Kamis, 23 Mei 2013

Rindu Setengah Mati

Aku menulis ini dalam keadaan rindu setengah mati
Dalam keadaan sudah terlalu sulit untuk berdiri
Sepi, sendiri

Aku ingin semua ini kembali ramai
Aku ingin semua ini kembali bingar
Aku ingin semua yang tak lagi sama kembali sama
Aku ingin, aku benci seperti ini

Seperti ketika aku menelusuri setapak yang terpencil
Tak ada cahaya yang menuntun
Hanya suara angin yang sibuk berderu ditelingaku
Mengelus lembut bulu romaku
Bukan lagi kamu

Sudah ku bulang aku benci
Aku benci seperti ini
Berada dalam keadaan rindu setengah mati
Pada apa yang telah aku tinggal pergi

Aku ingin kembali

Sudah ku bilang aku ingin bingar
Aku ingin lagi dan lagi mendengar
Suaramu yang telah lama hilang tak terdengar

Aku ingin berlari
Tetapi hatiku menolak pergi

Aku rindu setengah mati


Lagi & lagi, untuk:


Sahabatku

Selasa, 21 Mei 2013

Sebuah Tanda Pasti

Aku membanting habis seluruh lelahku juga sabarku
Aku pertaruhkan apa yang sebelumnya tak pernah aku serahkan
Akupun berjalan tertatih tanpa satu tanda kepastian

Mari kita bertaruh luka
Mari kita hitung berapa kali kau ciptakan duka

Ah, tapi aku tak ingin mengungkit
tak ingin menghitung, lalu menawar paksa sebuah balasan
Aku ingin semuanya berjalan atas dasar ketulusan
Tanpa sedikitpun paksaan juga tekanan

Apa yang kurang dari apa yang ku beri?
Apa yang tak aku penuhi?
Apa yang tak aku turuti?

Aku sampai pada bagian dimana aku mulai bertanya untuk apa semua ini aku perjuangkan
Jelas, untukmu
Tapi beri sedikit titik terang haruskah aku berhenti atau terus berjalan
Aku ingin dan teramat butuh sebuah kepastian

Iya, aku butuh

Maka sekali lagi
Mari kita bertaruh luka
Agar tak lagi tercipta sebuah duka

Agar aku tahu, untuk apa aku ada



Sandiwara

Aku memang bukan seorang pekerja seni
Atau untuk lebih spesifik bukan seorang yang memperdalam dunia peran
Tapi ku rasa aku sudah mampu menciptakan drama

Bukan maksud atau inginku untuk berpura-pura dengan sengaja
Hanya saja ini untuk kebaikan kita bersama
Sebab kita memang sudah tak lagi bersama

Aku berpura-pura seolah aku lebih bahagia
Aku menyusun kondisi seolah aku tampak baik saja

Nyatanya aku terluka

Aku tertawa dan memasang topeng ceria
Di hadapanmu
Kamu menunduk, kelu
Merasa tak berhasil membahagiakanku

Setelahnya aku melepas topeng palsuku dibalik punggungmu
Lalu menangis sajadi-jadinya
Karena tak mampu menemukan kebahagiaan yang sama
Yang serupa

Lalu mengapa aku harus bersandiwara?
Sebab lelah pula kecewa darimu juga tak ada tandingannya
Kamu yang meremas hatiku dalam satu detik menjadi banyak keping
Dan mampu merangkainya kembali dengan sempurna pada detik setelahnya
Sungguh kamu pemenang!

Dan apa kamu sadar?
Seandainya aku menghitung berapa bekas luka yang kau gurat secara nyata
Aku yakin, jariku tak cukup mewakilinya

Untuk itu aku bersandiwara
Dan berjanji akan berhenti saat ku pikir aku mulai terbiasa
Sampai menemukan kebahagiaan lain pada suatu masa

Bukan denganmu, Sayang...


