Jumat, 08 Februari 2013

Selama Dua Tahun


“kamu udah pulang nemenin pacar kamu Dhis?”

Aku tetap menatap layar laptop. Memindahkan setiap jabaran kalimat yang ada dalam otakku. Aku suka sekali membuat tulisan pada gadget ini. Entah puisi atau cerita pendek.

“udah, makanya aku disini.”

“kamu masih aja melankolis nulis tulisan bodoh tentang cinta.” Ledeknya. Sembari duduk dikursi  balkon rumahku yang mengganggur tak bertuan.

 “weits, tulis menulis udah mendarah daging bagi aku Fan. lagian apa yang patut dibilang bodoh tentang cinta? Sampai kapanpun pembahasan tentang cinta ngga ada habisnya kali.”

Dia hanya tersenyum sesaat. Seperti tak menghiraukan jawabanku. Dia memang begitu, suka sekali menggangguku. Sering membuat aku dongkol dan kesal. Tapi tahukah? Orang yang paling mengganggu justru yang paling mudah dirindu.

“Eh kamu jadi pergi sama Qila, Fan?” tanyaku memecah diam yang sedari tadi membekukan suasana.

“jadi, sebentar lagi aku mau berangkat. Emang kenapa?”

“ya aku nanya aja.” Jawabku.

“kirain kamu mau ikut nontonin aku pacaran ahaha.”

“hihhhh males banget. Aku juga punya pacar kaliii...”

Sudah dua tahun. Aku diam tak bergerak. Aku bisu tak bicara. Bukan tubuhku, bukan mulutku. Tetapi hatiku. Hatiku diam tak juga bisa memindahkan rasa ini sepenuhnya pada yang lain. Mulutku ikut membisu tak mau mengaku.

Fandi memang kharismatik. Dia pintar, penyayang, penyabar, selera humornya tinggi dan usil sekali. Tapi itu pula yang membuat aku selalu rindu.  Dia benar-benar merindukan.

Aku sudah nyaris dua tahun mendengar cerita Fandi tentang banyak perempuan. Selama itu pula aku bersandiwara seolah semua baik saja. Seolah hatiku tak pilu menahan sakit. Mengukir senyum palsu seperti aku memberi dukungan penuh. Padahal aku sakit. Melihat yang aku cinta memperjuangkan apa yang dia cinta, tapi bukan aku. bahkan perjuangan itu bercampur jerih payahku juga. Miris.


 Lalu pacarku? Aku juga menyayangi dia. Tapi hatiku lebih lama ditempati Fandi. Aku harap aku bisa melunturkan pengharapan semuku pada Fandi.


***

“udah pulang nyenengin pacarnya?”

“hm. Udah.” Raut wajahnya Fandi tak berwarna. Kelabu. Seperti sedang merundung pilu.

“kamu kenapa Fan? Ngga biasanya pulang jalan sama Aqila murung gini.”

“iya nih.” Jawabnya singkat.

“iya nih apaan? Kamu kenapa heeey? Jawab? Kamu ngga kesurupan kan Fan?”

“hih ya enggalaaah belooo. Ini Dhis....”

Fandi memenggal kalimatnya. Menghela napas sejenak.

“ aku udahan sama Qila.”

Aku tersentak. Aku terkejut. Juga senang. Tapi ikut bersedih melihat yang dicinta seperti ini.

“seriuuus? Lah kok bisa? Ih gara-gara apa???” tanyaku simpati. Padahal memendam senang dalam hati.

“iya aku udah ngga bisa fokus ke Qila. Aku sayang dia, tapi disisi lain, ada perempuan lain yang ngisi hati aku lebih dulu dari Qila, bahkan menempati ruang yang lebih dalam dari Qila.”

Deg. Perih sekali rasanya. Dhisa yang malang, pekikku dalam hati.

“terus?”

“bayangan perempuan ini tuh ngga pernah pergi Dhis. Aku kepikiran dia terus. Kasian Qila kalo sampe seterusnya aku kaya gini.” Jelasnya.

Aku kembali pada layar laptopku. Sejujurnya aku sedang menarik-membuang napas sedari tadi. Supaya tak ada setetespun air yang tumpah membasahi pipiku tanpa izin.

“ya kalo gitu kamu perjuangin dong perempuan itu.”

“aku ngga tahu gimana perasaan dia ke aku.”

“ya kamu aja ngga ngasih tau perasaan kamu ke dia. Seengganya ya Fan, kamu bisa tau sosok ini patut kamu perjuangin atau engga. Masa bodoh tentang hasil akhir, yang penting kamu bergerak step by step buat ungkapin perasaan kamu sendiri. Memendam itu ngga enak kan?”

Sok sekali aku memberi petuah macam ini. Lebih pantas aku bicara seperti ini didepan cermin.

“aku tau, tapi aku ngga berani.”

“ha? ahahaha kamu laki apa banci?”

aku sengaja memancing emosinya. Ini cara menaikkan keberanian seorang lelaki. Dengan merendahkannya terlebih dahulu. Selanjutnya akan ada sebuah pembuktian. Itupun kalo benar dia lelaki. Kalau tidak, berarti dia banci.

“apa kamu bilang? Fine! Aku ungkapin perasaan aku.” nada bicaranya tinggi.

“nah baru ini laki....” aku mengukir senyum sumringah palsu.

“selama dua tahun ini, aku sayang sama kamu Dhis. Lebih dari sekedar sahabat. Lebih dari yang kamu tau. Tapi kamu sayang pacarmu kan? Kamu dengar? Udah aku ungkapin, Dhis. Sesuai kemauan kamu.”


Aku tak tahu lagi harus bicara apa. Bergerak saja rasanya susah.

Ponselku berdering, satu pesan masuk. Memecah suasana kaku. Ternyata pacarku berkata sayang. Sedang yang ku cinta di depan mata.



With Love.
Nidya :)
ini request. ini cerita tentang orang lain :-p

0 komentar:

Posting Komentar