mengatur apalagi melarang. Aku hanya merasa terlalu sendiri. Tak punya jalan pulang yang lain selain Carissa. Pikirku dia akan mampu menyembuhkanku. Ternyata salah. Carissa justru semakin membuatku merasa lelah. Lelah berkorban namun tak di beri penghargaan. Lelah memenuhi tanpa sempat terpenuhi. Semuanya tak imbang. Aku yang di beratkan.

Waktu memang tak selamanya menyembuhkan, tapi setidaknya mampu menyadarkan. Tentang sosok mana yang lebih pantas aku prioritaskan. Sosok mana yang lebih sering memberi bentuk penghargaan atau bahkan sedikit balasan. Namun pikiran Alena terlanjur diracuni keadaan. Keparcayaan Alena padaku pupus berantakan. Dia tak percaya lagi tiap kali aku berkata aku masih mencintainya. Selalu dia sebut nama cinta pertamaku setelahnya.

Bagaimana jika menjadi aku? tak dipercaya bahkan dalam keadaan paling berterus terang. Bagaimana jika menjadi aku? diacuhkan saat ada, tapi bila pergi bertindak seperti tersiksa. Dan bagaimana jika menjadi aku? tak di beri kesempatan tetapi tak di beri celah untuk pergi.

Bilqis mulai membuka mulutnya. Alena tampak tak sabar. Sedangkan aku justru dalam keadaan paling waswas.

‘Zuppanya enakkan buatan........’

‘buatan Kak Lena.’

Dari awal sudah ku bilang kan? Aku malas membicarakan diriku. Malas menyaksikan nasibku. Tentang aku yang tak di beri kesempatan, juga tak di beri izin untuk melangkah pergi. Sekalipun aku di persilahkan pergi, tetap aku tak bisa. Aku malas membahas diriku, nasibku, dan cintaku yang terjebak dalam kondisi yang serba salah.


Espressoku sudah dingin. Kopi pahit yang tetap aku pesan, tetap aku gemari, tetap ku sukai dan terlanjur membuatku candu.  Serupa dengan sosok itu, Alena. Matahari sudah tak nampak. Hanya tertinggal bulan tanpa bintang yang biasanya setia menemani. Malam ini begitu kelabu. Sama seperti susana hatiku. Pilu.



With Love.
26 Februari 2013.
Nidya :)

Kamis, 21 Februari 2013

A Painful Memory in Cafe Du Chocolat (Cerpen)



Drek!



Suara gesekan antara kursi dengan lantai terdengar demikian ketika aku menjatuhkan diri dan duduk di kursi Cafe ini. Menunggu kedatangan seseorang. Aku duduk di bagian outdoor cafe. Di set kursi bagian kanan dekat bingkai yang memamerkan pose seorang wanita berambut pendek yang nyaris bercumbu dengan lelaki gagah bersetelan jas. Bagian outdoor ini teduh dihias tenda blaster oranye-kuning tua. Di atap tenda dipasang lampion-lampion berwarna cokelat tua. Di luar tenda juga ada beberapa bangku berbahan kayu berkonsep bangku taman. Daftar menu di bagian outdoor ini dipajang melalui papan black board yang ditulis dengan kapur warna-warni. Dibelakangku terdapat sekat pembatas berbahan kayu yang diterangi cahaya remang kekuningan menyinari brand cafe ini, Cafe Du Chocolat.



          Cafe ini menyajikan banyak sajian menu yang berbahan dasar cokelat. Cafe ini sendiri letaknya di daerah Tebet Utara, Jakarta Selatan. Berada di lantai dua, di atas sebuah distro. Tetapi di samping kanan pintu masuk terdapat bagian outdoor cafe yang kini sedang aku tempati. Bagian indoor diisi beberapa sofa dan meja dengan suhu udara yang dingin karena air conditioner. Di tengah-tengah ruangan terdapat kursi bermotif bunga-bunga yang mengelilingi meja dan ditata di atas lantai bermotif catur. Lalu  di sisi belakang kursi-kursi bermotif bunga, ada satu corner dengan beberapa sofa lagi berwarna cokelat gelap nyaris hitam. Di dinding dekat sofa ini terlihat sebuah kalimat dengan ukuran font besar dan timbul bertuliskan;
         
“There is nothing better than a good friend, except a good friend with CHOCOLATE” – unknown

          Selain itu masih ada juga ruangan kaca dengan kursi bar yang viewnya menghadap ke luar. Cafe ini seperti menjadikan cokelat adalah Raja. Tempat hangout yang cozy.