Untuk sahabatku sayang;)






Aku dan Mereka

Sering kali aku merasa kikuk pada ruang lingkupku
Padahal itu duniaku, separuh waktuku habis untuk itu
Aku pernah tertawa juga menangis dalam dekapan, kala itu

Mereka

Tak jarang aku merasa asing pada sosok-sosok yang ku anggap segalanya
Padahal tingkah tolol mereka sering memecahkan suasana hati yang gundah

Iya, mereka

Aku meluapkan apapun yang membebani hati juga pikiranku dengan leluasa
Sampai menangis, pilu, marah, kecewa aku tumpahkan dalam satu tangisan
Kemudian aku di buat sesak juga tenang dalam pelukan atas dasar sayang

Tentu saja, mereka

Bingungku sering sekali menghambat kerja sel di organ maha luar biasa
yang mengisi tempurung kepalaku
Kemudian jutaan kalimat masuk ke dalam indra pedengaranku
Mengucap saran, nasihat, juga jalan pintas tentang apa yang terbaik untukku
Aku di buat tenang, di buat tahu

Masih, masih mereka

Terakhir
Aku sudah berkali-kali sampai di bagian titik merindukan masa lalu
Merasa sendiri sebab kita tak lagi satu dan tetap saja sibuk bersikukuh kita akan tetap menjadi satu
Meski nyatanya kita tak lagi memiliki banyak waktu seperti dulu

Aku merindukan tawa riang yang pecah bersama-sama
merindukan pelukan itu
merindukan petuah itu

Jangan bertanya lagi, jelas...itu mereka

Sahabatku, segalanya...



Untuk kalian:


7 perempuan hebat :)

Senin, 20 Mei 2013

Aku Harap Selamanya

Aku masih meraba
Bagaimana jika Tuhan tak mempertemukan aku denganmu
Apa aku akan merasa bahagia bila dengan yang lain?

Ah, aku tak peduli
Nyatanya Tuhan berbaik hati
Dia menciptakanmu untuk aku miliki
Untuk aku seorang diri

Kita melewati banyak putaran kisah
Melewati ribuan putaran detik
Meninggalkan jejak kenangan di berbagai tempat
Merangkai mimpi gila untuk berdua

Aku bahagia, denganmu

Tawa dan duka sudah tak asing bagi kita
Justru aku yakin itu pelengkap kebahagiaan
Sebab hadirmu seperti hadiah yang sengaja Tuhan beri padaku

Ini seperti cinta pertama
Juga seperti cinta yang terakhir
Aku tak ingin dengan yang lain

Aku harap, ini selamanya


Aku Menciptakan Jarak

Cerita kita sudah berakhir
Kamu memberi aku jalan pergi
Dan kamu mempersilahkan aku untuk berlari

Darimu

Aku tak lagi punyamu
Tak lagi milikmu
Meski cintamu tetap untukku, katamu

Aku hanya sebuah potongan cerita lalu
Yang seharusnya sudah mampu kau lipat rapi di memori kenangan
Aku hanya sebuah masa lalu
Yang seharusnya sudah tak lagi kamu prioritaskan

Aku menciptakan jarak
Aku menyempitkan waktu untuk denganmu
Aku melepas perlahan sikap manisku, padamu

Aku sedang berjalan beriringan dengan yang tersayang
Yang ku pilih, yang benar memilikiku
Dan sayang, pahamilah
Itu bukan kamu
Tak lagi kamu

Maka aku, menciptakan jarak
Untuk kebaikanku, kamu, juga dia

Walau sebenarnya, aku juga nyaris mati
Melihatmu seorang diri
Merapikan segala cerita yang telah kita akhiri
Segala kenangan yang kita lalui

Aku pamit pergi


Jatuh Cinta Dalam Diam

Kau tahu rasanya jatuh cinta dalam diam?
Rasanya seperti menyimpan ambisi dan obsesi seorang diri

Aku menyaksikanmu dalam jarak yang tak kau ketahui
Aku tersenyum bahagia meski hanya menatapmu saja
Di balik tembok pembatas ini
Sebuah dinding yang bertuliskan bahwa kau sekedar angan

Tanganku ingin menggapaimu
Bila mampu memelukmu
Berkata kau milikku dan aku milikmu
Dan berteriak pada dunia bahwa kamu semestaku

