Sabtu, 30 Maret 2013

Sebagai Aku

Sebagai Udara, aku bersedia selalu mengisi celah dan ruang parumu untuk dapat terus menghidupkanmu dalam setiap harinya di setiap celah hidupku. Aku ada.

Sebagai Angin. aku ada untuk mengelus lembut romamu untuk selalu siap aku dekap dengan hangat. Menghangatkanmu, melengkapkanmu. Aku ingin.

Sebagai Hujan, aku ingin selalu membawamu hanyut dalam kisah klasik perjalanan panjang kita dan melemparmu jauh ke masa lalu dimana kita masih berjuang untuk kita. Aku akan.

Sebagai Awan, aku akan mengiringi jejak langkahmu mendampingimu menyelusuri semua rahasia Tuhan tentang hidupmu, aku akan berarak di belakangmu. Aku mau.

Sebagai Mentari, aku mau menyinari segala ruang gelap dan jalan tak berarah kemudian menyinarimu tanpa lelah dan tak akan menyerah. Aku terima.

Sebagai Aku, terimalah sebagaimana adanya aku, apapun tentangku baik buruknya kau tak perlu menuntut, maka aku akan menjadi apapun yang kau butuh, yang kau mau. Aku bersedia.




Di Pelupuk Matamu



Di pelupuk matamu aku melihat luka, aku menyaksikan bekas duka. Seperti trauma panjang tak berkesudahan yang telalu lama dibiarkan. Mungkin riaknya tak cukup kuat membuatmu sadar bahwa itu luka yang seharusnya tak lagi ada.

Biarkan dia pergi.

Di pelupuk matamu, aku melihat setumpukan perih lama yang tak berangsur membaik. Hati yang terlalu lelah menangisi hal sama selama kurun waktu yang tak singkat. Kenangan itu harusnya telah mampu kau kubur mati.

Di pelupuk matamu, aku merasakan sebuah harapan tipis yang mengalun membisikkan lembut bahwa kamu sesungguhnya sudah lelah. Bahwa kamu merasa layak untuk bahagia. Untuk merasa lengkap tanpa harus merasa terperangkap.

Biarkan aku menyembuhkanmu.

Di pelupuk matamu, aku menatap lekat. dan berjanji, aku akan mengembalikan tawamu yang telah lama hilang. Yang telah lama pergi dan akan segera kembali. Akan segera kembali. Ya, kembali.



Bekasi, 29 Maret 2013
Nidya Amalia




Jumat, 29 Maret 2013

Di Senja Ini

Apa yang terlampau ironis selain rasa takut yang tak kunjung terbakar habis? Apa yang terlampau pedih selain sabar untuk menunggu yang mulai terkikis habis?

Di senja ini kita bicara

Tentang luka yang mulai membusuk dan membuat dinding hatimu berkarat, katamu. Tentang diamku yang mengapungkan kapal besar harapan-harapanmu di tengah samudera luas, dengan ku.

Di senja ini kita buka suara

Hanya demi sebuah jawaban. Teruntuk sebuah kepastian. Merentetkan tanda tanya lalu dengan kata yang terbata mencoba merubahnya menjadi tanda titik; meski hanya berakhir sebagai tanda koma.

Di senja ini kita masih tak mendapat jawab pasti

Hujan seperti tak fasih mengeja keadaan. Dia runtuh dari awan menuju bumi membasahi dua makhluk yang terbatas dinding semu. Rasa dingin mulai menjalari seluruh tubuh, mulai berani membuat jemari bergetar dan melinu. Tak ada dekap, tak ada hangat.

Di senja ini kita membeku, Di senja ini kita terpaku.




Sajak Senja Lalu
Nidya  Amalia



Selasa, 26 Maret 2013

Tentang Ilusi (Kamu)

Aku sedang diam, bukan berarti benar-benar diam. Justru aku sedang bermain dalam ruang imajiku sendiri. Aku sedang berperan menjadi 'Aku' dalam kisah yang ku harap menjadi nyata, sebab sejauh ini hanya terjadi dalam bayanganku, khayalanku, atau lamunanku saja, sebatas itu. Tentang banyak hal, tentang banyak mimpi, juga harapan.

(Salah satunya kamu.)

Ini seperti ilusi, atau mungkin sugesti. Dimana aku menganggap apa yang ku bayangankan akan benar terjadi. Atau sugesti yang berkembang tumbuh menjadi harapan, dimana mampu menguatkan keyakinanku bahwa ini akan terealisasi.

(Aku tak mempersiapkan diri untuk terjatuh dan kecewa. Ini payahnya diriku.)

