Siang ini Jakarta teduh. Aku tebak langit sedang murung karena awan sudah keberatan menampung terlalu banyak air. Ini menuju pukul 6 sore, biasanya lembayung senja sudah menyuguhkan keindahannya. Berwarna oranye keemasan diujung langit. Tapi hari ini dia tidak muncul. Mungkin sedang penat.
Aku duduk di kursi bar yang viewnya menghadap keluar. Aku menopang daguku dengan tangan. Melihat lalu lalang jalanan Jakarta dari dalam kedai kopi. Mataku berpendaran melihat sekeliling ruangan. Tetap sepi. Tetap sama. Walau sebenarnya ramai. Aku memang sering sekali merasa sendiri sekalipun kenyataannya riuh ramai. Aku menikmati sendiri. Apalagi sepi. Tapi hatiku mengeluh minta diisi penghuni. Yang benar-benar aku miliki.
Aku percaya, bahwa hati tak selalu sendiri. Tak selalu tidak berpenghuni. Termasuk hatiku. Sejujurnya aku malas melihat diriku. Malas menyaksikan nasibku. Apalagi bila yang terpaksa ku bahas tentang sosok itu.
‘satu cangkir Espresso, Mas.’ Ucap barista cantik bernama Gina.
‘iya, makasih Mba.’
Satu gelas Espresso. Aromanya yang kuat menelusup kedalam lekuk indra penciumanku. Aku tak terlalu bergairah untuk segera menyeruputnya. Aku menikmati uap yang melayang kecil diatas permukaan kopi ini. Rasanya pahit, juga kuat. Tapi aku tetap suka walau aku tahu rasanya tak semanis gula. Sama seperti hal itu, sosok itu.
Aku mendekatkan cangkir ini dengan tubuhku. Menggesernya perlahan dan aku melihat bayangan wajahku diatas kopi ini. Pikiranku melaju mundur.
‘kita taruhan Len. berani ngga?’ tantangku.
‘taruhan apa dulu? Males ah kalo hukumannya ngga wajar.’
Raut wajahnya tak tertarik. Alena tetap sibuk dengan ponselnya. Dia mantan kekasihku. Aku gemas melihat tingkah acuhnya. Padahal jika aku pergi, dia selalu mencari.
‘eh! Siniin hape gue Ta!’
Aku memang sengaja merampas ponselnya. Sudah lama aku tak melihat wajah kesalnya saat Alena merajuk padaku.
‘makanya iya-in dulu ajakan taruhan dari gue. ngga macem-macem. Payah banget sih taruhan aja ngga mau.’
‘apa dulu?’
Aku diam sejenak. Mataku memutar berkeliling ruangan dengan maksud mencari ide yang barangkali sedang berkeliaran menuju ruang imajiku. Yak, dapat!
‘kita taruhan masak!’
‘jadi dari tadi lo mau ngajakin taruhan masak? ahahaha kalo itu sih gue berani.’
Mimiknya menjengkelkan sekali. Pipinya minta dicubit.
Ini tahun ke tiga. Tahun ketiga aku benar-benar kecanduan sosok Alena. Aku ketergantungan pada kehadirannya. Ini tahun ketiga pula. Aku mendapatkan diriku dilumuri jutaan pengabaian atas setiap jerih payahku. Dijadikan bahan pembicaraan sekitar atas segala tindak kebodohan yang aku beri nama ketulusan. Dan tahun ketiga, dimana aku tak juga lelah dan menyerah.
Jika mereka bilang aku bodoh. Aku hanya berpikir mereka yang terlihat bodoh atas segala ke-maha-sok-tahuan mereka. Jika mereka bilang aku buta, mereka yang buta atas segala kebahagiaan yang aku dapat dari Alena. Meski mereka bilang tetap tak sebanding. Tapi entahlah apa yang telah menghambat logikaku, apa yang telah merusak kerja syaraf dan jutaan sel di otakku. Seperti hati dan otak tidak berada dalam satu raga. Saat otakku melulu berteriak ‘Hentikan!’, justru hatiku berkata ‘Lanjutkan!’. Keduanya bertolak belakang.