Aku tak pernah lupa pada realita
Bahwa kamu tak sesungguhnya nyata
Untuk dapat leluasa berkata padamu kalau selama ini aku cinta

Kau tahu rasanya jatuh cinta dalam diam?
Rasanya seperti menyaksikan segala hal tentangmu
Termasuk ketika tanganmu merangkul dia

Kau tahu rasanya jatuh cinta dalam diam?
Seperti berada pada goa hitam
Aku berteriak dan tak ada yang mendengar

Kau tahu rasanya jatuh cinta dalam diam?
Seperti menebak langit abu-abu
Seperti menyimpulkan senyum palsu

Seperti menebak
Bagaimana kamu terhadapku


Kau Paham Kata Lelah?

Sudah berapa kali aku bilang aku sekarat?
Sudah berapa kali aku berkata aku tak kuat?
Sudah berapa kali aku mengeluh jangan sampai kau terlambat?

Sayang, aku mencintaimu dan kau paham itu
Aku menomorsatukanmu dan kau?
Bahkan tak memasukkan aku pada nominal manapun

Kau paham kata lelah?
Aku menderita, terluka
Dan kau asyik tertawa

Aku tertarih, merintih, bersedih
dan kau semakin menjadi

Aku menopang tubuhku, cintaku, harapanku
dan kau?
Asyik dengan duniamu tanpa memperdulikan aku

Iya, aku
Yang kau bilang segalanya
Yang kau bilang tak ada duanya
Aku anggap itu sandiwara
Atau hanya sebuah drama
Tapi katamu itu semua benar adanya

Sampai akhirnya
Kita tak lagi bersama

Aku harap kau paham kata lelah
Dan tahukah?
Rinduku, masih mutlak punyamu

Kamu

Jumat, 17 Mei 2013

Ajari Aku

Kita sudah melewati banyak percakapan.
Bukankah kita memang mengenal hanya melalui dunia nyata saja?
Aku senang, sungguh. Meski ketika tak lagi disampingmu aku harus diam meringis menahan rindu.

Hey! kau berhasil menerbangkan harapan besarku untuk bersamamu ke udara.
Terbang bebas, dan tinggi.
Lalu tiba-tiba tubuhmu seperti kerasukan entah makhluk apa yang juga mempengaruhi perubahan sikapmu itu, maksudku kepadaku. Menjadi dingin, menjadi bisu, aku merasa asing.
Rasanya kamu seperti memanah balon udara besar harapanku yang terlanjur terbang tinggi, lalu panahanmu melesat tepat dan mendaratkan harapan itu dengan kasar menuju bumi.

Sudah berapa kali aku bertanya mengapa? dan jawabanmu tetap saja abstrak.
Sudah berapa jarak yang berusaha kau ciptakan setiap kali aku menawar ingin bertemu? dan sesering itu pula aku memotong jarak itu sendirian dengan segala ketidakpahamanku, tentang perubahan sikapmu yang datang tanpa peringatan, aku tak siap.

Tanda tanya ini aku analisis seorang diri, berharap paham dan mengerti.
Tapi nyatanya, diammu masih merajai.

Ajari aku, untuk mengerti apa yang tak aku mengerti.
Ajari aku, untuk bisa tahu apa maumu meski kamu tak mengucap satu katapun.
Ajari aku, untuk melipat tanya besar ini dan memperbaiki segala hal dariku yang bagimu itu salah.
Ajari aku, maka aku berjanji akan menjadi segalanya.

Untukmu.




Kau Bulan, Aku? Sepertinya Mentari

Semalam aku sibuk. kau tahu? aku sibuk mencari jawab mengapa jalan kita seperti ini.
Iya, kita seperti bulan dan mentari, satu pasang bukan? tetapi tidak ditakdirkan untuk beriringan. Aku rasa kita seperti itu.

