Sabtu, 26 Oktober 2013

Komidi Putar #1

Ditanah lapang yang luas itu
Terdapat sebuah komidi putar yang di tinggalkan pemainnya
Warnanya tak lagi ada, besinya sudah berkarat
Kau melihatnya bukan?
Aku yakin kau juga melihatnya, dalam ruang imajimu

Dahulu, komidi itu pernah menjadi saksi dari sebuah tawa lepas
Seorang anak lelaki dengan sebatang permen kapas digenggaman, pernah terbelalak bahagia diatasnya
Hanya karena komidi itu dulu pernah menyenangkan, pernah berwarna, pernah menyejukkan karena setiap putarannya mendatangkan angin alam
Dia tak ingin berhenti bermain
Tak ingin berhenti berputar
Sekalipun dia telah mual

Setiap hari tak pernah tak ia datangi
Dengan langkah kaki yang sedikit melompat-lompat
Dia selalu datang, lengkap dengan permen kapas di tangannya
Senyumnya mengembang, tawanya tanpa beban
Mungkin baginya hidup begitu ringan

Dia melompat untuk menaikinya
“Hap!” begitu katanya
Kemudian mulai memutarnya dan tertawa dengan riang

Begitu ia setiap harinya
Iya, begitu

Sekian putaran bulan ia tetap melakukan hal yang sama

Hingga pada suatu hari
Langkahnya tak lagi semangat,
Di tangannya tak ada lagi permen kapas yang biasanya ia ikutsertakan
Tawanyapun ikut melenyap, hilang, sepi
Wajahnya tak bergairah

Dipegangnya komidi putar itu, hanya memegang saja, sebatas itu
Kakinya tetap menginjak pada lapangan tanah yang gersang

“hah....dari waktu ke waktu kau begini saja, aku bosan. Warnamupun memudar, aku tak suka. Kau berkarat, bisa melukaiku. Setiap putaranmu mulai mengeluarkan bunyi berdenyit yang menyakitkan telingaku. Dan putaranmu, tak lagi mengasyikkan, aku tak lagi tertawa lepas. Kau semakin buruk, tak lagi menyenangkanku.” Begitu katanya.


Semenjak hari itu, dia tak pernah datang kembali.



0 komentar:

Posting Komentar