Kamis, 07 November 2013

Kau

Kau yang kerap kali membuat tawaku lepas ketika air mata tengah menggenang dipelupuk mataku, aku tertawa sembari menyeka, lega, bahagia

Kau yang mengobati luka di batin dan pikiranku dengan tingkah konyolmu itu, kau tak tanggung dalam urusan menghibur, terutama jika aku tengah sangat kabur dalam melihat hal-hal indah di hidupku

Kau yang menjaga setiap inci kulit dan tubuhku dari luka yang menyakitkanku, nyamukpun tak kau izinkan menyentuhku, ku rasa

Kau yang mengemut darahku jikalau jariku luka tertusuk jarum, itu manis, Sayang

Kau penyorak unggul dalam hariku agar aku tetap semangat

Kau yang mengucapkan selamat malam dan mengecupku lewat mimpi dan menghantarkan doa-doa terbaik untukku dengan tulus dan penuh harap

Kau yang membangunkanku dikala pagi dan mengirim peluk lembut lewat butiran embun sejuk

Kau yang menangkapku ketika aku terjatuh, lalu kau angkat aku perlahan hingga aku kembali berdiri tegak seperti semula, layaknya aku wanita paling tangguh sejagat raya setelah ibumu dan ibuku

Meski, terkadang, mungkin kau tak sengaja menjatuhkanku dan lupa menangkapku

Kau, kau pelengkap, sungguh

Atas semua itu aku ucap Terimakasih, Sayang....

Bersamamu aku bahagia.
Perlukah aku bersumpah?




Pergilah...

Semilir angin dimalam ini menelusuk romaku
Aku merasa tersusuk namun bagiku ini tak seberapa bila dibanding dengan kamu terhadapku

Aku masih saja sibuk mengingat kamu, membahas kamu, juga...berharap padamu
Aku tahu ini perbuatan nihil, membuang detik-detik hidup yang hanya ada satu kali saja
Namun Sayang, maunya hati siapa yang mengendali?

Kau masih anganku, harapku, mimpiku, sedihku, juga lukaku
Masih kau! sayang sekali masih saja kau
Ah, aku bak siput yang pergerakannya amatlah lamban
Dan rasa ini sepertinya sudah mengakar kuat dalam sel-sel tubuhku

Aku ingin sekali berkata "Sudahlah, aku akan pergi..."
Namun nyatanya hanya sebatas sampai di ujung lidah
Untuk meletup keluar sangatlah susah
Ah, payah!

Mungkin aku terlalu pelit menawarkan diri pada banyak hal yang lebih menarik
Tetap saja minat otakku, hatiku, tertarik ke arahmu, menujumu
Lagi-lagi kamu

Sayang, pergilah....

Cepatlah minggir dari hidupku yang mau tak mau kau tempati ini
Sudah cukup ku rasa aku berdiam diri dalam harapan tak bertepi
Usahlah kau pikirkan aku karena memang nyatanya kau ingat aku saat tak miliki siapapun saja
Acapkali kau jadikan aku tempat singgahmu saja bukan?

Maka sudahlah, Sayang
Sudah ya, sampai dihari ini saja
Aku begitu lelah membahagiakan diri sendiri dalam keadaan membatin

Pergilah....

Kau akan baik saja hidup tanpaku meski aku tak tahu setelah ini hidupku akan seperti apa
Aku sudah kering kerontang untuk terus menyegarkan harimu itu
Toh, masih ada dia, dia, dan dia yang biasa kau datangi bukan?

Pergilah....

Aku mendoakanmu bahagia, selalu
Do'akan aku, semoga aku bahagia memulai hidup baru yang adalah tanpamu




Sabtu, 02 November 2013

Denganmu

Kamu suka sekali melucuti pikiran baik di otakmu hingga yang tertinggal di benakmu tinggalah yang tak perlu
Apa cinta yang terlalu menggebu sebegini merepotkan diri sendiri?

Kamu mengkhawatirkan sesuatu yang sayangnya hanya Tuhan yang tahu
Sayang, bagiku saat terbaik adalah saat ini
Saat kita masih bersama, masih habiskan waktu berdua
Maka berjuanglah kita untuk mengabadikan saat terbaik ini hingga kita merenta

Aku ingin denganmulah aku terkejut pada banyak hal yang terjadi di masa depan
Aku masa depanmu bukan?
Aku yang ada pada setiap esokmu dan selalu begitu ku harap
Hingga kita telah sampai pada akhir dari segala punghujung kehidupan yang mereka namai kematian

Bahkan disaat rohku akan keluar yang adalah disampingmu dan masih tetap bersamamu,
aku yakin aku akan tetap sangat bahagia
sebab dengan demikian aku tahu, bahwa kamu benar selamanya aku hidup
ketika aku sudah tak lagi bernyawapun, aku akan tetap mencintaimu

Ada banyak anak-anak kisah yang menunggu kita di ujung sana
Mereka akan kita temui satu persatu dengan letupan emosi yang tak kita tahu
Tapi tahukah sayang? selama itu denganmu, tak ada yang patut aku khawatirkan

Denganmu aku begitu tenang
Denganmu aku merasa begitu imbang

Walau tak dapat dipungkiri perseteruan memang mutlak sebagai pelengkap sebuah hubungan
Biarlah, secara tidak sadar kita tengah diantar pada kedewasaan

Sudahlah sayang, percayalah kita akan selalu bersama
Karena hanya dengan kamu aku akan habiskan waktu
Karena hanya dengan satu aku bersedia merenta dan menua
Yang adalah....denganmu




Peluk, Rindu, Kamu

Kau sedang mencariku dalam mimpimu ya?
Berharap di mimpi aku memelukmu seperti biasa
Kau sudah rasa bukan pagi begitu hambar yang tanpa pelukku?