Semalam aku memutar ulang rekaman lama perjalan panjang kita, jujur saja, sebenarnya setiap hari selalu aku putar ulang. Tapi anggap saja kau tak tahu ya, sebab aku takut kau paham bahwa aku terlalu cinta terhadapmu, dan setiap kali aku memutar ulang cerita kita, rasa bahagianya kembali datang dan entah hal magis apa aku tak paham, tetapi aku selalu saja tersenyum tanpa inginku. Meski jujur, rasa pedih masih mendampingi. Ini rasanya miris.

Uhm, kau bahagia dengannya? aku harap begitu, sebab kebahagianmu bukan denganku. Sekalipun kenyataannya bahagiaku hanya bersamamu. Denganmu saja, yang lain tak mampu sama.

Semalam aku gelisah, memikirkan bagaimana aku setelah hari ini, sebab kenyataan melulu berteriak agar aku mulai melangkah untuk beranjak, iya, darimu.

Tunggu, kau tak mau tahu ya bagaimana beratnya langkah kakiku untuk menjauh darimu bahkan barang satu langkah saja? ah, memang kau tak pernah mau tahu tentang ku, aku rasa. Padahal tentangmu tak ada yang tak aku tahu.

Semalam aku melihat langit di malam hari. Sendiri, ya tentu saja sendiri, aku tak punya siapapun lagi setelah aku memutuskan akan melangkah pergi darimu. Aku melihat Bulan, iya kamu, anggap saja kamu bulan, dan dia, laki-laki yang kini mendominasi isi pesan singkatmu, yang mengisi celah jarimu, yang mengelus lembut rambutmu itu, adalah Bintang. Kalian bersama, beriringan, pasti kalian bahagia, akupun begitu selama kamu bahagia. Apa? tidak, aku tidak berbohong. Tentu saja aku akan bahagia melihatmu bahagia. Aku? Kau anggap saja aku ini Mentari, sudah ku bilang dari awal kan, kita tak beriringan, maka benar, aku memang Mentari. Tak di takdirkan beriringan dengan Bulan, kamu.




Ditulis untuk sahabat, dari aku:

Sahabatmu.

Sabtu, 11 Mei 2013

Manusia Di Persimpangan


“sedang apa?”

“menunggu seseorang.” Jawabku.

“memangnya sudah pasti datang?”

Pertanyaan itu membuat tenggorokanku mendadak kemarau. Aku hanya menelan ludah, sementara pandanganku tetap tertuju pada satu arah. Aku duduk di sisi batu karang dibagian barat pantai, sembari sesekali melempar kerikil ke tengah pantai.

“kenapa diam?”

Perempuan ini duduk disebelah kananku, kakinya dibiarkan mengayun disisi batu karang, kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, membuka sebuah buku bercover usang, tetapi antik.

“kenapa harus banyak bicara?” jawabku, mengalihkan pandanganku darinya dan memperhatikan sekitar pantai. Angin bertiup kencang, suara ombak yang beradu dengan karang ikut serta menemaniku. Angin sibuk memainkan rambutku, juga rambut hitam legam sepinggang perempuan yang tak ku kenal ini.

“kenapa hanya diam menunggu? Jika masih mampu bergerak?”

Kau tahu? Kalimatnya menamparku telak. Mataku terbelalak, tetapi aku tak berminat menatap lekat pada siapa yang baru saja mengeluarkan kalimat itu dengan santai kepadaku.

“dia bilang, dia pasti datang.” Aku berbohong.

“bagaimana kalau ternyata dia lupa jalan pulang? Atau bahkan lupa ada seseorang yang diam menunggunya disini?”

“dia...pasti ingat keduanya.”

“lantas, kenapa masih belum juga datang?”

Entah kalimat apa yang paling layak aku utarakan untuk perempuan ini. Gadis mungil dengan ballpoin berwarna merah dengan bandul kepala tokoh Elmo dibagian ujung ballpoin, Elmo yang sedang tertawa lebar tak tahu apa-apa. Rasanya ingin aku rampas buku usang ditangannya dan ku sobek sambil berkata “apa yang kau tahu????hah???” untung saja dia terlalu lugu, aku tak sampai hati. Dan aku masih ingin sibuk menunggu.