Cafe yang menyajikan berbagai olahan cokelat seperti Hot Plate Ice Cream, Chocolate Fandue, Chocoteraphy, dan lain-lain selalu padat pengunjung. Terutama menjelang malam di saat week end. Untung saja ini bukan week end, ramainya masih tergolong normal.

         Orang yang aku tunggu masih belum kelihatan batang hidungnya. Aku mulai suntuk terkantuk-kantuk. Lantas aku memanggil pelayan dan seperti biasa memesan Hot Chocolate Classic plus Coffee Latte. Barangkali bisa menyegarkan pikiranku yang penat.

‘Hey....’

           Aku mendengar sapaan itu dari kejauhan. Seseorang yang berhasil mengontrol diriku dan pergerakanku tanpa kesengajaan. Bahkan dalam kurun waktu yang tak singkat. Perempuan fasionable berambut lurus dengan kulit putih yang mempesona. Senyumnya manis. Parfumnya sangat ku kenal.

‘Hey...’ jawabku membalas sapa.

‘Lo udah nunggu lama? Sorry banget Bran, Jakarta masih macet nih.’ Jelasnya.

Aku tak terlalu mempermasalahkan keterlambatannya. Dia datang dan duduk di hadapanku saja sudah cukup. Menyapaku dengan hangat lengkap dengan senyumnya yang selalu aku tunggu. Aku ingat petama kali bertemu Franda. Dikenalkan Dino sewaktu SMA kelas 2.

‘woi Bro. Bengong aje lo. Ini nih gue bawa temen gue. kenalin, namanya Franda.’

           Hari itu aku tak terlalu bersemangat. Selama jam istirahat aku hanya diam di kelas dengan headseat yang terus menempel di telinga. Aku melepas headseat sebelah kiri.

‘oh. Hai..gue Gibran.’ Aku menyodorkan tangan pada Franda.

‘Hai Gibran. Gue Franda. Gue pindahan dari Bandung. Ini hari pertama gue sekolah di Jakarta.’ Kita berjabat tangan. Dia menyelipkan rambut di telinga kirinya. Senyumnya, lagi lagi senyumnya itu. Ada gigi gingsul di gusi kanan atasnya. Tapi dia tidak tertarik menggunakan behel. Katanya, gingsul itu pemanis. Dan itu memang patut diiyakan.

           Hari-hari selanjutnya kita seperti tiga serangkai. Gibran mengenal Franda sebab kediaman nenek Gibran berada satu komplek dengan rumah Franda ketika masih menetap di Bandung. Franda pindah ke Jakarta karena pekerjaan Ayahnya yang memaksa keluarga Franda harus berdomisili di Jakarta. Ayahnya seorang pemburu berita di salah satu koran nasional ternama.

           Aku sering sekali memperhatikan Franda. Setiap kali dia tertawa, dia mengunyah sesuatu dimulut sampai penuh sambil bicara, ekspresi kagetnya, apalagi ketika dia tersenyum. Perempuan sederhana yang energik. Franda sosok perempuan yang penuh perhatian. Sekalipun aku dan Dino sebatas sahabat, tapi kami merasa diperlakukan lebih istimewa dari seorang pacar.

           Aku masih ingat mimik panik Franda ketika Dino tersikut olehku saat bermain basket. Pelipisnya berdarah. Franda panik kalang kabut. Dia segera melepas shall kesayangan yang terlilit di lehernya, lalu ditekan pada pelipis Dino. Darahnya berkurang. Atau ketika aku meronta kesakitan saat kakiku cedera. Masih sama, karena permainan basket. Franda langsung menghampiriku dengan lari yang tergesa. Mimik paniknya muncul lagi. Dengan cekatan dia menarik kaki kananku dengan ancang-ancang. Aku menjerit sejadi-jadinya. Dokter bilang, itu pertolongan pertama yang cukup baik. Dan bagian yang paling ku ingat. Saat Dino membawa kabar itu.

‘Woi woi woi! brooo! Bangun bro! Siang bolong tidur mulu.’

            Dino menggoyak pundakku. Tak aku gubris. Selimut kutarik sampai menutupi seluruh tubuhku.

