“kamu udah pulang nemenin
pacar kamu Dhis?”
Aku tetap menatap layar
laptop. Memindahkan setiap jabaran kalimat yang ada dalam otakku. Aku suka
sekali membuat tulisan pada gadget ini. Entah puisi atau cerita pendek.
“udah, makanya aku disini.”
“kamu masih aja melankolis
nulis tulisan bodoh tentang cinta.” Ledeknya. Sembari duduk dikursi balkon rumahku yang mengganggur tak bertuan.
“weits, tulis menulis udah mendarah daging bagi
aku Fan. lagian apa yang patut dibilang bodoh tentang cinta? Sampai kapanpun
pembahasan tentang cinta ngga ada habisnya kali.”
Dia hanya tersenyum sesaat. Seperti
tak menghiraukan jawabanku. Dia memang begitu, suka sekali menggangguku. Sering
membuat aku dongkol dan kesal. Tapi tahukah? Orang yang paling mengganggu
justru yang paling mudah dirindu.
“Eh kamu jadi pergi sama
Qila, Fan?” tanyaku memecah diam yang sedari tadi membekukan suasana.
“jadi, sebentar lagi aku mau
berangkat. Emang kenapa?”
“ya aku nanya aja.” Jawabku.
“kirain kamu mau ikut
nontonin aku pacaran ahaha.”
“hihhhh males banget. Aku juga
punya pacar kaliii...”
Sudah dua tahun. Aku diam
tak bergerak. Aku bisu tak bicara. Bukan tubuhku, bukan mulutku. Tetapi hatiku.
Hatiku diam tak juga bisa memindahkan rasa ini sepenuhnya pada yang lain. Mulutku
ikut membisu tak mau mengaku.
Fandi memang kharismatik. Dia
pintar, penyayang, penyabar, selera humornya tinggi dan usil sekali. Tapi itu
pula yang membuat aku selalu rindu. Dia
benar-benar merindukan.
Aku sudah nyaris dua tahun
mendengar cerita Fandi tentang banyak perempuan. Selama itu pula aku
bersandiwara seolah semua baik saja. Seolah hatiku tak pilu menahan sakit. Mengukir
senyum palsu seperti aku memberi dukungan penuh. Padahal aku sakit. Melihat yang
aku cinta memperjuangkan apa yang dia cinta, tapi bukan aku. bahkan perjuangan
itu bercampur jerih payahku juga. Miris.
Lalu pacarku? Aku juga menyayangi dia. Tapi hatiku
lebih lama ditempati Fandi. Aku harap aku bisa melunturkan pengharapan semuku
pada Fandi.
***
“udah pulang nyenengin
pacarnya?”
“hm. Udah.” Raut wajahnya
Fandi tak berwarna. Kelabu. Seperti sedang merundung pilu.
“kamu kenapa Fan? Ngga biasanya
pulang jalan sama Aqila murung gini.”
“iya nih.” Jawabnya singkat.
“iya nih apaan? Kamu kenapa
heeey? Jawab? Kamu ngga kesurupan kan Fan?”
“hih ya enggalaaah belooo. Ini
Dhis....”
Fandi memenggal kalimatnya. Menghela
napas sejenak.
“ aku udahan sama Qila.”
Aku tersentak. Aku terkejut.
Juga senang. Tapi ikut bersedih melihat yang dicinta seperti ini.
“seriuuus? Lah kok bisa? Ih gara-gara
apa???” tanyaku simpati. Padahal memendam senang dalam hati.
“iya aku udah ngga bisa
fokus ke Qila. Aku sayang dia, tapi disisi lain, ada perempuan lain yang ngisi
hati aku lebih dulu dari Qila, bahkan menempati ruang yang lebih dalam dari
Qila.”
Deg. Perih sekali rasanya.
Dhisa yang malang, pekikku dalam hati.
“terus?”
“bayangan perempuan ini tuh
ngga pernah pergi Dhis. Aku kepikiran dia terus. Kasian Qila kalo sampe
seterusnya aku kaya gini.” Jelasnya.
Aku kembali pada layar
laptopku. Sejujurnya aku sedang menarik-membuang napas sedari tadi. Supaya tak
ada setetespun air yang tumpah membasahi pipiku tanpa izin.
“ya kalo gitu kamu
perjuangin dong perempuan itu.”
“aku ngga tahu gimana
perasaan dia ke aku.”
“ya kamu aja ngga ngasih tau
perasaan kamu ke dia. Seengganya ya Fan, kamu bisa tau sosok ini patut kamu
perjuangin atau engga. Masa bodoh tentang hasil akhir, yang penting kamu
bergerak step by step buat ungkapin perasaan kamu sendiri. Memendam itu ngga
enak kan?”
Sok sekali aku memberi
petuah macam ini. Lebih pantas aku bicara seperti ini didepan cermin.
“aku tau, tapi aku ngga
berani.”
“ha? ahahaha kamu laki apa
banci?”
aku sengaja memancing
emosinya. Ini cara menaikkan keberanian seorang lelaki. Dengan merendahkannya
terlebih dahulu. Selanjutnya akan ada sebuah pembuktian. Itupun kalo benar dia
lelaki. Kalau tidak, berarti dia banci.
“apa kamu bilang? Fine! Aku ungkapin
perasaan aku.” nada bicaranya tinggi.
“nah baru ini laki....” aku
mengukir senyum sumringah palsu.
“selama dua tahun ini, aku
sayang sama kamu Dhis. Lebih dari sekedar sahabat. Lebih dari yang kamu tau. Tapi
kamu sayang pacarmu kan? Kamu dengar? Udah aku ungkapin, Dhis. Sesuai kemauan
kamu.”
Aku tak tahu lagi harus
bicara apa. Bergerak saja rasanya susah.
Ponselku berdering, satu
pesan masuk. Memecah suasana kaku. Ternyata pacarku berkata sayang. Sedang yang
ku cinta di depan mata.
With Love.
Nidya :)
ini request. ini cerita tentang orang lain :-p
0 komentar:
Posting Komentar