Jumat, 17 Mei 2013

Kau Bulan, Aku? Sepertinya Mentari

Semalam aku sibuk. kau tahu? aku sibuk mencari jawab mengapa jalan kita seperti ini.
Iya, kita seperti bulan dan mentari, satu pasang bukan? tetapi tidak ditakdirkan untuk beriringan. Aku rasa kita seperti itu.

Semalam aku memutar ulang rekaman lama perjalan panjang kita, jujur saja, sebenarnya setiap hari selalu aku putar ulang. Tapi anggap saja kau tak tahu ya, sebab aku takut kau paham bahwa aku terlalu cinta terhadapmu, dan setiap kali aku memutar ulang cerita kita, rasa bahagianya kembali datang dan entah hal magis apa aku tak paham, tetapi aku selalu saja tersenyum tanpa inginku. Meski jujur, rasa pedih masih mendampingi. Ini rasanya miris.

Uhm, kau bahagia dengannya? aku harap begitu, sebab kebahagianmu bukan denganku. Sekalipun kenyataannya bahagiaku hanya bersamamu. Denganmu saja, yang lain tak mampu sama.

Semalam aku gelisah, memikirkan bagaimana aku setelah hari ini, sebab kenyataan melulu berteriak agar aku mulai melangkah untuk beranjak, iya, darimu.

Tunggu, kau tak mau tahu ya bagaimana beratnya langkah kakiku untuk menjauh darimu bahkan barang satu langkah saja? ah, memang kau tak pernah mau tahu tentang ku, aku rasa. Padahal tentangmu tak ada yang tak aku tahu.

Semalam aku melihat langit di malam hari. Sendiri, ya tentu saja sendiri, aku tak punya siapapun lagi setelah aku memutuskan akan melangkah pergi darimu. Aku melihat Bulan, iya kamu, anggap saja kamu bulan, dan dia, laki-laki yang kini mendominasi isi pesan singkatmu, yang mengisi celah jarimu, yang mengelus lembut rambutmu itu, adalah Bintang. Kalian bersama, beriringan, pasti kalian bahagia, akupun begitu selama kamu bahagia. Apa? tidak, aku tidak berbohong. Tentu saja aku akan bahagia melihatmu bahagia. Aku? Kau anggap saja aku ini Mentari, sudah ku bilang dari awal kan, kita tak beriringan, maka benar, aku memang Mentari. Tak di takdirkan beriringan dengan Bulan, kamu.




Ditulis untuk sahabat, dari aku:

Sahabatmu.

0 komentar:

Posting Komentar