Aku tahu aku terlalu payah untuk mengikhlaskan, merelakan, apalagi melupakan. Masalahnya bukan pada aku yang terlanjur buta pada kenyataan, namun terlebih pada apa yang terlajur tercipta diantara kita. Dulu aku sering sekali mengukir tawa karena kelakuan tololmu, menahan rindu saat kita berhari-hari tak bertemu, perlahan meneteskan air mata karena belatimu.
Berminggu-minggu yang lalu kamu masih sama manis, sekarang kamu mulai sadis. Aku disini meringis, menangis, teriris, karena sebongkah rindu yang belum juga habis. Mungkin aku memang terlalu cinta, namun sungguh kecintaanku padamu tak pernah sekalipun aku selipkan kata sesal diantaranya. Satu hal yang sangat menyakitkan hati adalah, ketika aku melihat kenyataan yang ada, bahwa sosok yang dulu bersikukuh berkata dan berdoa bahwa aku mutlak masa depannya, kini telah menjadi bagian masa laluku. Ini sakit, Sayang.
Hatiku memerah, aku marah, karena kamu dan aku sungguh payah. Untuk sama-sama belajar agar mampu bertahan lebih lama bila perlu selamanya. Kepergianmu membuatku menjadi seperti bayi, belajar semuanya dari nol, dari awal. Aku ingin berkata namun tak bisa, alhasil hanya menangis. Aku ingin marah namun tak kuasa, yang kubisa lagi-lagi hanya menangis. Aku ingin belajar berdiri kemudian melangkah, namun langkahku tak seimbang, kemudian aku jatuh tanpa ada tangan yang menangkap, sakit sekali.
Berminggu-minggu yang lalu setiap tidurku disertai ucapan selamat malam darimu. Kini semuanya berbeda, tak lagi sama. Meski enggan ku akui kenyataan hati tak bisa ku pungkiri, cintaku masih padamu, teruntuk kamu.
Lukaku masih basah, Sayang, rinduku semakin menggumpal, cepatlah pulang. Katamu aku masa depanmu, katamu aku pendamping hidupmu, katamu hanya aku. Sepertinya masa depanku sedang tersesat. Jadi, kapan pulang? tanganku sudah siap memeluk dengan erat dan berkata selamat kembali pulang, Sayang.
Minggu, 14 Juli 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar