Drek!
Suara gesekan antara
kursi dengan lantai terdengar demikian ketika aku menjatuhkan diri dan duduk di
kursi Cafe ini. Menunggu kedatangan seseorang. Aku duduk di bagian outdoor
cafe. Di set kursi bagian kanan dekat bingkai yang memamerkan pose seorang
wanita berambut pendek yang nyaris bercumbu dengan lelaki gagah bersetelan jas.
Bagian outdoor ini teduh dihias tenda blaster oranye-kuning tua. Di atap tenda
dipasang lampion-lampion berwarna cokelat tua. Di luar tenda juga ada beberapa
bangku berbahan kayu berkonsep bangku taman. Daftar menu di bagian outdoor ini
dipajang melalui papan black board
yang ditulis dengan kapur warna-warni. Dibelakangku terdapat sekat pembatas berbahan
kayu yang diterangi cahaya remang kekuningan menyinari brand cafe ini, Cafe Du
Chocolat.
Cafe ini menyajikan banyak
sajian menu yang berbahan dasar cokelat. Cafe ini sendiri letaknya di daerah
Tebet Utara, Jakarta Selatan. Berada di lantai dua, di atas sebuah distro.
Tetapi di samping kanan pintu masuk terdapat bagian outdoor cafe yang kini
sedang aku tempati. Bagian indoor diisi beberapa sofa dan meja dengan suhu
udara yang dingin karena air conditioner. Di tengah-tengah ruangan terdapat
kursi bermotif bunga-bunga yang mengelilingi meja dan ditata di atas lantai bermotif
catur. Lalu di sisi belakang kursi-kursi
bermotif bunga, ada satu corner dengan beberapa sofa lagi berwarna cokelat
gelap nyaris hitam. Di dinding dekat sofa ini terlihat sebuah kalimat dengan
ukuran font besar dan timbul bertuliskan;
“There is nothing better than
a good friend, except a good friend with CHOCOLATE” – unknown
Selain itu masih ada juga
ruangan kaca dengan kursi bar yang viewnya menghadap ke luar. Cafe ini seperti
menjadikan cokelat adalah Raja. Tempat hangout yang cozy.
Cafe yang
menyajikan berbagai olahan cokelat seperti Hot Plate Ice Cream, Chocolate Fandue,
Chocoteraphy, dan lain-lain selalu padat pengunjung. Terutama menjelang malam
di saat week end. Untung saja ini
bukan week end, ramainya masih
tergolong normal.
Orang yang aku tunggu masih
belum kelihatan batang hidungnya. Aku mulai suntuk terkantuk-kantuk. Lantas aku
memanggil pelayan dan seperti biasa memesan Hot Chocolate Classic plus Coffee
Latte. Barangkali bisa menyegarkan pikiranku yang penat.
‘Hey....’
Aku mendengar sapaan itu dari
kejauhan. Seseorang yang berhasil mengontrol diriku dan pergerakanku tanpa kesengajaan.
Bahkan dalam kurun waktu yang tak singkat. Perempuan fasionable berambut lurus dengan kulit putih yang mempesona. Senyumnya
manis. Parfumnya sangat ku kenal.
‘Hey...’ jawabku membalas
sapa.
‘Lo udah nunggu lama? Sorry banget
Bran, Jakarta masih macet nih.’ Jelasnya.
Aku tak terlalu
mempermasalahkan keterlambatannya. Dia datang dan duduk di hadapanku saja sudah
cukup. Menyapaku dengan hangat lengkap dengan senyumnya yang selalu aku tunggu.
Aku ingat petama kali bertemu Franda. Dikenalkan Dino sewaktu SMA kelas 2.
‘woi Bro. Bengong aje lo. Ini
nih gue bawa temen gue. kenalin, namanya Franda.’
Hari itu aku tak terlalu
bersemangat. Selama jam istirahat aku hanya diam di kelas dengan headseat yang
terus menempel di telinga. Aku melepas headseat sebelah kiri.
‘oh. Hai..gue Gibran.’ Aku menyodorkan
tangan pada Franda.
‘Hai Gibran. Gue Franda. Gue pindahan
dari Bandung. Ini hari pertama gue sekolah di Jakarta.’ Kita berjabat tangan. Dia
menyelipkan rambut di telinga kirinya. Senyumnya, lagi lagi senyumnya itu. Ada gigi
gingsul di gusi kanan atasnya. Tapi dia tidak tertarik menggunakan behel. Katanya,
gingsul itu pemanis. Dan itu memang patut diiyakan.