***
Pagi ini aku beradu skill memasakku di motel tempat aku tinggal sementara waktu bersama adikku. Kita beradu masak makanan kesukaan Bilqis, adik perempuanku. Alena begitu antusias. Percaya diri sekali dia akan memenangkan pertarungan ini. Padahal aku tak akan begitu saja membiarkan dia menjadi pemenang.
‘oke, mulai!’
Aku sibuk memotong bawang bombay. Sementara Alena sibuk mencincang jamur kaleng. Mata kami sesekali mencuri pandang pada bahan yang sedang sibuk kami potong. Mata waspada, gerakan tangan yang cepat, karena rasa takut disandang pencundang.
Aku mulai memasukkan bahan-bahan. Pertama mentega ku biarkan meleleh, lalu segera ku masukkan potongan bombay yang tadi aku cincang. Setelah layu tambahkan tepung terigu, ku aduk rata. Lalu biarkan terigu matang, setelah kupikir cukup matang ku tuangi susu dan kaldu, aduk rata dan biarkan mendidih, setelah mendidih ku pindahkan ke dalam panci. Lalu ku masukkan ayam, jamur, dan bumbu lainnya. Kurasa sudah matang, aku mengambil sedikit bagian melalui ujung spatula untuk uji rasa. Ya, kurasa cukup. Rasanya pas.
Aku melirik masakan Alena. Rupanya dia juga hampir sampai pada tahap penyajian akhir. Dia tengah memasukkan mangkuk sajiannya ke dalam oven. Sementara aku masih memotong Puff Pastry sesuai ukuran mangkuk putih tahan panas yang kami gunakan sebagai tempat penyajian. Sekarang giliranku memasukkan mangkuk tahan panas ini ke dalam oven.
‘Zuppa Soup siap disajikaaan!’
Alena mengangkat Zuppa Soup buatannya dengan wajah puas dan senyum lebar. Aku masih perlu menunggu beberapa menit sampai Puff Pastry berubah warna menjadi cokelat kekuningan.
‘wohooo. Gue selesai lebih dulu. Bau bau kemenangan udah mulai tercium nih.’
Alena menghirup udara sembari memejamkan mata. Seolah aku sudah mutlak kalah.
‘dih, gede rasa! kan perjanjiannya yang masakannya lebih enak, dia yang menang. Bukan siapa yang duluan selesai.’
‘eh udah abis tuh timer ovennya. Cepet keluarin terus panggil Bilqis buat nilai Zuppa Soup siapa yang lebih enak. Pasti Zuppa Soup gue lah ya ahaha.’
Kita duduk di ruang TV. Aku dan Alena menaruh Zuppa Soup buatan kami di hadapan Bilqis. Bilqis masih duduk di bangku menengah pertama kelas satu. Bilqis mencicipi Zuppa Soup buatan kami satu per satu. Wajah Alena kelihatan sekali harap-harap cemas. Sebenarnya aku bisa saja menyuap Bilqis agar meloloskan aku sebagai pemenang dalam pertarungan ini. Disuap hadiah bola basket juga pasti dia menuruti kemauanku. Tapi itu akan menjadi kemenangan paling menjijikan.
‘Gimana de? Enakan Zuppa buatan siapa?’
Alena melekatkan kedua telapak tangannya. Pandangannya tak lepas pada Bilqis. Sedangkan Bilqis memasang mimik seperti menimbang-nimbang sesuatu.
‘Pasti buatan Bang Dighta kan de yang lebih enak? Kan biasanya juga Abang yang bikinin Zuppa buat kamu. Mama mana sempet.’
Sejujurnya aku menyesal tentang taruhan ini. Aku menyesal menyerahkan seluruh keputusan mengenai hukuman kepada Alena. Sungguh ini menjadi taruhan yang menghujam nurani ku sendiri.