Ah, betapa jarak membatasi
Melipat gandakan rindu hingga bertumpuk
Ini pelatihankah? Aku rasa aku tak akan sanggup
Cinta lebih baik berada dalam dekat, setahuku

Sayang, ada banyak hati yang menawarkan tempat untuk diisi
Tapi bukankah rasa percaya membuat seseorang menjadi setia?
Aku percaya padamu, aku yakin begitupun kamu
Maka berjanjilah kita untuk saling setia

Ah iya! aku suka sekali melihat sekeliling yang iri padaku sebab miliki seorang sepertimu
Kau hadiah yang sengaja ditali-pitakan Tuhan untukku, ku rasa
Tak usahlah kau cari-cari aku di mimpimu itu
Jelas jelas aku nyata untukmu

Tak usah kau menggigil seperti itu, jelek!
Pelukku selalu dan selalu untukmu
Bermimpilah kita bertemu
Sebab aku merasa sangat merindu

Merindu kamu!
Si pengganggu yang sukses sekali membuatku candu

Sini! Biar bayangmu ku peluk
Biarkan aku bebas melingkarkan lengan dipinggangmu


Selamat malam,


Kamu








Minggu, 27 Oktober 2013

Hari-hariku Selamanya

Aku terbangun dari tidurku di kala pagi, maka tetap, hal pertama yang mampir dalam ingatanku adalah kamu. Aku jatuh cinta pada orang yang sama di setiap hari. Ribuan kamu penuh mengisi kepala, menghimpit logika, dan menutup celah dengan rapat untuk yang kedua apalagi ketika. Kamu adalah ganjil yang menggenapkanku. Tanpa kamu aku tak imbang.

Aku menemui siangku masih tetap disertai ingatan tentangmu, yang memenuhi silabus otakku. Aku memikirkan sosok yang itu saja pada setiap putaran waktu. Betapa kamu mendominasi. Maka kamu adalah si tunggal yang merajai seluruh aku terutama ruang hati.

Aku sampai pada senjaku lengkap dengan lelah pula penat yang menggantung mengganggu di atas kepala dan pundak. Maka saat inilah aku paham, kamu ada sebagai penyorak agar aku tetap semangat.

Aku meniti malam menatap jutaan bintang yang berserak di angkasa sendirian, hanya sendiri. Maka di malam nanti, yang ku yakini pasti terjadi, adalah saat aku tak akan lagi menatap langit seorang diri, melainkan berdua dengan kamu yang menemani.


Aku menarik selimut menutup tubuh, membaca doa kepada Yang Esa, kemudian mulai terpejam dan hariku di tutup dengan bayang tentangmu lagi. Begitulah hari-hariku setiap harinya, begitu aku selamanya.



Selamat malam...



Sabtu, 26 Oktober 2013

Komidi Putar #1

Ditanah lapang yang luas itu
Terdapat sebuah komidi putar yang di tinggalkan pemainnya
Warnanya tak lagi ada, besinya sudah berkarat
Kau melihatnya bukan?
Aku yakin kau juga melihatnya, dalam ruang imajimu

Dahulu, komidi itu pernah menjadi saksi dari sebuah tawa lepas
Seorang anak lelaki dengan sebatang permen kapas digenggaman, pernah terbelalak bahagia diatasnya
Hanya karena komidi itu dulu pernah menyenangkan, pernah berwarna, pernah menyejukkan karena setiap putarannya mendatangkan angin alam
Dia tak ingin berhenti bermain
Tak ingin berhenti berputar
Sekalipun dia telah mual

Setiap hari tak pernah tak ia datangi
Dengan langkah kaki yang sedikit melompat-lompat
Dia selalu datang, lengkap dengan permen kapas di tangannya
Senyumnya mengembang, tawanya tanpa beban
Mungkin baginya hidup begitu ringan

Dia melompat untuk menaikinya
“Hap!” begitu katanya
Kemudian mulai memutarnya dan tertawa dengan riang

Begitu ia setiap harinya
Iya, begitu

Sekian putaran bulan ia tetap melakukan hal yang sama

Hingga pada suatu hari
Langkahnya tak lagi semangat,
Di tangannya tak ada lagi permen kapas yang biasanya ia ikutsertakan
Tawanyapun ikut melenyap, hilang, sepi
Wajahnya tak bergairah

Dipegangnya komidi putar itu, hanya memegang saja, sebatas itu
Kakinya tetap menginjak pada lapangan tanah yang gersang

“hah....dari waktu ke waktu kau begini saja, aku bosan. Warnamupun memudar, aku tak suka. Kau berkarat, bisa melukaiku. Setiap putaranmu mulai mengeluarkan bunyi berdenyit yang menyakitkan telingaku. Dan putaranmu, tak lagi mengasyikkan, aku tak lagi tertawa lepas. Kau semakin buruk, tak lagi menyenangkanku.” Begitu katanya.


Semenjak hari itu, dia tak pernah datang kembali.



Komidi Putar #2

Sepeninggalan anak lelaki itu, komidi putar tetap berada di tempat yang sama
Warnanya semakin kusam
Air hujan membuatnya semakin berkarat
Tak ada sedikitpun pergerakan pada posisinya
Karenanya dia tampak semakin usang
Hanya tertumpuk debu yang diterbangkan angin
Jika debupun dapat memilih, mungkin tak ingin ia hinggap bila ada tempat yang lain

Menyedihkan sekali

Siapa yang tahu dahulu komidi putar renta ini pernah begitu berwarna?
Siapa yang tahu dahulu komidi putar ini begitu dicintai oleh seorang anak adam?
Siapa yang tahu dahulu komidi putar ini pernah begitu tangguh mengukir tawa seorang bocah?
Siapa yang tahu?
Yang mereka tahu, komidi ini sudah tak lagi menarik

Mungkin, jika aku; yang menulis cerita ini
Adalah komidi putar, pada hari terakhir anak lelaki itu datang, aku akan menjawab:

“hei, kaupun begitu saja bukan setiap kali kau datang? Tertawa, membawa permen kapas, dan memutarku? Tetapi asal kau tahu aku tak pernah bosan kau datangi. Bukankah kau yang memainkan aku semaumu? Bukankah aku yang paling setia menghiburmu? Bukankah tawa terbelalakmu juga mengganggu? Namun aku tak mengeluh. Bukankah aku pula yang selalu ada ditiap kau ingin tertawa? Sekalipun aku sedang malas berputar. Kau lupa? Siapa yang membuatku semakin renta hingga bunyiku sekarang berdenyit? Siapa yang diam saja ketika air hujam membasahiku hingga menghasilkan banyak karat padaku? Siapa yang memudarkan warnaku karena terlalu sering tersentuh? Semua jawabnya hanya; kau. Aku berbahagia jika hanya dengan diamku saja kau bisa begitu riang. Aku berbahagia hanya karena aku rela kau datangi semaumu kau tak pernah merasa sepi. Aku berbahagia hanya karena hujan mengguyur bumi kau berteduh dan tak basah sedikitpun sedangkan aku menjadi karat. Pergilah... cari permainan barumu yang kau pikir tak akan pernah merenta atau berubah menjadi yang tak kau suka, itupun jika ada. Jika kau merindukan aku dibertahun-tahun yang akan datang, datanglah ke tempat kau meninggalkanku, maka aku akan tetap menjadi yang paling setia. Oh iya, seandainya kau memang benar bahagia karenaku, kau pasti mau memperbaikiku, seburuk apapun aku, tanpa harus pergi dan mencari permainan baru. Jika kau benar bahagia bersamaku, tak akan kau pergi karena alasan ‘bosan’. Semoga kau menemukan yang kau mau, ya.”