Aku terlalu menganggap hidup akan berjalan sesuai rencana yang ku rancang. Atau sesuai terkaan yang ku duga. Padahal tak selamanya. Aku lupa mensiasati mental untuk dapat tersenyum lebar pada ketidakberhasilan.

(Termasuk tentang kamu. Sudah terbukti dengan segala rumitnya alur yang kita buat. Diluar dugaan dan perhitungan.)

Ilusi memang tak nyata, dia bersifat imajinatif. Semu. Serupa dengan mimpi. Hanya saja ia bermain dalam keadaan sadar. Sedangkan mimpi di bawah alam sadar, ketika tubuh dibuat lumpuh.

(Sama sepertimu, ada dalam keadaan sadar, namun seperti aktor dalam mimpiku. Hanya menjelma dalam alam bawah sadarku. Dalam kehidupan yang sebenarnya, kamu bukanlah kamu dalam ilusiku. Yang ku maksud, kamu siapaku dalam ilusiku, berbeda, dengan kamu siapaku dalam realita.)

Tapi percayalah; "Tanpa mimpi orang-orang seperti kita akan mati." Begitu kata seorang penulis kesayanganku.

Kamu bingung aku sedang bicara mengenai mimpi atau ilusi? bagiku kedunya sama. Tak nyata, namun memberi dan memiliki kekuatan luar biasa dalam kehidupan nyata pada diri seorang manusia.

(Kamupun begitu, memberi kekuatan bagiku mengenai cara bertahan dan berjuang)

Ini tentang ilusi.

(Kamu)




With Love
Nidya :)

Minggu, 24 Maret 2013

.

Aku tak mau banyak berbasa-basi
Malas mengurai kalimat panjang yang rumit

Aku ingin mengaku
Agar kau tahu

Sungguh, aku rindu

Kamu.




Terakhir

Aku hidup untuk masa depanmu.

Biarkan kini aku mati dalam perjalanmu sementara waktu.

Aku ingin hidup dalam bagian dunia yang lain.

Yang hanya ada aku, dan dia.

Dan tentu saja tak ada kamu.

Sampai bertemu. Selamat berpetualang.

Aku akan kembali pada duniamu, disaat Tuhan berkata; Kamu, perjalanan terakhirku. Dan aku, yang terakhir untukmu.

Yakinlah Tuhan akan berkata demikian.

Berbahagialah.

Kita akan bertemu, sebagai yang terakhir.

Sampai kehidupan semesta berakhir. Sampai waktu kita hidup di bumi, telah sampai pada detik dan detak terakhir.

Ya, terakhir.





Sabtu, 23 Maret 2013

Untitled

Lukamu kini menjadi lukaku
Pedihmu kini menjadi pedihku
Kecewamu kini menjadi kecewaku

Saat ini saja

Aku marah! bagaimana kamu?
Aku terluka! Apalagi kamu.

Aku diam. Aku diam, sayang.
Jadi, ku mohon kau tetap di tempat yang sama.

Jangan beranjak, jangan berlalu.
Aku bersamamu. Masa depanmu.

Anggap Saja Aku Ini, Rumahmu.

Entah sudah berapa putaran jarum jam yang kita lalui. Entah sudah berapa sobekan tanggal yang kita buang. Entah sudah berapa luka yang lagi dan lagi kita tuai.

Dan entah sudah berapa lembar cerita bahagia bersama yang kita rangkai.

Ini tentang sebuah tempat dimana kamu selalu kembali, dimana kamu selalu pulang, setelah puas bermain dengan duniamu yang tak pernah mau ku tahu.

Sudah berapa dunia yang kau singgahi? sudah berapa banyak hati yang kau tinggal pergi? sebelum pulang kembali, kepadaku, hatiku, waktuku, hariku, hidupku, aku.

Aku tak pernah bisa menolak kedatanganmu, pula tak bisa mencegah kepergianmu. Lagi-lagi masih terhalang kalimat "aku siapamu?"

Bolehkah aku mengajakmu ke tepi danau berair biru? Aku ingin kamu menatap lekat dirimu. Bagaimana kamu, terutama kepadaku.

Jika kamu pergi? aku tak melarang bukan? sekalipun aku nyaris mati.

Jika kamu kembali? aku tak menolak bukan? sekalipun disaat lukaku atas kepergianmu nyaris terobati.


Setiap kau terluka karena duniamu itu, lantas siapa yang selalu mengobati? Aku, jawabmu.


Lalu kamu? dimana? saat aku terlampau butuh kamu? adakah untukku?

Jawabannya bukan tidak, bukan pula iya. Tetapi terkadang, katamu.

