Kamis, 21 Februari 2013

A Painful Memory in Cafe Du Chocolat (Cerpen)



Drek!



Suara gesekan antara kursi dengan lantai terdengar demikian ketika aku menjatuhkan diri dan duduk di kursi Cafe ini. Menunggu kedatangan seseorang. Aku duduk di bagian outdoor cafe. Di set kursi bagian kanan dekat bingkai yang memamerkan pose seorang wanita berambut pendek yang nyaris bercumbu dengan lelaki gagah bersetelan jas. Bagian outdoor ini teduh dihias tenda blaster oranye-kuning tua. Di atap tenda dipasang lampion-lampion berwarna cokelat tua. Di luar tenda juga ada beberapa bangku berbahan kayu berkonsep bangku taman. Daftar menu di bagian outdoor ini dipajang melalui papan black board yang ditulis dengan kapur warna-warni. Dibelakangku terdapat sekat pembatas berbahan kayu yang diterangi cahaya remang kekuningan menyinari brand cafe ini, Cafe Du Chocolat.



          Cafe ini menyajikan banyak sajian menu yang berbahan dasar cokelat. Cafe ini sendiri letaknya di daerah Tebet Utara, Jakarta Selatan. Berada di lantai dua, di atas sebuah distro. Tetapi di samping kanan pintu masuk terdapat bagian outdoor cafe yang kini sedang aku tempati. Bagian indoor diisi beberapa sofa dan meja dengan suhu udara yang dingin karena air conditioner. Di tengah-tengah ruangan terdapat kursi bermotif bunga-bunga yang mengelilingi meja dan ditata di atas lantai bermotif catur. Lalu  di sisi belakang kursi-kursi bermotif bunga, ada satu corner dengan beberapa sofa lagi berwarna cokelat gelap nyaris hitam. Di dinding dekat sofa ini terlihat sebuah kalimat dengan ukuran font besar dan timbul bertuliskan;
         
“There is nothing better than a good friend, except a good friend with CHOCOLATE” – unknown

          Selain itu masih ada juga ruangan kaca dengan kursi bar yang viewnya menghadap ke luar. Cafe ini seperti menjadikan cokelat adalah Raja. Tempat hangout yang cozy.

Cafe yang menyajikan berbagai olahan cokelat seperti Hot Plate Ice Cream, Chocolate Fandue, Chocoteraphy, dan lain-lain selalu padat pengunjung. Terutama menjelang malam di saat week end. Untung saja ini bukan week end, ramainya masih tergolong normal.

         Orang yang aku tunggu masih belum kelihatan batang hidungnya. Aku mulai suntuk terkantuk-kantuk. Lantas aku memanggil pelayan dan seperti biasa memesan Hot Chocolate Classic plus Coffee Latte. Barangkali bisa menyegarkan pikiranku yang penat.

‘Hey....’

           Aku mendengar sapaan itu dari kejauhan. Seseorang yang berhasil mengontrol diriku dan pergerakanku tanpa kesengajaan. Bahkan dalam kurun waktu yang tak singkat. Perempuan fasionable berambut lurus dengan kulit putih yang mempesona. Senyumnya manis. Parfumnya sangat ku kenal.

‘Hey...’ jawabku membalas sapa.

‘Lo udah nunggu lama? Sorry banget Bran, Jakarta masih macet nih.’ Jelasnya.

Aku tak terlalu mempermasalahkan keterlambatannya. Dia datang dan duduk di hadapanku saja sudah cukup. Menyapaku dengan hangat lengkap dengan senyumnya yang selalu aku tunggu. Aku ingat petama kali bertemu Franda. Dikenalkan Dino sewaktu SMA kelas 2.

‘woi Bro. Bengong aje lo. Ini nih gue bawa temen gue. kenalin, namanya Franda.’

           Hari itu aku tak terlalu bersemangat. Selama jam istirahat aku hanya diam di kelas dengan headseat yang terus menempel di telinga. Aku melepas headseat sebelah kiri.

‘oh. Hai..gue Gibran.’ Aku menyodorkan tangan pada Franda.

‘Hai Gibran. Gue Franda. Gue pindahan dari Bandung. Ini hari pertama gue sekolah di Jakarta.’ Kita berjabat tangan. Dia menyelipkan rambut di telinga kirinya. Senyumnya, lagi lagi senyumnya itu. Ada gigi gingsul di gusi kanan atasnya. Tapi dia tidak tertarik menggunakan behel. Katanya, gingsul itu pemanis. Dan itu memang patut diiyakan.