‘ah meeen. Banguuun! Gue lagi bahagia nih. Gue jadian sama Franda! Wohooo.’
            Deg. Aku berharap itu mimpi. Aku berharap itu halusinasi. Aku berharap itu hanya sebatas bunga tidur saja. Kantukku lenyap seketika. Selimut aku buka dengan wajah mengantuk bercampur terkejut.

‘serius lo?’

‘demi tuhan! Gue jadian men sama Franda!’

  Aku meminta traktiran satu box Pizza Hut dan minuman bersoda. Kita bertanding Play Station hari itu sembari merayakan hari jadi Dino dan Franda. Empat jam yang mengilukan. Aku bersandiwara seolah semua baik saja. Seolah aku turut berbahagia. Padahal aku tersiksa. Mungkin kalau aku menjadi aktor, aku akan dinobatkan sebagai aktor tebaik tahun ini.


***


Aku masih memeluk selimut bermotif bendera Amerika ini. Rasanya berat sekali untuk bangun dan beranjak dari tempat tidur. Rambutku sudah gondrong. Kondisi kamar sudah seperti kapal pecah. Ini bulan kelima Dino dan Franda menjadi sepasang kekasih. Dan aku, masih sekacau ini.

Aku mengurangi intensitas waktu bersamaku dengan Dino dan Franda. Banyak kebohongan yang aku buat selama lima bulan belakangan ini. Aku juga berhenti bermain basket. Semangatku benar-benar lenyap. Aku jadi tak bergairah bahkan pada hal yang paling aku senangi sekalipun. Semua karena Franda. Bukan, tapi karena Dino. Ah, karena mereka berdua.

           Seandainya aku bermain basket lagi, kalau aku cedera siapa yang lari menghampiriku? Kalau aku bermain basket lagi, apa aku harus melihat Franda membasuh keringat Dino, menyodorkan botol minuman dihadapanku? Dan kalau aku bermain basket lagi, sudah pasti disana ada Dino sebagai pemain satu timku. Dan tentu saja ada Franda. Karena sekarang mereka satu paket.

Akhirnya aku beranjak dari tempat tidur. Matahari semakin meninggi. Rasa malasku juga. Aku duduk di balkon kamarku. Tidur telentang di bangku panjang balkon ini. Tangan kanan aku jadikan penyangga kepala. Dan kaki kanan aku tekuk dan bertumpuk dengan kaki kiri. Siang ini Jakarta cukup terik.

BRAK!

Suara pintu kamarku terbuka dengan keras.

‘Bran! Lo apa-apaansih? Lima bulan ini lo kenapa? Lo ngga pernah ngumpul, lo absen latihan basket, lo mundur tournament basket pula. Mana? Katanya basket sebagian jiwa lo? belahan jiwa lo? Buktinya sekarang lo malah ngelepas belahan jiwa lo sendiri!’

           Raut wajah Franda menujukkan emosi yang berkecamuk. Dia bahkan bicara dengan nada tinggi. Aku hanya memalingkan wajahku selama dia mengoceh. Dalam hati aku menggerutu; ‘gue semangat main basket karna belahan jiwa gue yang lain Frand. Elo. Sekarang jiwa gue bener-bener sebelah, ngga lagi utuh. Karena belahan jiwa gue setelah basket, terlanjur pergi.’

‘Bran! Asli lo berantakan banget. Lo kenapa sih? Kalo ada apa-apa tuh cerita.’ Nada bicaranya merendah.

‘gue ngga apa-apa, Fran.’

‘Bohong!’

***


‘Hot Chocolate Classic plus Coffee Latte, Mas.’ Ucap pelayan dengan senyum ramah. Sembari menaruh pesananku diatas meja. Lamunanku buyar.

‘Mba, aku mau Hot Place Choco satu ya.’ Franda memesan tanpa membuka buku menu. Kita memang sering sekali datang ke Cafe Du Chocolat. Kita bertiga. Aku, Franda, dan Dino. Saat semuanya masih berjalan normal.

‘Kenapa Bran? Tumben ngajak ketemuan berdua doang.’

Aku menyeruput minumanku.

‘satu tahun sama Dino, pasti udah bikin lo ngerasa candu ya, Fran?’ Tanyaku sekenanya.