“mungkin sedang dalam perjalanan pulang.” Jawabku, singkat. Aku tak berminat bicara banyak.

“bersama orang lain?” Pandangannya tetap menunduk.

“hey! Apa yang kau tahu tentangku???” aku lepas kendali.

“katanya tak mau banyak bicara.” Jarinya masih tetap sibuk bergerak menumpahkan tinta, sampai aku tak di gubris.

“kalau mau tetap disini, diam. Kalau tak bisa diam, sebaiknya cari tempat lain.”

“kalau mau mendapatkan apa yang kau mau, jangan diam. Kalau hanya diam, cari saja batu karang lain yang tak pernah terkikis habis untuk di duduki lelaki pasif sepertimu.” Ia tetap menulis, dan menulis.

Aku mengepal telapak tanganku dengan kuat, mengalirkan seluruh emosi dan amarahku pada satu titik pusat. Dia berdiri tanpa sedikitpun menatapku, lalu pergi meninggalkan aku di tempat aku terdiam selama berjam-jam setiap harinya, ditemani senja, angin pantai, juga desir ombak. Menunggu kedatangan seseorang, yang sejujurnya tak pernah berjanji akan kembali untukku, tapi entah alasan apa yang begitu meyakinkan aku bahwa aku akan bertemu kembali disini, ditempat terakhir pertemuan itu.




***




            Aku mencari ballpoin kepunyaanku di meja belajar Clara, adikku. Meja belajarnya berantakan, tapi aku yakin hatiku juga arah hidupku masih lebih berantakan dari pada ini. Novel-novel, majalah remaja perempuan tak tertata dengan rapih, tak ada buku berbobot yang mengandung unsur pelajaran, sepertinya adikku terpengaruh gaya hidup perempuan labil metropolitan. Aku mengangkat semua novel serta majalah dan mencari Ballpoin berwarna  silver white buah tangan dari Bangkok, saat Ayahku bertugas disana.

            “Manusia Di Persimpangan.” Ucapku pelan.

Aku memegang sebuah novel roman remaja milik adikku, bercover merah pekat dengan ilustrasi design sebuah siluet seorang lelaki sedang berdiri di depan dua jalan gelap yang bersimpangan. Tertulis Adiya Melia di depan bagian bawah cover novel ini, sepertinya ini nama dari penulisnya. Lantas aku membalik buku ditangan ku ini, membaca sinopsisnya dibagian cover belakang, yang tertulis:

“Kepada kamu yang menyampaikan telapak kakiku di depan persimpangan ini. Menemani langkahku hingga sampai di tempatku berdiri kini, di depan dua buah jalan berbeda yang memaksaku untuk memilih salah satu dari keduanya. Jalan yang aku tak tahu akan kutemui apa dan bagaimana. Aku berdiri diam di tempat ini, diam, tak ingin melangkah satu kalipun, sebab aku masih menyimpan sedikit harapan untuk melihat bayanganmu datang dari kejauhan menuju tempat ku berdiri, atau memeluk punggungku dari belakang, untuk kembali, sekalipun kemungkinan itu hanya setipis jaring laba-laba. Meski katamu dulu, aku hanya perlu memilih satu jalan, antara pergi melanjutkan, atau kembali untuk pulang, tetapi tak ada kamu pada keduanya.

Alasan aku tetap diam dipersimpangan ini karena aku menantikan jalan lain yang barangkali saja tercipta dan di dalamnya ada kamu, meski sempit, sesak, dan semu. Selama itu denganmu kau pikir aku peduli? Tidak. Terhitung sejak kepergianmu aku tak memiliki arah lagi, tak berminat memilih jalan lain selain menunggu kepulanganmu yang tak pasti. Terhitung sejak kepergianmu harapanku mulai menipis dan terkikis, impianku, anganku, semuanya melangkah menjauh dariku, terutama tentang kamu, nyaris mati. Tapi aku masih berdiri di persimpangan ini, sendiri, menanti, untuk sebuah jalan yang disana kuharap ada aku denganmu beriringan. Aku, manusia dipersimpangan.”

