Ditanah
lapang yang luas itu
Terdapat
sebuah komidi putar yang di tinggalkan pemainnya
Warnanya
tak lagi ada, besinya sudah berkarat
Kau
melihatnya bukan?
Aku
yakin kau juga melihatnya, dalam ruang imajimu
Dahulu,
komidi itu pernah menjadi saksi dari sebuah tawa lepas
Seorang
anak lelaki dengan sebatang permen kapas digenggaman, pernah terbelalak bahagia
diatasnya
Hanya
karena komidi itu dulu pernah menyenangkan, pernah berwarna, pernah menyejukkan
karena setiap putarannya mendatangkan angin alam
Dia
tak ingin berhenti bermain
Tak
ingin berhenti berputar
Sekalipun
dia telah mual
Setiap
hari tak pernah tak ia datangi
Dengan
langkah kaki yang sedikit melompat-lompat
Dia
selalu datang, lengkap dengan permen kapas di tangannya
Senyumnya
mengembang, tawanya tanpa beban
Mungkin
baginya hidup begitu ringan
Dia
melompat untuk menaikinya
“Hap!”
begitu katanya
Kemudian
mulai memutarnya dan tertawa dengan riang
Begitu
ia setiap harinya
Iya,
begitu
Sekian
putaran bulan ia tetap melakukan hal yang sama
Hingga
pada suatu hari
Langkahnya
tak lagi semangat,
Di
tangannya tak ada lagi permen kapas yang biasanya ia ikutsertakan
Tawanyapun
ikut melenyap, hilang, sepi
Wajahnya
tak bergairah
Dipegangnya
komidi putar itu, hanya memegang saja, sebatas itu
Kakinya
tetap menginjak pada lapangan tanah yang gersang
“hah....dari
waktu ke waktu kau begini saja, aku bosan. Warnamupun memudar, aku tak suka.
Kau berkarat, bisa melukaiku. Setiap putaranmu mulai mengeluarkan bunyi
berdenyit yang menyakitkan telingaku. Dan putaranmu, tak lagi mengasyikkan, aku
tak lagi tertawa lepas. Kau semakin buruk, tak lagi menyenangkanku.” Begitu
katanya.
Semenjak
hari itu, dia tak pernah datang kembali.
0 komentar:
Posting Komentar