Ah, nyatanya itu hanya sebuah komidi putar. Dan untungnya itu bukan aku.

Omong-omong, aku hanya iseng bercerita mengisi waktu senggang.




Selamat malam



Saat Ini Aku

Kamu tahu rasanya berada pada bingar namun kamu tak berminat mendengar sekitar?
Rasanya seperti sepi lebih mengerti dari siapapun

Kamu tahu rasanya memendam kecewa, marah, juga sedih dalam satu waktu tetapi tak sanggup kamu utarakan lewat derai air mata tau makian sebagai pelega?
Rasanya seperti kamu mati rasa!
seperti ingin sekali bicara namun kamu nyatanya bisu
Ingin sekali berteriak namun pita suaramu melenyap
yang tersisa hanya sebongkah sepi berbalut emosi

Aku pernah menyaksikan seseorang menangis kencang kemudian sudah
Atau berteriak lepas kemudian puas
Pernah pula melihat orang yang mencaci maki kemudian selesai

Aku ingin sekali menjadi demikian
Namun susah meski sudah
Ah! Payah!

Aku ingin sekali memarahi keadaan kemudian dia membaik
Seperti anak nakal memohon ampun dan berjanji tak akan mengulang meski dengan raut dongkol

Ini konyol! Beberapa beban seperti bersekongkol untuk berkunjung menemuiku dalam satu tempo
Sampai aku terlihat tolol karena tunduk pada masalah

Jika aku berdiri di depan cermin, bayanganku di depan sana pasti puas menertawakanku bahkan mungkin sampai terpingkal-pingkal
Sementara nyatanya, aku hanya menunduk, malu

Dalam hidup terlalu banyak yang aku pusingkan
Padahal bisa saja ku anggap ringan

Saat ini aku seperti tak berminat pada hidupku sendiri
Menurutku, tak akan ada yang benar-benar mengerti, yang ada hanya belaga mengerti
Saat ini, aku dimengerti oleh sepi



Kemana Lagi?

Kemana selanjutnya aku akan pergi?
Sembunyi dari banyak mata yang memicing sinis menujuku
Berlari dari banyak tanya yang tak meringankan bebanku

Bibirku pegal memasang senyum palsu penutup pilu
Bersandiwara setidaknya menolongku dari berpasang-pasang wajah munafik bertopeng keluguan dengan raut sok empati, nyatanya di belakang punggung mengasihani

Sering sekali aku marah
Hanya saja tak selalu meluap bebas atau meledak puas seperti dinamit yang terbakar atau granat yang dilempar
Sebatas berkumpul dalam satu kepalan tangan atau jika terlalu penuh hanya berakhir sebagai tangisan cengeng anak perempuan

Aku lemah dalam banyak hal
Aku lugu pada banyak bahaya yang jelas menujuku
Oleh karena itu aku butuh seorang yang mampu melindungiku

Namun detik ini, aku merasa seperti tak miliki itu

Lalu, kemana lagi tempat aman yang bisa ku tuju?
Sungguh, tak aku tau



Jumat, 26 Juli 2013

Lembayung Senja

Ketika terik sudah lelah memanaskan tubuh, menciptakan bulir peluh dan mengundang tetesan hujan sebab langit menangis sendu, maka setelahnya ia menjadi teduh, lalu datang keindahan Tuhan yang sangat aku suka
Sebuah panorama lembayung senja.

Itu hanya sebuah perumpamaan dariku. Pembahasanku bukan pada konspirasi alam, tetapi pada kita.

Maksudku adalah....

Seperti emosi yang sudah meredup, lalu tiba sikap manismu yang tak aku duga
Begitulah kita, begitulah cinta.
Diluar praduga, atau senang sekali mendatangkan beribu tanya
Mengapa begini? mengapa begitu? Atau ada apa dengan kita?
Lalu kita terperangkap dalam candu yang membabi buta
Dalam jarak yang rasanya hanya ingin satu jengkal saja

Seperti lembayung senja, seperti suasana petang yang mengelus mata dengan manja
Aku mengindahkan terik yang membakar tubuhku
Sebab aku yakin keteduhan akan segera datang dan menyajikan ketenangan padaku lewat lembayung senjamu

Maka tetaplah hadiahi aku lembayung senjamu itu
Setiap kali kamu lepas kendali membakar aku sampai melepuh

Maksudku adalah....

Ah, aku yakin kamu paham, kamu mengerti.
Aku mecintaimu, mungkin nyaris setengah mati.
Tak percaya? masa bodo! aku tak peduli!

Aku selalu menantikan lembayung senjamu itu. Iya, selalu.
Aku menemukan teduh disana, denganmu.



Selasa, 16 Juli 2013

Tentang Mimpi


"Tanpa mimpi, tidak ada hidup. Karena hidup adalah tentang mengejar mimpi."




Begitu kalimat yang tertulis pada artikel hasil tulisan Host yang baru saja terkenal di salah satu televisi nasional; Imam Darto. Jujur, ini bukan sebuah tulisan mengenai sajak cinta atau permasalahan hidup yang biasa saya tulis. Anggap saja hanya sebuah intermezzo.

Ketika membaca artikel di salah satu diginal magazine yang memuat artikel Bang Imam Darto yang berjudul "Bicara Mimpi" saya seketika ingat tentang sebuah mimpi gila saya bersama seseorang. Saya tidak mau menyebutkan siapa dia, mimpi apa dan bagaimana. Memang mimpi haruslah ditaruh setinggi-tingginya, sebab pencapaian yang sulit akan menghasilkan kepuasan yang sebanding. Setahap demi setahap waktu mengantarkan kita atau saya, anda, juga mereka yang berjuang pada mimpi masing-masing. Waktu memang berpengaruh kuat pada apapun yang hidup.