            “Lumayan.”

            Kemudian aku membuka biografi penulis dibalik cover belakang, setelah lembar halaman terakhir. Aku melihat seorang gadis perempuan mungil dengan rambut hitam legam sepinggang, memangku buku usang yang antik, dan di tengah-tengah buku yang ia genggam terselip sebuah ballpoin merah berbandul Elmo, ia sedang tersenyum manis menatap kemera.




***




“sedang apa? Menunggu seseorang? Memang sudah pasti datang? Kalau dia lupa jalan pulang atau lupa ada yang menunggunya bagaimana?” Kataku.

            Aku berdiri disampingnya, memasukkan telapak tangan kananku ke dalam saku jaket, sementara tangan kiriku memegang novel roman remaja bercover merah pekat yang aku beli beberapa waktu lalu. Pandanganku tertuju lurus ke depan, memperhatikan senja di tepi pantai, menelaah keindahan karya Tuhan. Sementara gadis mungil ini menatap apa yang ku pegang lalu mengangkat kepalanya perlahan dan menatap parasku, kemudian tertawa kecil tanpa suara.

“Ya...aku menunggu seseorang. Dan baru saja orang yang ku tunggu tiba. Tak sepertimu.” Nadanya meledek.

“hah? Kau menungguku?”

“ya, sepertinya. Aku menulis Manusia Di Persimpangan berbulan-bulan yang lalu, terinspirasi dari cerita sahabatku, sekarang dia melanjutkan studynya di Turki. Namanya Quamilla Faradhisa, sudah pasti kau mengenalnya.  Dia bercerita tentangmu, kebetulan aku seorang penulis, dan cerita tentangmu yang Milla ceritakan cukup menarik.” Jelasnya.

Aku benar-benar kehabisan udara, sesak. Apalagi mendengar nama perempuan yang sudah lama tak aku temui sosoknya. Dan ku tunggu hadirnya, disini, di batu karang bagian barat pantai.

“Bulan ini dia pulang ke Indonesia, membawa Ibrahim, kekasihnya selama 3 tahun dia kuliah di Turki.”

Demi tuhan! Paru-paruku di remas habis-habisan.

“ Jadi nanti disaat kamu mendapatinya kembali di tempatmu berdiri, menunggu dan menanti setiap hari, jangan lemah dan lemas ya, jika tangannya menggegam tangan orang lain. Sudah pasti itu Ibrahim.”

Oksigen entah mengumpat di sudut bumi bagian mana. Aku rasanya sekarat.

“Aku tahu, waktu 3 tiga tahun yang kau habiskan bersama Milla tak singkat. Juga kepergian Milla yang tanpa peringatan membuatmu tak pernah sepenuhnya rela bahkan sampai detik ini. Tapi bukankah hidup hanya sebatas jatuh cinta lalu patah hati dan terus berulang seperti itu?”

Rasanya seluruh syarafku mengencang, kemudiam terjadi keram luar biasa, mengalirkan rasa sakit yang terlampau sulit aku gambarkan. Rasanya ngilu.

“Kamu, Andreas Saputra Widjaya, manusia di persimpangan yang ku maksud, yang kuharap terhitung hari ini sudah tau jalan mana yang sepatutnya kau pilih.”

Gadis ini mengambil buku yang ku pegang, aku masih tercengang, perlahan celah mataku mulai berair, aku merasa sangat payah sebagai lelaki. Dia menandatangani novel ini dengan pesan:

Tuhan tak pernah salah perhitungan dalam menulis takdir ;)

            Aku masih belum bergerak, ia kembali menyelipkan novel ini di telapak tanganku, aku masih tetap diam saja. Kemudian dia menepuk pundakku, tersenyum, lalu pergi. Entah harus ku sebut apa gadis ini, malaikat pembawa kabar buruk, atau justru kabar baik. Sebab darinya aku tahu, tak perlu lagi aku membuang waktu. Ternyata aku yang dia maksud sebagai Manusia Di Persimpangan, ya, ternyata aku.