Hari itu, hari dimana aku menantang taruhan pada Alena.
‘jadi hukumannya apa? Kalo lo yang nentuin pasti aneh-aneh. Males ah.’ Alena mengalihkan pandangannya.
‘engga deh’ bujukku.
‘tapi hukuman dari gue langsung diiyain loh ya. Kalo engga berarti lo pe-cun-dang!’
‘dih enak aja. Iya iya. Gue sportif kali.’
Aku terpaksa mengiyakan. Kalau tidak, Alena pasti sudah mundur bahkan sebelum pertarungan dimulai.
‘yessss. Eum...kalo gue kalah, gue ngapain?’ tanya Alena.
‘Berhubung liburan panjang nanti gue sama Bilqis mau liburan di Bandung dan lo orang Bandung, jadi lo harus nemenin gue sama Bilqis seharian keliling kota Bandung. Deal?’
‘Bandung kan luaaas. Ah yaudah deh, deal.’
‘ahahaha sportif lah. Kalo gue yang kalah?’
‘eum...kalo lo yang kalah. Lo harus samperin Carissa. Dan bilang kalo lo sayang sama dia.’
Entah kalimat apa yang baru saja aku dengar. Aku harap itu hanya ocehan pasien yang sudah koma selama satu pekan. Atau aku rasa Alena mendadak kerasukan.
Aku sempat pergi sekian waktu dan minggir dari kehidupan Alena. Aku kembali pada cinta pertamaku, Carissa. Alena menjalin hubungan lebih dari sekedar teman dengan lelaki lain. Aku remuk, juga tak berhak mengatur apalagi melarang. Aku hanya merasa terlalu sendiri. Tak punya jalan pulang yang lain selain Carissa. Pikirku dia akan mampu menyembuhkanku. Ternyata salah. Carissa justru semakin membuatku merasa lelah. Lelah berkorban namun tak di beri penghargaan. Lelah memenuhi tanpa sempat terpenuhi. Semuanya tak imbang. Aku yang di beratkan.
Waktu memang tak selamanya menyembuhkan, tapi setidaknya mampu menyadarkan. Tentang sosok mana yang lebih pantas aku prioritaskan. Sosok mana yang lebih sering memberi bentuk penghargaan atau bahkan sedikit balasan. Namun pikiran Alena terlanjur diracuni keadaan. Keparcayaan Alena padaku pupus berantakan. Dia tak percaya lagi tiap kali aku berkata aku masih mencintainya. Selalu dia sebut nama cinta pertamaku setelahnya.
Bagaimana jika menjadi aku? tak dipercaya bahkan dalam keadaan paling berterus terang. Bagaimana jika menjadi aku? diacuhkan saat ada, tapi bila pergi bertindak seperti tersiksa. Dan bagaimana jika menjadi aku? tak di beri kesempatan tetapi tak di beri celah untuk pergi.
Bilqis mulai membuka mulutnya. Alena tampak tak sabar. Sedangkan aku justru dalam keadaan paling waswas.
‘Zuppanya enakkan buatan........’
‘buatan Kak Lena.’
Dari awal sudah ku bilang kan? Aku malas membicarakan diriku. Malas menyaksikan nasibku. Tentang aku yang tak di beri kesempatan, juga tak di beri izin untuk melangkah pergi. Sekalipun aku di persilahkan pergi, tetap aku tak bisa. Aku malas membahas diriku, nasibku, dan cintaku yang terjebak dalam kondisi yang serba salah.
Espressoku sudah dingin. Kopi pahit yang tetap aku pesan, tetap aku gemari, tetap ku sukai dan terlanjur membuatku candu. Serupa dengan sosok itu, Alena. Matahari sudah tak nampak. Hanya tertinggal bulan tanpa bintang yang biasanya setia menemani. Malam ini begitu kelabu. Sama seperti susana hatiku. Pilu.
With Love.
26 Februari 2013.
Nidya :)