Hari-hari selanjutnya kita seperti tiga serangkai. Gibran
mengenal Franda sebab kediaman nenek Gibran berada satu komplek dengan rumah
Franda ketika masih menetap di Bandung. Franda pindah ke Jakarta karena pekerjaan
Ayahnya yang memaksa keluarga Franda harus berdomisili di Jakarta. Ayahnya seorang
pemburu berita di salah satu koran nasional ternama.
Aku sering sekali memperhatikan Franda. Setiap kali dia
tertawa, dia mengunyah sesuatu dimulut sampai penuh sambil
bicara, ekspresi kagetnya, apalagi ketika dia tersenyum. Perempuan sederhana
yang energik. Franda sosok perempuan yang penuh perhatian. Sekalipun aku dan
Dino sebatas sahabat, tapi kami merasa diperlakukan lebih istimewa dari seorang
pacar.
Aku masih ingat mimik panik
Franda ketika Dino tersikut olehku saat bermain basket. Pelipisnya berdarah.
Franda panik kalang kabut. Dia segera melepas shall kesayangan yang terlilit di
lehernya, lalu ditekan pada pelipis Dino. Darahnya berkurang. Atau ketika aku
meronta kesakitan saat kakiku cedera. Masih sama, karena permainan basket.
Franda langsung menghampiriku dengan lari yang tergesa. Mimik paniknya muncul
lagi. Dengan cekatan dia menarik kaki kananku dengan ancang-ancang. Aku menjerit
sejadi-jadinya. Dokter bilang, itu pertolongan pertama yang cukup baik. Dan
bagian yang paling ku ingat. Saat Dino membawa kabar itu.
‘Woi woi woi! brooo! Bangun bro!
Siang bolong tidur mulu.’
Dino menggoyak pundakku. Tak aku
gubris. Selimut kutarik sampai menutupi seluruh tubuhku.
‘ah meeen. Banguuun! Gue lagi
bahagia nih. Gue jadian sama Franda! Wohooo.’
Deg. Aku berharap itu mimpi. Aku
berharap itu halusinasi. Aku berharap itu hanya sebatas bunga tidur saja. Kantukku
lenyap seketika. Selimut aku buka dengan wajah mengantuk bercampur terkejut.
‘serius lo?’
‘demi tuhan! Gue jadian men
sama Franda!’
Aku meminta
traktiran satu box Pizza Hut dan
minuman bersoda. Kita bertanding Play
Station hari itu sembari merayakan hari jadi Dino dan Franda. Empat jam yang
mengilukan. Aku bersandiwara seolah semua baik saja. Seolah aku turut
berbahagia. Padahal aku tersiksa. Mungkin kalau aku menjadi aktor, aku akan dinobatkan
sebagai aktor tebaik tahun ini.
***
Aku masih memeluk
selimut bermotif bendera Amerika ini. Rasanya berat sekali untuk bangun dan
beranjak dari tempat tidur. Rambutku sudah gondrong. Kondisi kamar sudah
seperti kapal pecah. Ini bulan kelima Dino dan Franda menjadi sepasang kekasih.
Dan aku, masih sekacau ini.
Aku mengurangi
intensitas waktu bersamaku dengan Dino dan Franda. Banyak kebohongan yang aku
buat selama lima bulan belakangan ini. Aku juga berhenti bermain basket.
Semangatku benar-benar lenyap. Aku jadi tak bergairah bahkan pada hal yang
paling aku senangi sekalipun. Semua karena Franda. Bukan, tapi karena Dino. Ah,
karena mereka berdua.
Seandainya aku bermain
basket lagi, kalau aku cedera siapa yang lari menghampiriku? Kalau aku bermain
basket lagi, apa aku harus melihat Franda membasuh keringat Dino, menyodorkan
botol minuman dihadapanku? Dan kalau aku bermain basket lagi, sudah pasti
disana ada Dino sebagai pemain satu timku. Dan tentu saja ada Franda. Karena sekarang
mereka satu paket.
Akhirnya aku
beranjak dari tempat tidur. Matahari semakin meninggi. Rasa malasku juga. Aku
duduk di balkon kamarku. Tidur telentang di bangku panjang balkon ini. Tangan kanan
aku jadikan penyangga kepala. Dan kaki kanan aku tekuk dan bertumpuk dengan
kaki kiri. Siang ini Jakarta cukup terik.
BRAK!
Suara pintu
kamarku terbuka dengan keras.
‘Bran! Lo apa-apaansih? Lima bulan
ini lo kenapa? Lo ngga pernah ngumpul, lo absen latihan basket, lo mundur tournament
basket pula. Mana? Katanya basket sebagian jiwa lo? belahan jiwa lo? Buktinya sekarang lo malah
ngelepas belahan jiwa lo sendiri!’