Kalimat yang berpendapat bahwa "perjuangan yang luar biasa akan melahirkan kepuasan yang lebih luar biasa" menurut saya ada benarnya. Terkadang bagaimana mempertahankan berkali lipat lebih sulit dari pada mendapatkan, saya meng-iyakan hal tersebut. Sebab mimpi yang telah berhasil kita capai tak selalu membahagiakan semua orang yang ada di sekitar, selalu saja ada satu, dua, atau banyak pihak yang iri hati.

Seperti langkah pertama saya menuju mimpi gila itu. Saya baru saja melangkah satu langkah lebih maju, dan sudah ada satu dua pihak yang mengganggu. Saya hanya berpikir bahwa Tuhan senang sekali menghadiahi kesenangan pada siapa-siapa saja yang berjuang. Saya senang ada yang tidak senang terhadap pencapaian saya, sebab itu pertanda bahwa apa yang telah saya capai memang membahagiakan. Untuk saat ini saya hanya sibuk menghitung berapa ribu langkah lagi dan cara apa yang membantu saya untuk mampu sampai pada langit kedua, ke tiga, dan segera tiba pada langit ke tujuh, dimana mimpi-mimpi itu saya taruh. Sebab diatas langit masih ada langit bukan? Begitu pula dengan mimpi saya, mungkin juga anda. Ada banyak mimpi di balik sebuah mimpi, mungkin jumlahnya meribu, entah mimpi kecil atau mimpi besar, sekalipun diluar ekspetasi kemampuan dan kemungkinan. Tetapi siapa peduli? Tuhan membuat segala hal menjadi mungkin.

Mimpi memang memiliki kekuatan magis, saya rasa. Entah anda setuju atau tidak, tetapi mimpi memang mampu memberi energi yang sulit saya utarakan lewat kalimat. Banyak jiwa yang telah sekarat akan semangat, lalu setelahnya mampu bangkit hanya karena sebuah mimpi. Pembahasan tentang mimpi memang tak berbatas. Beberapa berpendapat bahwa mimpi bersifat semu, lalu beberapa menentang bahwa semu bisa saja diperjelas sampai menjadi nyata. 

Saya membuat tulisan tentang mimpi seusai membaca artikel yang berbicara tentang mimpi. Kemudian otak saya dipenuhi banyak mimpi; mimpi-mimpi saya yang harus saya raih juga saya pertahankan, mimpi-mimpi saya yang sekarang sudah saya tarik dari langit atau beberapa mimpi yang masih menggantung di atas langit, mimpi-mimpi yang menjadi alasan untuk apa saya hidup dan tentang mimpi yang akan memberi kehidupan baru bagi saya yang hidup untuk mengejar mimpi. Saya harap, begitu pula dengan anda.

Selamat berjuang mengejar mimpi!



Minggu, 14 Juli 2013

Beri Aku Waktu

Bukankah utusan Tuhan sekalipun tak ada yang sempurna? Begini Sayang, aku ciptaan Tuhan yang sama dan biasa saja, sempurna jelas tak ada padaku, maka berhentilah bersikap menuntut. Aku butuh waktu untuk memenuhi semua kebutuhanmu akan perubahanku. Bukan aku tak mau, hanya beri aku celah sedikit untuk merubah apa-apa yang menurutmu tak lagi pantas ada padaku.

Aku mencintai caramu menerima segala kurangnya aku, terlebih caramu yang tak meninggikan lebihnya aku, itu mengajariku agar tak menjadi lupa daratan. Sabarmu memang juara, namun sayangnya sabarku yang kurang setara. Egoku juga selangit, amarahku sering sekali meledak dan membuatmu kebingungan, dan suasana hatiku tak jarang berubah tanpa peringatan. Beginilah wanita, Sayang. Tanya saja pada Ayahmu bagaimana Ibumu sewaktu muda.

Aku tahu kamu sering sekali kelelahan atas sikap pula sifatku. Berkali-kali mengelus dada dan membuang napas. Ah, kamu hebat. Lelahmu tak membuatmu menyerah. Teruslah begitu, itu kelebihanmu yang menambah sayangku untukmu. Itu kelebihanmu yang rasanya selain kamu tak ada yang mampu begitu.

Bukankah semua perubahan butuh waktu? maka yang seharusnya kamu beri hanyalah waktu dan setelahnya akan ku beri padamu sebuah pembuktian dariku. Hah...ini untukmu saja, untuk yang lain mana aku mau.

Sudah ku bilang aku ingin menjadi yang ternyaman bagimu. Maka beri aku waktu, untuk mampu bermetamorfosis menjadi yang kamu mau meski tak sama persis. Setelah itu janji ya padaku, bahwa cintamu dan waktumu untukku, tak akan habis.


Bonsoir, Ma Chérie....



Masa Depanku Sedang Tersesat

Aku tahu aku terlalu payah untuk mengikhlaskan, merelakan, apalagi melupakan. Masalahnya bukan pada aku yang terlanjur buta pada kenyataan, namun terlebih pada apa yang terlajur tercipta diantara kita. Dulu aku sering sekali mengukir tawa karena kelakuan tololmu, menahan rindu saat kita berhari-hari tak bertemu, perlahan meneteskan air mata karena belatimu.

Berminggu-minggu yang lalu kamu masih sama manis, sekarang kamu mulai sadis. Aku disini meringis, menangis, teriris, karena sebongkah rindu yang belum juga habis. Mungkin aku memang terlalu cinta, namun sungguh kecintaanku padamu tak pernah sekalipun aku selipkan kata sesal diantaranya. Satu hal yang sangat menyakitkan hati adalah, ketika aku melihat kenyataan yang ada, bahwa sosok yang dulu bersikukuh berkata dan berdoa bahwa aku mutlak masa depannya, kini telah menjadi bagian masa laluku. Ini sakit, Sayang.

