Minggu, 27 Oktober 2013

Hari-hariku Selamanya

Aku terbangun dari tidurku di kala pagi, maka tetap, hal pertama yang mampir dalam ingatanku adalah kamu. Aku jatuh cinta pada orang yang sama di setiap hari. Ribuan kamu penuh mengisi kepala, menghimpit logika, dan menutup celah dengan rapat untuk yang kedua apalagi ketika. Kamu adalah ganjil yang menggenapkanku. Tanpa kamu aku tak imbang.

Aku menemui siangku masih tetap disertai ingatan tentangmu, yang memenuhi silabus otakku. Aku memikirkan sosok yang itu saja pada setiap putaran waktu. Betapa kamu mendominasi. Maka kamu adalah si tunggal yang merajai seluruh aku terutama ruang hati.

Aku sampai pada senjaku lengkap dengan lelah pula penat yang menggantung mengganggu di atas kepala dan pundak. Maka saat inilah aku paham, kamu ada sebagai penyorak agar aku tetap semangat.

Aku meniti malam menatap jutaan bintang yang berserak di angkasa sendirian, hanya sendiri. Maka di malam nanti, yang ku yakini pasti terjadi, adalah saat aku tak akan lagi menatap langit seorang diri, melainkan berdua dengan kamu yang menemani.


Aku menarik selimut menutup tubuh, membaca doa kepada Yang Esa, kemudian mulai terpejam dan hariku di tutup dengan bayang tentangmu lagi. Begitulah hari-hariku setiap harinya, begitu aku selamanya.



Selamat malam...



Sabtu, 26 Oktober 2013

Komidi Putar #1

Ditanah lapang yang luas itu
Terdapat sebuah komidi putar yang di tinggalkan pemainnya
Warnanya tak lagi ada, besinya sudah berkarat
Kau melihatnya bukan?
Aku yakin kau juga melihatnya, dalam ruang imajimu

Dahulu, komidi itu pernah menjadi saksi dari sebuah tawa lepas
Seorang anak lelaki dengan sebatang permen kapas digenggaman, pernah terbelalak bahagia diatasnya
Hanya karena komidi itu dulu pernah menyenangkan, pernah berwarna, pernah menyejukkan karena setiap putarannya mendatangkan angin alam
Dia tak ingin berhenti bermain
Tak ingin berhenti berputar
Sekalipun dia telah mual

Setiap hari tak pernah tak ia datangi
Dengan langkah kaki yang sedikit melompat-lompat
Dia selalu datang, lengkap dengan permen kapas di tangannya
Senyumnya mengembang, tawanya tanpa beban
Mungkin baginya hidup begitu ringan

Dia melompat untuk menaikinya
“Hap!” begitu katanya
Kemudian mulai memutarnya dan tertawa dengan riang

Begitu ia setiap harinya
Iya, begitu

Sekian putaran bulan ia tetap melakukan hal yang sama

Hingga pada suatu hari
Langkahnya tak lagi semangat,
Di tangannya tak ada lagi permen kapas yang biasanya ia ikutsertakan
Tawanyapun ikut melenyap, hilang, sepi
Wajahnya tak bergairah

Dipegangnya komidi putar itu, hanya memegang saja, sebatas itu
Kakinya tetap menginjak pada lapangan tanah yang gersang

“hah....dari waktu ke waktu kau begini saja, aku bosan. Warnamupun memudar, aku tak suka. Kau berkarat, bisa melukaiku. Setiap putaranmu mulai mengeluarkan bunyi berdenyit yang menyakitkan telingaku. Dan putaranmu, tak lagi mengasyikkan, aku tak lagi tertawa lepas. Kau semakin buruk, tak lagi menyenangkanku.” Begitu katanya.


Semenjak hari itu, dia tak pernah datang kembali.



Komidi Putar #2

Sepeninggalan anak lelaki itu, komidi putar tetap berada di tempat yang sama
Warnanya semakin kusam
Air hujan membuatnya semakin berkarat
Tak ada sedikitpun pergerakan pada posisinya
Karenanya dia tampak semakin usang
Hanya tertumpuk debu yang diterbangkan angin
Jika debupun dapat memilih, mungkin tak ingin ia hinggap bila ada tempat yang lain

Menyedihkan sekali

Siapa yang tahu dahulu komidi putar renta ini pernah begitu berwarna?
Siapa yang tahu dahulu komidi putar ini begitu dicintai oleh seorang anak adam?
Siapa yang tahu dahulu komidi putar ini pernah begitu tangguh mengukir tawa seorang bocah?
Siapa yang tahu?
Yang mereka tahu, komidi ini sudah tak lagi menarik

Mungkin, jika aku; yang menulis cerita ini
Adalah komidi putar, pada hari terakhir anak lelaki itu datang, aku akan menjawab:

“hei, kaupun begitu saja bukan setiap kali kau datang? Tertawa, membawa permen kapas, dan memutarku? Tetapi asal kau tahu aku tak pernah bosan kau datangi. Bukankah kau yang memainkan aku semaumu? Bukankah aku yang paling setia menghiburmu? Bukankah tawa terbelalakmu juga mengganggu? Namun aku tak mengeluh. Bukankah aku pula yang selalu ada ditiap kau ingin tertawa? Sekalipun aku sedang malas berputar. Kau lupa? Siapa yang membuatku semakin renta hingga bunyiku sekarang berdenyit? Siapa yang diam saja ketika air hujam membasahiku hingga menghasilkan banyak karat padaku? Siapa yang memudarkan warnaku karena terlalu sering tersentuh? Semua jawabnya hanya; kau. Aku berbahagia jika hanya dengan diamku saja kau bisa begitu riang. Aku berbahagia hanya karena aku rela kau datangi semaumu kau tak pernah merasa sepi. Aku berbahagia hanya karena hujan mengguyur bumi kau berteduh dan tak basah sedikitpun sedangkan aku menjadi karat. Pergilah... cari permainan barumu yang kau pikir tak akan pernah merenta atau berubah menjadi yang tak kau suka, itupun jika ada. Jika kau merindukan aku dibertahun-tahun yang akan datang, datanglah ke tempat kau meninggalkanku, maka aku akan tetap menjadi yang paling setia. Oh iya, seandainya kau memang benar bahagia karenaku, kau pasti mau memperbaikiku, seburuk apapun aku, tanpa harus pergi dan mencari permainan baru. Jika kau benar bahagia bersamaku, tak akan kau pergi karena alasan ‘bosan’. Semoga kau menemukan yang kau mau, ya.”

Ah, nyatanya itu hanya sebuah komidi putar. Dan untungnya itu bukan aku.

Omong-omong, aku hanya iseng bercerita mengisi waktu senggang.




Selamat malam



Saat Ini Aku

Kamu tahu rasanya berada pada bingar namun kamu tak berminat mendengar sekitar?
Rasanya seperti sepi lebih mengerti dari siapapun

Kamu tahu rasanya memendam kecewa, marah, juga sedih dalam satu waktu tetapi tak sanggup kamu utarakan lewat derai air mata tau makian sebagai pelega?
Rasanya seperti kamu mati rasa!
seperti ingin sekali bicara namun kamu nyatanya bisu
Ingin sekali berteriak namun pita suaramu melenyap
yang tersisa hanya sebongkah sepi berbalut emosi

Aku pernah menyaksikan seseorang menangis kencang kemudian sudah
Atau berteriak lepas kemudian puas
Pernah pula melihat orang yang mencaci maki kemudian selesai

Aku ingin sekali menjadi demikian
Namun susah meski sudah
Ah! Payah!

Aku ingin sekali memarahi keadaan kemudian dia membaik
Seperti anak nakal memohon ampun dan berjanji tak akan mengulang meski dengan raut dongkol

Ini konyol! Beberapa beban seperti bersekongkol untuk berkunjung menemuiku dalam satu tempo
Sampai aku terlihat tolol karena tunduk pada masalah

Jika aku berdiri di depan cermin, bayanganku di depan sana pasti puas menertawakanku bahkan mungkin sampai terpingkal-pingkal
Sementara nyatanya, aku hanya menunduk, malu

Dalam hidup terlalu banyak yang aku pusingkan
Padahal bisa saja ku anggap ringan

Saat ini aku seperti tak berminat pada hidupku sendiri
Menurutku, tak akan ada yang benar-benar mengerti, yang ada hanya belaga mengerti
Saat ini, aku dimengerti oleh sepi



Kemana Lagi?

Kemana selanjutnya aku akan pergi?
Sembunyi dari banyak mata yang memicing sinis menujuku
Berlari dari banyak tanya yang tak meringankan bebanku

Bibirku pegal memasang senyum palsu penutup pilu
Bersandiwara setidaknya menolongku dari berpasang-pasang wajah munafik bertopeng keluguan dengan raut sok empati, nyatanya di belakang punggung mengasihani

Sering sekali aku marah
Hanya saja tak selalu meluap bebas atau meledak puas seperti dinamit yang terbakar atau granat yang dilempar
Sebatas berkumpul dalam satu kepalan tangan atau jika terlalu penuh hanya berakhir sebagai tangisan cengeng anak perempuan

Aku lemah dalam banyak hal
Aku lugu pada banyak bahaya yang jelas menujuku
Oleh karena itu aku butuh seorang yang mampu melindungiku

Namun detik ini, aku merasa seperti tak miliki itu

Lalu, kemana lagi tempat aman yang bisa ku tuju?
Sungguh, tak aku tau