‘Bran. Gue kan udahan sama Dino. Kenapa di bahas lagi?’ suara Franda terdengar parau. Air mukanya berubah.

‘masih sayang kan?’

‘Bran, apaansih!’ Pipi Franda memerah. Perlahan menjadi basah.

         Aku melihat Dino memarkir motor sport hitam besar kesayangannya. Dan untungnya Franda duduk membelakangi area parkir. Sesuai settinganku.

‘gue masuk ke dalem dulu ya sebentar.’ Aku mengelus pundak Franda. Mengelus kepalanya.

Dino menghampiri meja yang sudah ku beri tahu sebelumnya. Langkah Dino agak tersendat karena dia takut salah meja. Aku memang merencanakan pertemuan ini. Tanpa sepengetahuan mereka. Dino dan Franda. Yang sudah berpisah, namun masih saling mencinta.

          Dino duduk canggung dihadapan Franda. Franda justru menangis lebih keras dari sebelumnya. Aku menyaksikan semua itu di dalam cafe bagian indoor. Dibatasi sekat kaca. Aku melihat mereka sesekali beradu argumen. Aku memperhatikan gerak mulut mereka. Tak lama aku lihat dengan jelas Dino bertanya sesuatu pada Franda. Franda menjawab, gerak mulutnya berkata;

‘I do.’

Franda menangis di pelukan Dino. Dino memeluk dengan lekat. Seperti melepas rindu yang meluap-luap. Lalu mencium kening Franda.

Aku melangkah menuju area parkir Cafe Du Chocolat. Ini pukul delapan malam, rasanya ingin pulang dan tidur. Kalau bisa tak bangun lagi. Tetapi besok pagi aku harus terbang menuju Negara Adidaya, Amerika. Untuk melanjutkan kuliahku disana. Ini malam terakhir aku duduk di Cafe Du Chocolat, malam terakhir merasakan padat dan macetnya Kota Jakarta, malam terakhir berperan sebagai aktor di depan Dino dan Franda, dan malam terakhir melihat senyum Franda. Setidaknya, kembalinya Franda ke pelukan Dino sebagai kado perpisahan dariku. Sebab mereka tak tahu ini menjadi malam pertemuan terakhir. Kurang lebih untuk empat tahun ke depan.

Lelah sekali berpura-pura membahagiakan diri sendiri padahal sangat tidak bahagia. Menyatukan sosok tersayang dengan bagian jiwa yang lain. Memendam perasaan yang tak mungkin bisa aku ungkap dalam waktu dekat. Perasaan yang terjebak dalam situasi dan keadaan. Semuanya menjadi begitu salah. Aku pamit lewat kata hati yang hanya aku dan Tuhan yang tahu. Pamit kepada kalian, sepasang kekasih, separuh jiwaku, saudara laki-lakiku, juga dua figur sahabat terbaikku. Aku akan selalu mendo’akan, terutama kamu, Franda.


With Love,
21 Februari 2013
Nidya J





Kamis, 14 Februari 2013

About....


About the new name of my blog, I want each of my writing can give a specific message to each reader. that's why I change my blog name to 'Boodskap' which means 'message' in African nation. I also changed my blog design with coffee beans background. why coffee beans? because I really like the coffee. Why is dominated brown color? that match the color of the coffee beans. and the cursor becomes humburgar. why? because of all the fast food I love humburgar. Thank you ;)



With Love
Nidya :)

Changing


Hallo, selamat malam kamu.
Ini aku. Aku tak bermaksud mengusik, apalagi mengganggu. Aku menulis ini di antara putaran bulan yang siap berganti peran dengan mentari. Ya, ini malam suntuk. Menuju pergantian tanggal di hari kasih sayang.
Kau sibuk? Tentu kau bahagia dengan hal-hal baru itu.
Tunggu, tunggu! Kau lihat buah manis dipohon taman sekolah itu tidak? Semakin hari dia berubah ya, tumbuh, berbeda, berubah warna, ukuran, bahkan rasa. Pasti karna waktu.
Dan lihat! dinding di belakang tembok kelas itu berlumut sekarang, pasti karna keadaan sekitar dan berbagai proses yang menghidupi lumut-lumut hijau itu. Mungkin keadaan kemarau berubah menjadi berair.
Dan aku? aku seperti dinding itu.
Karna keadaan, juga proses.
Bukankah, apapun yang Tuhan hidupkan dibumi mengalami perubahan? entah bagaimanapun proses dan caranya?
Dan aku salah satu yang dihidupkan Tuhan. Maka aku termasuk kedalamnya.
Kalau kau bertanya. Lihat saja keadaan yang lampau. kemarin, atau kemarin setelah kemarin.
Masih bertanya? Coba baca ulang perumpamaan yang aku buat diatas J




Bekasi, 14 februari 2013
NidyaJ
Untuk kamu. Bukan kamu. Iya, tapi kamu.