Hatiku memerah, aku marah, karena kamu dan aku sungguh payah. Untuk sama-sama belajar agar mampu bertahan lebih lama bila perlu selamanya. Kepergianmu membuatku menjadi seperti bayi, belajar semuanya dari nol, dari awal. Aku ingin berkata namun tak bisa, alhasil hanya menangis. Aku ingin marah namun tak kuasa, yang kubisa lagi-lagi hanya menangis. Aku ingin belajar berdiri kemudian melangkah, namun langkahku tak seimbang, kemudian aku jatuh tanpa ada tangan yang menangkap, sakit sekali.

Berminggu-minggu yang lalu setiap tidurku disertai ucapan selamat malam darimu. Kini semuanya berbeda, tak lagi sama. Meski enggan ku akui kenyataan hati tak bisa ku pungkiri, cintaku masih padamu, teruntuk kamu.

Lukaku masih basah, Sayang, rinduku semakin menggumpal, cepatlah pulang. Katamu aku masa depanmu, katamu aku pendamping hidupmu, katamu hanya aku. Sepertinya masa depanku sedang tersesat. Jadi, kapan pulang? tanganku sudah siap memeluk dengan erat dan berkata selamat kembali pulang, Sayang.


Sabtu, 13 Juli 2013

Diam Menunggu

Bisakah ini berhenti menjadi sebuah fatamorgana? Berhenti bersifat semu dan segera terbit menjadi nyata? Aku ingin bahagia yang nyata. Atau memang kenyataannya aku harus berduka, cepatlah ucapkan sebuah tanda pasti melalui kata atau bahasa. Itu saja.

Jujur, aku lelah meraba, menerka, menebak kejutan apa yang akan segera tiba. Aku jengah berdiri di depan jendela kaca dan hanya sibuk melihat keluar, melihat seluruh warna bercahaya diluar sana tapi aku tak pernah benar-benar bisa menjamah. Tanganku terasa tak sampai, padahal hanya sebatas tiga jengkal. Ruang ini seperti tak memiliki pintu, apa-apa yang kulihat berwarna abu. Aku ingin berontak menembus bejana waktu dan dinding baja pembatasku agar aku paham kebahagiaan yang selama ini dibatas bisu. Aku ingin ini semua menjelma menjadi realita, bukan sekedar bayangan maya.

Kau tahu itu apa? kita.

Aku lelah menjadikanmu bayangan yang mengisi tempurung otakku selama berwaktu-waktu. Menebak-nebak apa isi hatimu juga kepalamu. Adakah aku? Aku lelah memerhatikanmu dalam jarak, walau hanya tiga jengkal bagimu aku seperti tak ada. Aku bosan diam menunggu kamu yang tak kunjung memilah aku sebagai putih atau hitam. Aku ditikam. Kenyataan pahit bahwa kamu tak melihatku ada. Ingin aku melangkah kehadapanmu, memelukmu dan berkata kalau selama ini aku cinta. Namun sikap abumu membatasiku.

Kamu membuatku mengoleksi begitu banyak tanya. Semuanya aku bingkai dalam metafora. Koleksi tanyaku padamu telah meribu, namun tetap saja kamu tak kunjung mejawabku. Bisumu tanda ragu? Atau kau memang tak mau aku? Beritahu aku apapun jawabmu, aku muak diam menunggu;

Kamu...



Kamu Lemahku, Aku Kuatmu

Aku bergidik mengingat bagaimana aku bertahun-tahun belakangan ini. Melihat aku dalam genangan air sebening kristal saja aku serasa kasian, lalu aku tepis genangan air itu hingga bergelombang, dan paras mirisku menghempas.

Bagaimana bisa? Pelukku hanya kau anggap tak apa asal kau tak merasa dingin. Atau hadirku kau anggap pelengkap hanya karena dia yang seharusnya ada malah tak ada. Serta cintaku hanya kau anggap semu bila dia yang kau cinta sedang menggulung waktu bersamamu.

Kamu bahagiakanku hanya disaat kamu merasa sendiri, lalu kamu datang padaku lewati banyak detik, setelah bosan, puas, dan lega kemudian kamu pergi lagi. Kamu bahagiakanku hanya disaat kamu sepi dan sendiri, ingin merasa ditemani namun kenyataan yang kamu cinta tak kau temui, lalu kamu datang padaku untuk kesekian kali, bersandar di pundakku dan berkali meminta peluk, belaga lupa kalau kamu punya dia. Namun aku terlalu payah untuk satu kali saja menolak.

Pecundang!

kamu kelamahanku dalam sebuah penolakan, aku kekuatanmu dalan situasi merasa sendiri.
kamu kelemahanku dalam penantian tak bertepi, aku kekuatanmu dalam keadaan ingin ditemani.
kamu kelemahanku dalam cinta, aku kekuatanmu dalam urusan menerima.

Aku dan kamu memang tak bersama, juga tak benar-benar tak bersama. Ini gila.



Senin, 08 Juli 2013

Tempatmu

Selamat malam....
Tempatmu sedang memar sekarang, terasa ngilu pula kelu. Sebab aku masih saja seperti benalu yang sibuk melukaimu, sibuk menggoreskan ujung samurai pada luka yang belum usai. Kata orang luka mengajarkan, nyatanya hanya memberi sebuah penyiksaan, bukan? Kata orang masalah menguatkan, nyatanya yang aku rasa hanya semakin memusingkan. Enyahlah beban! aku rindu ringan.

Ini tempatmu yang abadi, ini tempatmu yang tak terganti. Kata Tuhan abadi tak berlaku pada apapun yang hidup, tetapi aku tetap saja keras kepala merapal doa agar Tuhan berminat mengabadikan segala tentang kita tanpa redup. Beberapa luka sering sekali terbuka, padahal bahagia sudah banyak tercipta. Tetapi tetap, ini ruangmu selamanya, tak peduli tentang luka atau derita, yang aku tau kau mutlak penghuni tetap.

Seringkali aku merasa kacau, merasa aku untuk apa dan siapa? Kau sendiri paham, mataku kurang ajar tak mau terpejam ketika pikiran busuk juga suasana hati yang buruk sibuk menikam. Ah, ini mencekam. Aku ingin sekali belaga hidup tanpa beban, belaga memiliki hidup yang sangat ringan juga santai, tapi itu hanyalah sebatas angan. Pikiran sampah buangan!