           Hari-hari selanjutnya kita seperti tiga serangkai. Gibran mengenal Franda sebab kediaman nenek Gibran berada satu komplek dengan rumah Franda ketika masih menetap di Bandung. Franda pindah ke Jakarta karena pekerjaan Ayahnya yang memaksa keluarga Franda harus berdomisili di Jakarta. Ayahnya seorang pemburu berita di salah satu koran nasional ternama.

           Aku sering sekali memperhatikan Franda. Setiap kali dia tertawa, dia mengunyah sesuatu dimulut sampai penuh sambil bicara, ekspresi kagetnya, apalagi ketika dia tersenyum. Perempuan sederhana yang energik. Franda sosok perempuan yang penuh perhatian. Sekalipun aku dan Dino sebatas sahabat, tapi kami merasa diperlakukan lebih istimewa dari seorang pacar.

           Aku masih ingat mimik panik Franda ketika Dino tersikut olehku saat bermain basket. Pelipisnya berdarah. Franda panik kalang kabut. Dia segera melepas shall kesayangan yang terlilit di lehernya, lalu ditekan pada pelipis Dino. Darahnya berkurang. Atau ketika aku meronta kesakitan saat kakiku cedera. Masih sama, karena permainan basket. Franda langsung menghampiriku dengan lari yang tergesa. Mimik paniknya muncul lagi. Dengan cekatan dia menarik kaki kananku dengan ancang-ancang. Aku menjerit sejadi-jadinya. Dokter bilang, itu pertolongan pertama yang cukup baik. Dan bagian yang paling ku ingat. Saat Dino membawa kabar itu.

‘Woi woi woi! brooo! Bangun bro! Siang bolong tidur mulu.’

            Dino menggoyak pundakku. Tak aku gubris. Selimut kutarik sampai menutupi seluruh tubuhku.

‘ah meeen. Banguuun! Gue lagi bahagia nih. Gue jadian sama Franda! Wohooo.’
            Deg. Aku berharap itu mimpi. Aku berharap itu halusinasi. Aku berharap itu hanya sebatas bunga tidur saja. Kantukku lenyap seketika. Selimut aku buka dengan wajah mengantuk bercampur terkejut.

‘serius lo?’

‘demi tuhan! Gue jadian men sama Franda!’

  Aku meminta traktiran satu box Pizza Hut dan minuman bersoda. Kita bertanding Play Station hari itu sembari merayakan hari jadi Dino dan Franda. Empat jam yang mengilukan. Aku bersandiwara seolah semua baik saja. Seolah aku turut berbahagia. Padahal aku tersiksa. Mungkin kalau aku menjadi aktor, aku akan dinobatkan sebagai aktor tebaik tahun ini.


***


Aku masih memeluk selimut bermotif bendera Amerika ini. Rasanya berat sekali untuk bangun dan beranjak dari tempat tidur. Rambutku sudah gondrong. Kondisi kamar sudah seperti kapal pecah. Ini bulan kelima Dino dan Franda menjadi sepasang kekasih. Dan aku, masih sekacau ini.

Aku mengurangi intensitas waktu bersamaku dengan Dino dan Franda. Banyak kebohongan yang aku buat selama lima bulan belakangan ini. Aku juga berhenti bermain basket. Semangatku benar-benar lenyap. Aku jadi tak bergairah bahkan pada hal yang paling aku senangi sekalipun. Semua karena Franda. Bukan, tapi karena Dino. Ah, karena mereka berdua.

           Seandainya aku bermain basket lagi, kalau aku cedera siapa yang lari menghampiriku? Kalau aku bermain basket lagi, apa aku harus melihat Franda membasuh keringat Dino, menyodorkan botol minuman dihadapanku? Dan kalau aku bermain basket lagi, sudah pasti disana ada Dino sebagai pemain satu timku. Dan tentu saja ada Franda. Karena sekarang mereka satu paket.

Akhirnya aku beranjak dari tempat tidur. Matahari semakin meninggi. Rasa malasku juga. Aku duduk di balkon kamarku. Tidur telentang di bangku panjang balkon ini. Tangan kanan aku jadikan penyangga kepala. Dan kaki kanan aku tekuk dan bertumpuk dengan kaki kiri. Siang ini Jakarta cukup terik.

BRAK!

Suara pintu kamarku terbuka dengan keras.

‘Bran! Lo apa-apaansih? Lima bulan ini lo kenapa? Lo ngga pernah ngumpul, lo absen latihan basket, lo mundur tournament basket pula. Mana? Katanya basket sebagian jiwa lo? belahan jiwa lo? Buktinya sekarang lo malah ngelepas belahan jiwa lo sendiri!’