Jumat, 08 Februari 2013

Selama Dua Tahun


“kamu udah pulang nemenin pacar kamu Dhis?”

Aku tetap menatap layar laptop. Memindahkan setiap jabaran kalimat yang ada dalam otakku. Aku suka sekali membuat tulisan pada gadget ini. Entah puisi atau cerita pendek.

“udah, makanya aku disini.”

“kamu masih aja melankolis nulis tulisan bodoh tentang cinta.” Ledeknya. Sembari duduk dikursi  balkon rumahku yang mengganggur tak bertuan.

 “weits, tulis menulis udah mendarah daging bagi aku Fan. lagian apa yang patut dibilang bodoh tentang cinta? Sampai kapanpun pembahasan tentang cinta ngga ada habisnya kali.”

Dia hanya tersenyum sesaat. Seperti tak menghiraukan jawabanku. Dia memang begitu, suka sekali menggangguku. Sering membuat aku dongkol dan kesal. Tapi tahukah? Orang yang paling mengganggu justru yang paling mudah dirindu.

“Eh kamu jadi pergi sama Qila, Fan?” tanyaku memecah diam yang sedari tadi membekukan suasana.

“jadi, sebentar lagi aku mau berangkat. Emang kenapa?”

“ya aku nanya aja.” Jawabku.

“kirain kamu mau ikut nontonin aku pacaran ahaha.”

“hihhhh males banget. Aku juga punya pacar kaliii...”

Sudah dua tahun. Aku diam tak bergerak. Aku bisu tak bicara. Bukan tubuhku, bukan mulutku. Tetapi hatiku. Hatiku diam tak juga bisa memindahkan rasa ini sepenuhnya pada yang lain. Mulutku ikut membisu tak mau mengaku.

Fandi memang kharismatik. Dia pintar, penyayang, penyabar, selera humornya tinggi dan usil sekali. Tapi itu pula yang membuat aku selalu rindu.  Dia benar-benar merindukan.

Aku sudah nyaris dua tahun mendengar cerita Fandi tentang banyak perempuan. Selama itu pula aku bersandiwara seolah semua baik saja. Seolah hatiku tak pilu menahan sakit. Mengukir senyum palsu seperti aku memberi dukungan penuh. Padahal aku sakit. Melihat yang aku cinta memperjuangkan apa yang dia cinta, tapi bukan aku. bahkan perjuangan itu bercampur jerih payahku juga. Miris.


 Lalu pacarku? Aku juga menyayangi dia. Tapi hatiku lebih lama ditempati Fandi. Aku harap aku bisa melunturkan pengharapan semuku pada Fandi.


***

“udah pulang nyenengin pacarnya?”

“hm. Udah.” Raut wajahnya Fandi tak berwarna. Kelabu. Seperti sedang merundung pilu.

“kamu kenapa Fan? Ngga biasanya pulang jalan sama Aqila murung gini.”

“iya nih.” Jawabnya singkat.

“iya nih apaan? Kamu kenapa heeey? Jawab? Kamu ngga kesurupan kan Fan?”

“hih ya enggalaaah belooo. Ini Dhis....”

Fandi memenggal kalimatnya. Menghela napas sejenak.

“ aku udahan sama Qila.”

Aku tersentak. Aku terkejut. Juga senang. Tapi ikut bersedih melihat yang dicinta seperti ini.

“seriuuus? Lah kok bisa? Ih gara-gara apa???” tanyaku simpati. Padahal memendam senang dalam hati.

“iya aku udah ngga bisa fokus ke Qila. Aku sayang dia, tapi disisi lain, ada perempuan lain yang ngisi hati aku lebih dulu dari Qila, bahkan menempati ruang yang lebih dalam dari Qila.”

Deg. Perih sekali rasanya. Dhisa yang malang, pekikku dalam hati.