Sedangkan pintuku yang terbuka untukmu? selalu! selalu terbuka! kau dengar aku? SELALU!

Ingin rasanya aku teriak di hadapanmu meluapkan segala emosiku meski sampai kalap!

Ingin aku aku bertanya padamu adakah yang sepertiku selain aku, terhadapmu?

Hah? Kau diam.

Maaf aku meradang, mengamuk, tak beretika seperti ini. Tapi sadarkah atas dasar apa?

Ya, sikapmu.

Kamu, kamu saja.

Sulit sekali membencimu, sulit sekali melepasmu, apalagi tak menyayangimu meski dengan segala acuhnya kamu. Aku tetap cinta.

Datanglah sesuka hati. Aku dibuat tak berdaya olehmu.

Anggap saja aku ini, rumahmu.



Dari aku

Yang Tak Pernah Kau Anggap Ada



(isn't about me, guys:-p)

Rabu, 20 Maret 2013

Hujan Punya Cerita Tentang Kita


Hujan punya cerita tentang kita. Dia merekam kronologi yang telah kita tinggal pergi. Basahannya kita injak dengan jejak kaki yang saling beriringan, bersebelahan, yang berarti saat kita bersama. Gemericik suaranya mengalun seirama saat terjadi pertemuan dengan tanah, dengan bumi, menghasilkan melodi. Menguapkan bau hujan yang khas. Kita pernah mendengarnya pula menciumnya, saat berdua. Dulu.

Aku pernah memasukkan telapakku pada saku jaketmu, lalu kamu memasukkan pula telapakmu dan menggenggam jemariku. seolah berkata "ada aku disini" tanpa suara, tapi aku mendengar. Bahasa nurani, mungkin.

Aku mengelak jika awan bersikukuh berkata bahwa saat ini aku tengah mengais masa lalu. Aku hanya memutar rekaman lama. Karena hujan berhasil membawaku kembali pada masa lampau. Sebab hujan punya cerita tentang kita. 

Kita yang dahulu.

Hujan menyaksikan segalanya. Rangkulanmu, pelukanmu, tanganmu yang mendarat manis dikepalaku, suhu dingin hujan yang membuat aku selalu digenggam olehmu, bahkan...ketika hujan menyamarkan air mataku saat itu.

Saat kita, tak lagi menjadi kita.



Sudah ku bilang, ini tentang hujan. Sebab hujan, punya cerita tentang kita.


Dari Aku.

Sepotong cerita lalu.

Senin, 18 Maret 2013

Pacuan

From Me:

"segala sesuatu, dimulai dari diri sendiri."

"jika hal besar tercipta karena berawal dari hal kecil. mengapa masih meremehkan hal kecil?"

"jangan terlalu banyak mengeluh tentang ketidaksamaan antara mimpi dan kenyataan, make a move, and you'll see what happens next."

"bisakah lehermu diturunkan ke depan lalu ke bawah? jangan melulu melihat yang diatas, itu seperti kamu tak mensyukuri pemberian Tuhan."

"kamu menyombongkan apa yang kamu miliki sekarang? jika semua itu hilang, harus siap ditertawakan banyak orang, ya."

"beri aksi! maka kamu akan mendapat reaksi. bergerak! maka kamu akan semakin dekat pada apa yang kamu mau."

"bukankah jalan di tempat itu melelahkan? gerak! lakukan perubahan."

"cara mengindahkan hidup, mulailah bersyukur."

"Tahukah? Tuhan sepertinya bosan mendengar keluhan dan tuntutan darimu."

"see? apa yang kamu beri, itu pula yang kamu dapat, bukan?"

From Others:

"mulai terapkan ini di kepala: BISA, YAKIN BISA, PASTI BISA!" -Senior Paskibra

"apalah arti sebuah mimpi indah, jika hanya sebuah mimpi." -Penulis

"TALK LESS, DO MORE." -Iklan



Rabu, 13 Maret 2013

Jika.....

Jika terus memperjuangkan sesuatu yang tak juga membuahkan hasil,
tetapi terlanjur mampu membangun benteng ambisi dan obsesi sehingga sulit untuk berhenti, lebih layak di sebut tulus atau bodoh?

Jika selalu berusaha membahagiakan seorang yang tersayang meski tak juga kunjung melempar kembali buah manis yang kita beri, lebih layak di sebut tulus atau bodoh?

Jika melulu menunggu harap atau angan tumbuh menjadi nyata meski dalam kurun waktu yang panjang,
serta mengeyampingkan rasa lelah meski sebenarnya ingin menyerah,  lebih layak di sebut tulus atau bodoh?