           Raut wajah Franda menujukkan emosi yang berkecamuk. Dia bahkan bicara dengan nada tinggi. Aku hanya memalingkan wajahku selama dia mengoceh. Dalam hati aku menggerutu; ‘gue semangat main basket karna belahan jiwa gue yang lain Frand. Elo. Sekarang jiwa gue bener-bener sebelah, ngga lagi utuh. Karena belahan jiwa gue setelah basket, terlanjur pergi.’

‘Bran! Asli lo berantakan banget. Lo kenapa sih? Kalo ada apa-apa tuh cerita.’ Nada bicaranya merendah.

‘gue ngga apa-apa, Fran.’

‘Bohong!’

***


‘Hot Chocolate Classic plus Coffee Latte, Mas.’ Ucap pelayan dengan senyum ramah. Sembari menaruh pesananku diatas meja. Lamunanku buyar.

‘Mba, aku mau Hot Place Choco satu ya.’ Franda memesan tanpa membuka buku menu. Kita memang sering sekali datang ke Cafe Du Chocolat. Kita bertiga. Aku, Franda, dan Dino. Saat semuanya masih berjalan normal.

‘Kenapa Bran? Tumben ngajak ketemuan berdua doang.’

Aku menyeruput minumanku.

‘satu tahun sama Dino, pasti udah bikin lo ngerasa candu ya, Fran?’ Tanyaku sekenanya.

‘Bran. Gue kan udahan sama Dino. Kenapa di bahas lagi?’ suara Franda terdengar parau. Air mukanya berubah.

‘masih sayang kan?’

‘Bran, apaansih!’ Pipi Franda memerah. Perlahan menjadi basah.

         Aku melihat Dino memarkir motor sport hitam besar kesayangannya. Dan untungnya Franda duduk membelakangi area parkir. Sesuai settinganku.

‘gue masuk ke dalem dulu ya sebentar.’ Aku mengelus pundak Franda. Mengelus kepalanya.

Dino menghampiri meja yang sudah ku beri tahu sebelumnya. Langkah Dino agak tersendat karena dia takut salah meja. Aku memang merencanakan pertemuan ini. Tanpa sepengetahuan mereka. Dino dan Franda. Yang sudah berpisah, namun masih saling mencinta.

          Dino duduk canggung dihadapan Franda. Franda justru menangis lebih keras dari sebelumnya. Aku menyaksikan semua itu di dalam cafe bagian indoor. Dibatasi sekat kaca. Aku melihat mereka sesekali beradu argumen. Aku memperhatikan gerak mulut mereka. Tak lama aku lihat dengan jelas Dino bertanya sesuatu pada Franda. Franda menjawab, gerak mulutnya berkata;

‘I do.’

Franda menangis di pelukan Dino. Dino memeluk dengan lekat. Seperti melepas rindu yang meluap-luap. Lalu mencium kening Franda.

Aku melangkah menuju area parkir Cafe Du Chocolat. Ini pukul delapan malam, rasanya ingin pulang dan tidur. Kalau bisa tak bangun lagi. Tetapi besok pagi aku harus terbang menuju Negara Adidaya, Amerika. Untuk melanjutkan kuliahku disana. Ini malam terakhir aku duduk di Cafe Du Chocolat, malam terakhir merasakan padat dan macetnya Kota Jakarta, malam terakhir berperan sebagai aktor di depan Dino dan Franda, dan malam terakhir melihat senyum Franda. Setidaknya, kembalinya Franda ke pelukan Dino sebagai kado perpisahan dariku. Sebab mereka tak tahu ini menjadi malam pertemuan terakhir. Kurang lebih untuk empat tahun ke depan.

Lelah sekali berpura-pura membahagiakan diri sendiri padahal sangat tidak bahagia. Menyatukan sosok tersayang dengan bagian jiwa yang lain. Memendam perasaan yang tak mungkin bisa aku ungkap dalam waktu dekat. Perasaan yang terjebak dalam situasi dan keadaan. Semuanya menjadi begitu salah. Aku pamit lewat kata hati yang hanya aku dan Tuhan yang tahu. Pamit kepada kalian, sepasang kekasih, separuh jiwaku, saudara laki-lakiku, juga dua figur sahabat terbaikku. Aku akan selalu mendo’akan, terutama kamu, Franda.


With Love,
21 Februari 2013
Nidya J





0 komentar:

Posting Komentar