“terus?”

“bayangan perempuan ini tuh ngga pernah pergi Dhis. Aku kepikiran dia terus. Kasian Qila kalo sampe seterusnya aku kaya gini.” Jelasnya.

Aku kembali pada layar laptopku. Sejujurnya aku sedang menarik-membuang napas sedari tadi. Supaya tak ada setetespun air yang tumpah membasahi pipiku tanpa izin.

“ya kalo gitu kamu perjuangin dong perempuan itu.”

“aku ngga tahu gimana perasaan dia ke aku.”

“ya kamu aja ngga ngasih tau perasaan kamu ke dia. Seengganya ya Fan, kamu bisa tau sosok ini patut kamu perjuangin atau engga. Masa bodoh tentang hasil akhir, yang penting kamu bergerak step by step buat ungkapin perasaan kamu sendiri. Memendam itu ngga enak kan?”

Sok sekali aku memberi petuah macam ini. Lebih pantas aku bicara seperti ini didepan cermin.

“aku tau, tapi aku ngga berani.”

“ha? ahahaha kamu laki apa banci?”

aku sengaja memancing emosinya. Ini cara menaikkan keberanian seorang lelaki. Dengan merendahkannya terlebih dahulu. Selanjutnya akan ada sebuah pembuktian. Itupun kalo benar dia lelaki. Kalau tidak, berarti dia banci.

“apa kamu bilang? Fine! Aku ungkapin perasaan aku.” nada bicaranya tinggi.

“nah baru ini laki....” aku mengukir senyum sumringah palsu.

“selama dua tahun ini, aku sayang sama kamu Dhis. Lebih dari sekedar sahabat. Lebih dari yang kamu tau. Tapi kamu sayang pacarmu kan? Kamu dengar? Udah aku ungkapin, Dhis. Sesuai kemauan kamu.”


Aku tak tahu lagi harus bicara apa. Bergerak saja rasanya susah.

Ponselku berdering, satu pesan masuk. Memecah suasana kaku. Ternyata pacarku berkata sayang. Sedang yang ku cinta di depan mata.



With Love.
Nidya :)
ini request. ini cerita tentang orang lain :-p

Kamis, 07 Februari 2013

Ambisi Cinta Menyatu


Kau lihat ini apa?
Ini potret aku dan kamu
Ketika masih menjadi kita

Disini aku tampak bahagia
Disisimu, bersamamu
Dekapanmu

Sekarang lenyap!
Sekarang hilang!
Sekarang musnah!

Aku bosan bicara tentang perbedaan
Aku enggan bicara tentang apa yang memisahkan kita
Aku jengah melihat sekitar yang belaga simpati pada kita
Ku rasa cukup!

Dengarkan aku
Sekali saja

Bisakah kau berpura tuli tentang teriakan perbedaan itu?
Bisakah kau berpura buta tentang kenyataan pahit itu?
Bisakah kau anggap sekat pembatas itu tak benar-benar nyata?

Aku ingin seperti sedia kala
Mataku sudah lelah menangisi yang sama
Hatiku sudah muak merindu sosok yang itu saja
Kamu

Tak mungkin?
Mustahil?

Baiklah, pahami ini
Kau akan tetap hidup dengan segala pembatas ini
Dalam ruang yang tak memperdulikan perbedaan macam apapun
Kau tahu apa?
Ya, hatiku

Sampai batas waktu
Yang tak aku tentukan


Kamis, 7 Februari 2013
Nidya J
For: a sexy singer

Rabu, 06 Februari 2013

Bodoh?


Aku duduk tak tenang dikursi ini. Rasanya ingin cepat-cepat pergi.
‘buat apa lagi? Airmataku sudah habis buat kamu!’ maki ku. 
‘aku ingin bicara. Tentang apa yang memang seharusnya aku bicarakan.’
Aku menatap raut wajahnya yang memelas. Sayangku, cintaku, luntur karna tingkahnya sendiri. Jujur aku muak bertemu lagi, menatap lagi, bicara lagi. Tapi sekuat apapun, aku tetap saja tak bisa mengelak, sungguh aku rindu lelaki ini.