Jika menahan kecewa, marah, rindu, di hadapan sosok terkasih atau berpura seolah tampak baik saja dengan maksud menutupi luka agar yang terkasih tak ikut merasakan luka,  lebih layak di sebut tulus atau bodoh?

Jika aku mencintai si dia di ujung sana yang tak lagi mencintaiku, sedangkan telah ada kamu yang selalu menyayangi aku meski tahu aku tak juga mampu menyayangimu, aku tulus pada si dia kamu bodoh kepadaku? atau aku bodoh pada si dia kamu yang tulus kepadaku?

Jika....jika aku tak melanjutkan kalimatku ini. Apakah ada jawaban yang mampu membuatku paham?




Rabu, 06 Maret 2013

Untuk Kamu, Calon Imamku


Bekasi, 6 Maret 2013.

Selamat Pagi, Siang, Sore, atau Malam, Calon Imamku. Aku tak tahu saat kapan kau membaca ini. Aku tidak tahu apa yang menuntunmu sampai dua bola matamu menjelajah frasa yang ku tulis ini. Yang aku harapkan, kau membaca ini di saat kau mutlak menjadi imam dari hidupku.

Aku tahu, aku mungkin terlalu dini menulis ini untukmu di usia menuju 17 tahunku. Namun apa salahnya aku menghidupkanmu dahulu di ruang imajiku sebelum nanti berwujud nyata. Bukankah usia menuju 17 tahun ini sudah cukup untuk mulai merangkai--menerka masa depan yang lebih pasti? Tidak hanya sekedar berstatus kekasih lalu berganti sesuka hati. Meski ku tahu masih banyak perjalanan yang harus ku lalui. Begitupun denganmu.

Saat ini aku tidak tahu siapa kau, namamu, wujudmu. Jika kau sedang dipinjam wanita lain untuk dijadikannya kekasih, nikmatilah saat-saat bermainmu kini. Puaskan masa mudamu untuk menjadi cerita turun-temurun bagi darah dagingmu juga aku kelak nanti. Itupun jika aku dan kamu di beri usia yang cukup panjang. Sebab siapa yang tahu mengenai panjang tidaknya hidup seseorang kecuali Allah bukan?

Jika kecenderunganmu masih mendua, dan bermain dengan wanita lain di balik wanita milikku. Lakukan hal itu sepuas kau sebelum kita dipersatukan. Sebab setelahnya, aku akan mengajarimu mengenai kesetiaan. Mengenai merasa cukup dengan memiliki satu.

Aku berjanji akan membentukmu menjadi lelaki hebat. Sesuai dengan istilah yang berkata; di balik lelaki hebat terdapat wanita cerdas. Jadikan kesetiaanmu layaknya sejarah Habibie-Ainun di masanya.

Jika sekarang kau masih menuntut ilmu, ku harap kau bersungguh-sungguh. Sebab anak-anakku nanti membutuhkan seorang Ayah pekerja keras, berwawasan luas, penyayang, serta bijaksana. Jadilah seperti itu sebelum bertemu denganku. Jika tidak, aku yang akan menjadikanmu sedemikian rupa.

Cintai aku Lillahita’ala. Aku tulang rusukmu yang diciptakan Allah untukmu. Dari tulang rusukmu yang berada di bawah kepalamu, agar nantinya kau yang menjadi kepala atau pemimpinku. Berada diatas kakimu, agar aku tak nantinya kau injak-injak.  Dan berada disisi tanganmu, agar kau setia menjaga dan melindungiku lewat dekapanmu.

Jika Allah berkehendak menjadikan kau nyata dalam sejarah hidupku, bersatulah kita sampai menua. Aku menantikanmu mengadzankan anakku saat pertama kali melihat dunia. Saat tangisnya pecah mengisi seisi ruangan di timangan kedua tanganmu. Serahkanlah seluruh hidupmu untuk aku juga puta-putrimu.


Dari Aku,

Calon Ma’mum-mu diusia menuju 17 tahun.



Senin, 04 Maret 2013

Dandelion I

Apakah kau berbahagia setiap kau dapati ucapan selamat pagi dan malam disertai kecupan sekalipun tak lagi dari aku?

Apakah kau merasa genap sekalipun bukan aku yang menggenapkan keganjilanmu?

Apakah kau merasa lengkap meskipun bukan lagi aku yang mengisi celah kekuranganmu?

Buka saja tabir hitamku, putihmu akan tetap ku jaga. Akan tetap ku kumandangkan pada mereka yang meragu terhadapmu. Ini sudah sekian puluh putaran matahari atau mungkin menuju nominal mencapai seratus. Dan menurutku kesehatan hati masih sama buruknya.