Masih belum nyamankah dengan tempatmu ini? Tak apa, Sayang. Ini pertanda bahwa masih begitu banyak renovasi yang harus aku canangkan hanya agar tercipta hunian untukmu yang paling aman pula nyaman, sampai tempat lain tampak seperti tempat kacangan.

Aku mau mendekorasi sisi burukku dengan dekorasi baru sesuai yang kau mau, aku mau. Beri aku design, beri aku gambaran, maka aku akan menjadikan tempatmu ini berkali lipat lebih nyaman, yang paling nyaman dari semua penawaran tempat yang ternyaman.

Beberapa hati pernah singgah disini, lalu pergi sebab aku menolak melakukan renovasi, maka kamu terkecuali.

Sebab hatiku yang ku bilang adalah tempatmu, telah menahun kamu isi.....



Minggu, 07 Juli 2013

Matahari Siang

Matahari siang ikut memandu
Menyertai perjalanan rangkaian memori kita yang baru
Menari di atas permukaan kulit dengan seru

Matahari siang menjadi saksi
Tawa yang pecah dalam gurauan juga pelukan yang berulang kali
Menyilaukan pandangan dari semua yang kita acuhkan dan belaga kita tak peduli

Matahari siang tak lain adalah saksi bisu
dari kebahagiaan yang tak lagi sekedar angan semu
Yang jelas bersumber darimu

Kamu

Matahari siang adalah kamu

Kecintaanku
Senyumanku
Kehangatanku
Penerangku

Segalanya....

Itu kamu



Selasa, 02 Juli 2013

Aku Padamu

Aku menulis ini dengan bayangmu yang memenuhi memori ingatanku, sebab tentang apapun itu yang kau lalui denganku sengaja aku simpan dengan rapi. Memori tentangmu, uhm...maksudku tentang kita, sesakit apapun itu selalu mampu mengukir tawa geli di bibirku. Sebab bagaimana bisa? dulu aku benci terluka, sekarang aku justru menertawakan luka, lucu bukan? Memori tentangmu memang selalu punya nilai lebih, aku ingin terus dan selalu menciptakan memori-memori baru. Barangkali disaat nanti aku lupa bagaimana cara tertawa, kemudian ingatan tentangmu lagi-lagi menghandirkan tawa.

Berkatmu aku fasih menulis, merangkai, dan meracik kata-kata tentang duka juga luka. Berkatmu pula aku mulai lihai menulis kata tentang bahagia, cinta pula cita. Sebab sebelumnya aku hanya mampu menulis luka tanpa tahu bagaimana cara menumpahkan rasa bahagia pada kata.

Aku rasanya kelelahan memegang gunting imaji hanya teruntuk memotong jarak yang menyeruakan riak-riak rindu padamu hingga berserak. Sel di otakku juga rasanya lelah melulu dipenuhi tentang kisah kita berdua hingga pada bagian semuanya. Hatiku tinggal sisa sepotong, yang lain habis membusuk karena luka, tapi potongan itu dipenuhi kamu di setiap sisi juga celahnya. Aku pelupa, kadang aku lupa kalau aku pelupa, tetapi lupa tentangmu aku tak pernah bisa. Aku berduka, kemudian kamu melakukan berbagai cara hanya agar aku tertawa walau harus seperti kera, kau rela. Aku menangis, lalu kamu ikut meringis kemudian membiarkan aku menangis puas bahkan sampai air mataku habis. Kamu juara, cintamu juga sayangmu memang tiada tara.

Seperti kata penulis tampan favoritku: "Cintailah aku yang sekarang! Aku yang dulu maafkan saja. Besok dan seterusnya, itu untukmu." Maka adalah keharusan untukku meminta maaf karena terlalu sering mengucap maaf. Bawa aku menjadi apapun yang lebih baik, sebab semua tahu cinta ajaib, dia mampu memberi kekuatan untuk seseorang merubah diri menjadi sosok yang lebih baik.

Aku di hadapanmu menjengkelkan, tetapi cintamu padaku jangan hanya pada tulisan. Aku dihadapanmu jauh dari kata manis, sudah ku bilang aku pencinta kata yang hanya lewat kata bisa menjelma menjadi subjek yang teramat manis. Aku dihadapanmu menyebalkan, tetapi aku paham lewat tulisan setidaknya pernah walau tak sering aku kau banggakan. Bukan aku sok romantis, tapi akui saja kalau aku puitis.

Tetap jaga hatimu, hati-hati pada hati yang mencoba agar kau membagi hati. Aku mencintai keseluruhanmu. Kau meragu? Nyatanya aku masih dan tetap disini untukmu.

Selamat malam, kamu.


Note: aku lebih suka Ice Cream Mcflurry rasa Strawberry dari pada Ice Cream Italia Ragusa rasa Tutty Frutti. Juga lebih suka kota berpolusi dari pada daerah tinggi bersuhu dingin. Pula lebih senang berdesakan diantara ribuan buku ber-rak besar dari pada diantara ribuan orang di dalam sebuah mal besar. Ternyata untuk apapun itu, kita selalu memulai tanpa kejelasan arah, sepulangnya tetap tertawa sampai lelah, meski kita memulainya, tanpa arah. :-p hahaha




Kata

Jutaan kata selalu saja berdesakan keluar dari labirin otakku. Sampai-sampai aku bingung kata mana yang paling menarik untuk aku telik dan menjadikan apa apa yang ku tulis menjadi menarik. Tapi tetap tak ada yang mampu mengungkiri kalau ternyata sumber inspirasiku selama ini tetap kamu. iya, kamu yang membaca ini.

Kau bosan sebab pembahasanku hanya berotasi pada cinta? salahkan saja cinta siapa suruh dia ada tanpa batas. biarkan saja kata kata yang berhamburan meluap ini bermetamorfosa menjadi kalimat penyejuk jiwa. Aku mengindahkan hadiah Tuhan akan kebisaanku meracik kata. Sebab aku teramat ingin untuk dapat mahir mengoles cat air di atas kanvas, sayangnya aku tak bisa, maka Tuhan dengan maha Adilnya menghadiahiku kemampuan merangkai kata diatas kertas.

Mungkin diantara sekumpulan orang yang doyan sekali mencibir sempat berkata: "Ah, hanya menulis kalimat dengan bahasa kaku dan pola kalimat hyperbola saja bangga." Boleh Sayang berkata demikian, siapa yang berhak melarang? tak ada. Lalu buktikan ya, apakah apa yang kau tulis memiliki nyawa? :-)

Aku dibuat paham nikmatnya menulis, puasnya berkarya melalui kata, sebab seni memang tak berbatas.