‘aku menyesal. Aku menyesal pergi darimu untuk sosok lain.’
Rasanya ingin muntah melihat tipu daya orang ini.
‘aku mau pulang.’
Lantas aku mengambil tasku lalu berdiri dari kursi cafe ini. Sungguh aku muak dengan kalimat ‘ aku menyesal’ yang bajingan ini ucapkan. Aku benci permainan busuk ini.
‘tunggu dulu, aku mohon...’
Dia menggenggam telapak tanganku. Ah sial. Rindu ini semakin meluap karna sentuhan yang sudah lama tak aku dapat.
‘aku mohon, sebentar saja. Beri aku waktu sebentar.’
Tampang tololnya benar-benar meminta dikasihani. Tapi masa bodoh! Aku tak peduli! Sudah cukup aku tersiksa dengan luka yang dia gurat seenak jidatnya saja. Menikung. Meninggalkan. Lalu melepaskan aku. demi wanita jalang itu!
‘aku sadar atas segala kesalahanku. Aku menyesal.’
Ah, aku rasanya mau muntah tiap kali mendengar kata sesal bualan itu.
‘aku meninggalkanmu untuk sosok baru. Aku minta maaf. Aku baru mengerti siapa yang benar-benar ada untukku bagaimanapun adanya aku. Cuma kamu, kamu saja. Yang lain tak mampu.’
Bola matanya sebanding lurus dengan arah pandanganku. Aku melihat genangan air itu mulai mengisi celah kelopaknya. Ku lihat lekat-lekat. Dia menangis buaya dihadapanku. Di depan khalayak.
‘air mata buayamu merendahkanmu, bodoh! Kau menangis di tempat ramai. Menelanjangi diri sendiri!’ bentakku.
‘aku tak peduli. Benar-benar tak peduli. Aku tak tahu lagi apa yang harus ku perbuat untuk mengembalikan kepercayaanmu yang telah aku luluh lantahkan. Sungguh, aku mencintaimu, Sha.’
Dia menyebut namaku. Jujur aku lemas mendengar suaranya yang bergetar mengemis dihadapanku seperti ini. Tapi luka itu masih benar-benar bersarang di hati ini.

Lelaki ini. Membagi cintanya untuk yang lain di belakangku. Memperjuangkan wanita jalang itu tanpa sepengetahuanku. Berengsek!

Aku tahu, dia kembali hanya karna tak berhasil memiliki wanita itu. Aku benci setengah mati! Tak bisa kusangkal pula aku mencintai lelaki ini sepenuh hati! Aku rindu.
‘kau tak mendapatkan wanita itu?’ tanyaku sekenanya. 
‘sudahlah, ini tentang aku dan kamu saja. Tak ada yang lain. Jadi, masih bisakah aku kembali?’
Aku diam. Bisu. Kelu.
‘asal kau berubah.’
Sial jawaban itu keluar begitu saja dari mulutku.
‘aku berjanji. Aku akan berubah.’
Ponsel Andre berdering. Dia membuka pesan singkat itu. Mimik wajahnya berubah. Sulit ku tebak apa yang menghujani perasaannya.

Terakhir ku tahu, pesan terakhir dari wanita jalang itu berisi:
 ‘aku juga mencintaimu. Jawaban pertanyaanmu minggu lalu, eum...Aku mau jadi kekasihmu’
Dikirim pada tanggal, jam, menit, dan detik yang sama ketika Andre baru saja berjanji padaku bahwa dia akan berubah.

Aku bodoh? Iya, ku rasa begitu.





Bekasi, 6 Februari 2013.
Nidya :)

Selasa, 05 Februari 2013

Masa Seratus Tahun


Kakiku sudah mulai melangkah kecil
Melaju perlahan dengan hati-hati
Sedikit menyeret
Sedikit terluka
Berhenti? Tentu saja tidak.

Aku tengah menuju pusat bahagia
Yang berada ribuan kilometer di depan sana
Benar, masa depan

Aku tertatih
Karna mambawa sebongkah harapan
Menelan pahit kenyataan
Sembari membuang masa lalu di tepi jalan

Ini sudah mencapai masa seratus tahun
Sudah sampai pada peluh tetes terakhir
Entah sudah berapa ribu kilometer yang aku tempuh

Pusat bahagia itu didepan mataku sekarang
Ah, tak sabar
Dia berada sekian meter dihadapanku

Napasku tercekat tiba-tiba
Dia. Yang di depan sana.
Masa depanku.
Ternyata....
Masa lalu yang aku buang di tepi jalan
Di awal perjalanan

Masa seratus tahun ini
Sia-sia.
Di pelukan Bebe{}
4213
NidyaJ

Senin, 04 Februari 2013

Ahlunnujum




Malam ini indah. Seperti biasanya bagiku malam tak pernah buruk. Sekalipun sebenarnya ia tengah murka. Sampai bintangnya malu menampakkan diri. Padahal aku selalu saja merindu pada bintang. Entah sinarnya, entah indahnya. Atau mungkin keduanya.