Raut wajah Franda menujukkan emosi
yang berkecamuk. Dia bahkan bicara dengan nada tinggi. Aku hanya memalingkan
wajahku selama dia mengoceh. Dalam hati aku menggerutu; ‘gue semangat main
basket karna belahan jiwa gue yang lain Frand. Elo. Sekarang jiwa gue bener-bener
sebelah, ngga lagi utuh. Karena belahan jiwa gue setelah basket, terlanjur pergi.’
‘Bran! Asli lo berantakan
banget. Lo kenapa sih? Kalo ada apa-apa tuh cerita.’ Nada bicaranya merendah.
‘gue ngga apa-apa, Fran.’
‘Bohong!’
***
‘Hot Chocolate Classic plus
Coffee Latte, Mas.’ Ucap pelayan dengan senyum ramah. Sembari menaruh pesananku
diatas meja. Lamunanku buyar.
‘Mba, aku mau Hot Place Choco
satu ya.’ Franda memesan tanpa membuka buku menu. Kita memang sering sekali
datang ke Cafe Du Chocolat. Kita bertiga. Aku, Franda, dan Dino. Saat semuanya
masih berjalan normal.
‘Kenapa Bran? Tumben ngajak
ketemuan berdua doang.’
Aku menyeruput minumanku.
‘satu tahun sama Dino, pasti
udah bikin lo ngerasa candu ya, Fran?’ Tanyaku sekenanya.
‘Bran. Gue kan udahan sama
Dino. Kenapa di bahas lagi?’ suara Franda terdengar parau. Air mukanya berubah.
‘masih sayang kan?’
‘Bran, apaansih!’ Pipi Franda
memerah. Perlahan menjadi basah.
Aku melihat Dino memarkir
motor sport hitam besar kesayangannya. Dan untungnya Franda duduk membelakangi
area parkir. Sesuai settinganku.
‘gue masuk ke dalem dulu ya sebentar.’
Aku mengelus pundak Franda. Mengelus kepalanya.
Dino
menghampiri meja yang sudah ku beri tahu sebelumnya. Langkah Dino agak
tersendat karena dia takut salah meja. Aku memang merencanakan pertemuan ini. Tanpa
sepengetahuan mereka. Dino dan Franda. Yang sudah berpisah, namun masih saling
mencinta.
Dino duduk canggung dihadapan
Franda. Franda justru menangis lebih keras dari sebelumnya. Aku menyaksikan
semua itu di dalam cafe bagian indoor. Dibatasi sekat kaca. Aku melihat mereka
sesekali beradu argumen. Aku memperhatikan gerak mulut mereka. Tak lama aku
lihat dengan jelas Dino bertanya sesuatu pada Franda. Franda menjawab, gerak
mulutnya berkata;
‘I do.’
Franda menangis
di pelukan Dino. Dino memeluk dengan lekat. Seperti melepas rindu yang meluap-luap. Lalu mencium kening Franda.
Aku melangkah menuju
area parkir Cafe Du Chocolat. Ini pukul delapan malam, rasanya ingin pulang
dan tidur. Kalau bisa tak bangun lagi. Tetapi besok pagi aku harus terbang
menuju Negara Adidaya, Amerika. Untuk melanjutkan kuliahku disana. Ini malam
terakhir aku duduk di Cafe Du Chocolat, malam terakhir merasakan padat dan
macetnya Kota Jakarta, malam terakhir berperan sebagai aktor di depan Dino dan
Franda, dan malam terakhir melihat senyum Franda. Setidaknya, kembalinya Franda
ke pelukan Dino sebagai kado perpisahan dariku. Sebab mereka tak tahu ini
menjadi malam pertemuan terakhir. Kurang lebih untuk empat tahun ke depan.
Lelah sekali berpura-pura membahagiakan diri sendiri padahal sangat tidak bahagia. Menyatukan sosok
tersayang dengan bagian jiwa yang lain. Memendam perasaan yang tak mungkin bisa aku ungkap dalam waktu dekat. Perasaan yang terjebak dalam situasi dan keadaan. Semuanya
menjadi begitu salah. Aku pamit lewat kata hati yang hanya aku dan Tuhan yang
tahu. Pamit kepada kalian, sepasang kekasih, separuh jiwaku, saudara
laki-lakiku, juga dua figur sahabat terbaikku. Aku akan selalu mendo’akan,
terutama kamu, Franda.
With Love,
21 Februari 2013
21 Februari 2013
Nidya J
0 komentar:
Posting Komentar