Aku pengagum kata, melalui kata-kata aku leluasa bercerita, melalui kata-kata aku bebas meluapkan cinta.

Aku peracik kata, melalui kata aku mampu berkata tanpa suara, mampu menyentuh jiwa tanpa sentuhan, hanya melalui kata.

Aku pencinta kata, lewat kata aku bercerita, tentang apapun itu yang terjadi dan tercipta.

Aku adalah kata, yang kemudian menjelma menjadi berbagai cerita.


Salam,

Pencinta Kata



Sabtu, 29 Juni 2013

Terperangkap Masa Lalu

Sesekali aku meringis mengeja tangis yang seringkali datang secara magis. Sungguh, aku bukan si lemah yang suka meluapkan emosi sesuka hati lewat tangis. Tapi aku bisa mendadak menjadi sosok yang sangat melankolis saat tentangmu ku sadari tak kunjung terkikis. Kupikir hatiku melucu, sebab cintaku tertuju lurus pada makhluk yang gemar sekali mengukir sendu.

Aku satu butir pasir dari seluruh bagian sisi pantai, aku mendamba hadirmu meski bagimu aku hanya sekedar angin lalu. Atau aku gumpalan awan yang siap sedia berarak di belakang langkahmu, meski menurutmu aku hanya pelengkap langit agar tak begitu sepi juga hampa. Aku ada namun tak kau anggap ada. Kau ku puja namun secara diam dan rahasia. Bukan, bukan rahasia. Seluruh jagad raya tahu jikalau aku sudah terlalu larut dan lama dalam mencinta. Mungkin kau saja yang enggan mengakui aku sebagai salah satu pemuja. Karena kau muak pada aku yang suka sekali bermuram durja. Padahal dunia sudah terlampau tua untuk mengajariku tentang cinta lain yang barangkali sudah tercipta. Tahukah? aku tak bisa.

Aku sebongkah hati yang meminta hak untuk di isi. Oleh penghuni yang memang aku ingini. Mungkin aku memang bagian dari segelintir manusia bodoh yang masih mengikatkan diri dengan erat pada perasaan sedih, karena tak kunjung paham bagaimana cara mengikhlasi yang terkasih bergegas pergi merangkai mimpi bersama hati yang lain.

Dan kamu adalah sebuah kisah lalu yang hadirnya telah menjadikan aku seorang pecandu. Waktuku habis bersamamu maka sepi segera datang karena kepergianmu. Ajari aku, untuk bisa merelakanmu, rasanya aku telah terperangkap pada masa lalu. Sebab sampai detik ini masih sibuk melaju, aku masih dalam keadaan tak mampu. Tak mampu merelakanmu....



Aku Tak Bergurau

Aku mengangkat tangan kiriku dan melihat jam tangan coklat yang melingkar erat di pergelangan tanganku. Aku melihat beberapa saat ketika jarum jam memutar melewati deretan angka yang berurut tertib sesuai mekanismenya. Maka aku kemudian ingat pada suatu kata yang dahulu teramat sering aku ucap, bahkan sampai sekarang.

Ribuan menit yang lalu aku menjanjikan hatiku untukmu, dan berkata takdir akan dengan atau tanpa sengaja mempertemukan kita pada miliaran putaran detik yang akan datang, maka kau menggerutu tanda tak yakin pula tak setuju, setelahnya dengan terpaksa kau tunduk menurut padaku, mengiyakan ucapanku yang melulu bersikeras semuanya tergantung kuasa Tuhan sang empunya waktu. Kau menggoyak tubuhku, hatiku, juka logikaku dengan sisa tenagamu yang meluntur karena ulahku, tentang kenyataan bahwa hatimu telah sepenuhnya kau serahkan, setelahnya aku menamparmu dengan kasar dan berkata kalau hatiku belum siap aku berikan. Kamu meracau, kau bilang aku bergurau.

Kamu bilang aku bagian paling lelah dari seluruh kebahagiaan yang berusaha kau gapai. Sebab olehku hatimu hancur puluhan kali lalu aku kemas kembali dengan rapi, lalu? ku hancurkan lagi. Katamu aku anugerah yang terlampau sulit untuk kau setarakan dengan kata, sebab aku suka sekali menyiksa, kemudian aku buat kau kembali tertawa bahagia, lalu? aku gurat lagi segores luka.

Tak lain aku hanya ingin kamu melihatku sampai ke bagian dasar yang paling beracun, agar kau tahu bagaimana cara untuk sembuh pula kembali tersenyum, aku hanya ingin kau paham sampai ke lembar dari diriku yang paling buruk tanpa ada pikiran untuk melepas peluk, setelah ku rasa kau cukup paham, akan ku kubur paksa segala keburukanku dan ku terbitkan segala kebaikanku yang selama ini tak kau anggap ada, namun hebatnya kau tetap mencinta.

Aku memang acapkali bertindak semena-mena, namun hatimu tetap yang paling sempurna dalam urusan menerima; Aku. Kau hati pemaaf yang paling luar biasa yang pernah aku punya. Iya, sudah ku janjikan hatiku ribuan menit yang lalu, maka miliaran detik setelahnya aku benar punyamu. Aku tak bergurau, bukan?




Cerita Tadi Malam

Malam tadi aku terjaga ketika fajar belum muncul di ujung sana. Terbangun ketika roh saling berpendaran melepaskan diri dari raganya. Yang aku dengar hanya denting jarum jam yang melaju sesuai perhitungannya. Kamarku hanya di terangi cahaya remang kuning dari lampu tidur berbentuk menara terindah yang sekarang masih sekedar angan. Tiba-tiba dadaku terasa sesak, aku merindu lelaki kecintaanku yang mungkin sedang bermimpi indah bersama bidadari surga. Mungkin sedang disuguhi segelas anggur sampai mabuk kepayang oleh para bidadari cantik rupawan.

Aku masih terselungkuk dibalik selimut coklat pengganti pelukan. Sekedar untuk menghangatkanku sebab aku tak suka suhu dingin yang menusuk. Kemudian segaris tawa mulai mengencangkan pipiku. Aku tertawa tanpa suara, ciut mengaku pada diriku bahwa aku telah sampai pada titik paling cinta. Aku harap ini bukan sekedar fatamorgana.