Aku sudah 8 tahun mengisi celah kehidupan semesta ini. Aku memang selalu menghabiskan beberapa saat sebelum tertidur untuk bercengkrama dengan langit. Di temani Adipati. Kakak laki-laki terhebatku sejagad raya. Dia 10 tahun lebih dahulu melihat dunia dan langit sebelum aku.

‘Adipati, apa kau lihat bintang itu?’
‘yang itu?’
‘iya, yang paling terang itu.‘ 
‘iya, aku lihat. Lalu kenapa?’ 
‘dia berkata apa tentang masa depanku?’ 
‘eumm tunggu, biar aku memperhatikan isyaratnya duhulu.’

Adipati menyipitkan matanya. Ia seperti sedang menelaah ribuan bahasa yang disampaikan bintang melalui kedipan sinarnya. Aku hanya memperhatikan setiap raut wajahnya. Walau sebenarnya aku menyimpan rasa ingin tahu yang tinggi. Adipati membuka matanya seperti semula, tak lagi sipit. Mimik wajahnya seperti menyimpan rahasia menakjubkan tentang aku.

‘dia berkata apa?’ 

‘bintang itu bernama Alpheratz, Adinda. Dia bagian dari rasi Andromeda. Ia paling terang di galaksi Andromeda. Dia dikelilingi tiga bintang lainnya. Dia berkata padaku, jika dewasa nanti kau bisa saja lebih bersinar dibandingkan bintang manapun. Asalkan.....’ 

‘asalkan apa?' 

‘asalkan kau harus mampu menyinari sekitar mu terlebih dahulu. Maka segala konspirasi alam akan menyatu di kemudian hari untuk selanjutnya menerangi kamu, bahkan ketika dunia sudah tak lagi memiliki cahaya.’ 

‘bagaimana caranya? Apa aku harus memberi lampu obor atau kunang-kunang dalam toples pada setiap orang, Adipati?’ 

‘bukan begitu, Dinda. Cahaya yang dimaksud bukan berupa benda. Melainkan perbuatan baik. Percayalah, apa yang kau berikan pada makhluk lain, maka itu yang akan kau dapatkan. Bahkan dalam keadaan berlipat ganda.  Kau hanya perlu memulainya dari diri sendiri. Sekecil apapun.’ 

‘begitukah? Alpheratz menjanjikan itu?’ 

‘tentu saja.’ 

‘kalau begitu, mulai besok pagi. Bahkan ketika detik pertama mentari naik ke permukaan, aku akan mulai mengumpulkan cahaya-cahaya kecil kebaikanku, yang semoga saja dapat menerangi masa dewasaku dengan cahaya yang mengalahkan seluruh bintang di galaksi Andromeda sekalipun.’

Adipati aku anggap seperti ahlunnujum. Kau tahu itu apa? Ahlunnujum adalah seorang yang pandai meramalkan sesuatu dengan cara melihat bintang.

Kini usiaku bertambah 10 tahun. Aku memasuki masa dewasa. Dan aku paham maksud Adipati kala itu. Alpheratz tak menyampaikan apapun, itu hanya penyampaian Adipati untukku saja. Aku bersyukur pernah menganggap Adipati sebagai ahlunnujum, walaupan sebenarnya tidak. Dan mempercayai kalau Alpheratz benar-benar berkata demikian. Sebab perkataan Alpheratz yang disampaikan Adipati kala itu aku terapkan sampai aku beranjak dewasa. Aku menebar cahaya perbuatan baik seumur perjalananku menuju dewasa. Dan tahukah? kini aku lebih terang dari bintang manapun di galaksi Andromeda. Segala perbuatan baikku berbalik kembali padaku. Segala perbuatan baik yang aku tebar, kini sedang aku tuai. Jadi, kapan giliranmu?



With love,
Nidya J