Tak semua hal dapat kita terka, Sayang. Termasuk mengenai semua hal yang memotong cerita atau perjalanan panjang dalam sekejap. Aku sendiri kepayahan meneriaki diriku bahwa ini adalah nyata.

Bukan aku tak mau melakukan perpindahan, hanya saja aku malas memulai kembali sebuah awal perjalanan. Aku harus menyayangi diriku sendiri, terutama menjaga hatiku, Manis. Jika tak ku jaga sedemikian rupa dia akan kelelahan menangisi luka, luka, dan luka.

Aku yang sebenarnya tak kalah lelah pula kecewa masih tertatih letih memahami semua alur rumit yang terlanjur tercipta. Aku seperti dipaksa menjadi ilmuwan dadakan yang memutar otak demi berhasil memahami sebuah penemuan. Penemuan tersebut berupa jawaban mengenai kenyataan. Tapi aku tetap buntu. Ku tebak apalagi kamu. Kesimpulannya, kita sama-sama belum atau mungkin memang tidak paham.

Setidaknya, sampai detik ini. Maka setiap kau membaca ulang tulisanku ini, selamanya akan tetap menjadi detik ini.

Dari Aku,

Dandelion.




Sinkronisasi Antara Logika dan Rasa

Banyak orang berlaku seperti arahnya sudah tak menentu. Mengorbankan banyak usaha dan waktu demi membahagiakan yang tercinta. Bertindak seperti 'Apapun aku lakukan asal kau bahagia, ini semua atas nama cinta dan rasa'. Layaknya seseorang yang garis hidupnya telah terpusat pada satu titik, satu sosok. Seperti makhluk Tuhan yang lihai menulikan telinga tentang cercaan dan mengenyampingkan sebuah balasan. Aku pernah merasakan keduanya; menjadi yang berkorban untuk membahagiakan dan menjadi yang di bahagiakan oleh yang berkorban.

Kata banyak orang logika dan rasa melulu tak sejalan. Bagiku tak selalu. Ada minoritas pihak yang beranggapan bahwa logika berlaku sebagai penyeimbang. Menurutku ada benarnya. Saat terkadang terjadi sinkronisasi antara logika dan rasa. Seperti berpikir kapan? haruskah? bagaimana? jika individu ini akan memulai perjuangannya demi membahagiakan yang tersayang.

Ah entahlah, aku sendiri belum menguasai teori untuk menyinkronkan logika dengan rasa. Aku masih kepayahan memahami hal-hal serupa ini. Ada tanda tanya besar yang menggantung-bergelayut diujung pemahamanku, inikah yang dinamakan tulus? mengapa terlihat bodoh?

Atau anggap saja ada seorang Pujangga yang membunuh waktunya untuk menunggu Sang Wanita. Menunggu Sang Wanita lepas dari Lelakinya, sedang Wanita dan Lelaki ini dalam keadaan masih harmonis. Katanya ia melakukan semua itu atas dasar tulus. Aku melihatnya sebagai pembodohan. Aku menarik kesimpulan bahwa Pujangga ini tak tahu tentang sinkronisasi antara logika dan rasa. Logikanya seperti tak berfungsi atau lebih tepatnya lepas kendali. Seperti seluruh anggota tubuh di Rajai oleh hati. Bagaimana bisa Pujangga ini melakukan hal yang 'sebenarnya' melelahkan pula menyakitkan tetapi tetap bersikeras melanjutkan? Logikanya tak terpakai bukan?

Aku pernah membaca sebuah Study Psychology yang menyatakan bahwa; jatuh cinta adalah gangguan jiwa yang cukup serius. Mungkin ini maksudnya. Entahlah, setiap orang punya keyakinan yang kuat atas pemahamannya sendiri.


........

Haruskah setiap tulisanku ku beri judul? akhir-akhir ini aku malas mendaratkan jemariku pada keypad. Bukan tak ada inspirasi, sebatas penat yang membuatku malas menumpahkan jutaan frasa yang meluap tiap kali jariku siap menekan kumpulan tombol keypad ini.

Hay kamu. Iya, kamu yang setiap harinya menambah nominal pengunjung pada kertas berteknologi canggih milikku ini. Kamu-kamulah yang menyemangati aku untuk tetap menulis dan menulis. Terimakasih sudah bersedia membuang detik dan detakmu untuk membaca atau sekedar berkunjung pada laman ini.

Oh iya, jika ada kritik, saran, atau permintaan mengenai tulisan yang sudah ku tulis atau apa yang akan ku tulis, kamu dan kamu boleh mengisi kolom komentar.

Terimakasih teruntuk kamu dan kamu :) XOXO