Tubuhku masih tertidur miring berbalut selimut hangat dalam ruang gelap sedikit cahaya. Sementara pikiranku sangatlah berderang karena aku tak lagi ragu tentang jalanku. Tak lagi ragu untuk tak meragukanmu. Bagiku kamu perjalanan beribu langkah. Aku pastikan aku tak akan menyerah selama kamu tak merasa lelah

Seperti katamu "aku lelaki yang disini untukmu, masih untukmu, dan tetap untukmu"
maka akupun akan begitu.

Jika kamu melihat keindahan dunia yang lain selain aku, lalu kamu mulai mengucap kekaguman dan mengarahkan pandanganmu lurus padanya, mengeja apa yang ada padanya dan tak ada padaku, tahukah, Sayang? aku akan mencoba agar tak mengemis padamu untuk setia. Dan aku yakin setelahnya kamu akan murka pula menghakimiku kalau selama ini aku tak cinta. Bukan aku tak cinta, Sayang. Hanya inginku untuk tahu seberapa kuat kesetianmu padaku, iya, padaku.

Sudah ku bilang aku tak meragu untuk tak lagi meragukanmu, maka ragumu padaku cepatlah mundur. Aku tak ingin pikiranmu penuh oleh pikiran negatif yang terlalu, juga oleh ketakutan yang rasanya sangat mengganggu

Ponselku menunjukkan angka 03:09 pada layarnya. Perjalanan fajar masih cukup jauh untuk sekedar aku habiskan ingatan tentangmu. Aku memutuskan untuk kembali terlelap. Sebelumnya, aku mengecupmu lewat mimpi. Iya, mimpimu.

Selamat malam, kamu....




Jumat, 28 Juni 2013

Kita Memulai Ini

Kita memulai ini melalui tawa, kemudian dengan sadar mulai saling mengukir luka. Mulai dengan angkuh bertindak seperti tak pernah bertemu apalagi bersama. Jemari sudah mulai tak minat untuk memeluk, percakapan perlahan menjadi mahal. Semua tak lagi sama. Berbeda.

Kita memulai ini melalui ketidaksengajaan. Memaksa masuk melalui celah hitam yang tak seharusnya kita masuk kedalamnya. Dimana rasa tumbuh seiring terjalinnya kebersamaan dalam hubungan yang tak memestinya. Dalam posisi seperti tiga garis. Tiga sisi.

Kita memulai ini melalui ketidakpuasan. Terhadap masing-masing belahan jiwa yang kini telah terdampar dan menjelma menjadi sobekan-sobekan kisah lalu. Menjadi bagian lama yang sepertinya enggan sekali untuk di buka bahkan hanya untuk sekedar belajar dari luka. Dari sesal.



Kita memulai ini beratus-beratus putaran malam yang lalu, dan hingga kini masih tak berarah. Salah?



Tentang Aku

Bagaimana bila menjadi aku?
Dan bagaimana rasanya bila menjadi kamu?

Aku hanya berpikir apakah aku pernah mengisi sedikit pikiranmu?
Sebab nyatanya pikiranku meluap, melebur, melebar, dan meluber semua hal tentangmu.
Ini tak bisa aku persempit atau aku isi dengan yang lain, tetap kamu yang mendominasi.
Sudah ku bulatkan tekad untuk tak lagi mengorek luka juga kenangan tentangmu.
Faktanya tekadku tak pernah aku bentuk dengan bulat, hanya setengah jadi kemudian hancur dan lebur.

Aku bertahan dan belaga kuat dalam keadaan paling lemah.
Aku bersabar dan bersabar dalam keadaan teramat lelah.
Masih, masih tentang perubahan sikapmu itu.
Tentang kamu yang kemudian menjadi asing, bahkan tanpa sebab yang ku tahu pasti.
Ini membebani. Terutama hati juga nurani.

Aku masih sibuk mencari cara, untuk mampu meruntuhkan dinding baja acuhmu itu dan melelehkan gunung es pada hatimu yang sudah membeku sekian waktu.
Masih memutar otak mencari celah kemungkinan mana yang harus aku tempuh untuk dapat membuatmu membuka mulut, kepadaku.
Aku tak peduli tentang resiko, aku tak mau menjadi pencundang yang ciut pada konsekuensi; apalagi tentangmu.
Aku meminta sepermenit waktu hidupmu untuk sebuah kejelasan, sebuah kepastian.

Haruskah aku berhenti berjalan atau terus bertahan?
Aku tak berminat mencari jalan lain.
Sudah terlalu jauh untukku pulang.
Sudah terlalu panjang untuk dengan mudah aku lipat.
Maka diammu cepatlah usai.
Aku muak berdiam diri dalam keadaan gusar.
Dan tak kunjung pula membuatmu sadar.
Tentang cintaku yang tak juga pudar.



Tentang aku yang memaksa diri untuk terus bersabar.




Masih Dan Tetap Untukmu

Setiap degup jantungmu menjadi saksi
menyaksikan segala kesaksian tulus bahasa tubuhmu mengaku cinta
bibirmu berkata sayang
juga peluhmu mengukir lelah

Aku pernah melihatmu dalam keadaan paling lemah
Juga dirimu dalam keadaan paling kuat
Pernah mendengar kamu tertawa sangat bahagia
Pula mendengarmu merintih bersedih karena luka

Tuhan mencintaimu lebih dari cintaku terhadapmu
Jangan lagi kamu sibuk meraba maksud Dia
Isyarat Tuhan bermaksud menjadikanmu sebagai yang terbaik
Untukku

Aku mengerti atas segala bentuk ketulusanmu setiap kamu menatapku
Bentuk kecintaanmu yang tak seorangpun dapat mengukur
Sekalipun kamu

Aku merasakan setiap sayang yang mejalar ketika sela jariku terisi
Bentuk tak ingin lepas meski siapapun mencoba merampas
Sekalipun mereka

Aku melihat rasa tak percaya juga ragu yang masih melekat pada celah matamu
Tentang aku, cintaku, juga hatiku
Sekalipun aku bersumpah

Aku paham tentang rasa takutmu pada apa yang tak perlu di anggap ada
Tentang perubahan, tentang perpisahan, atau takdir yang diluar ekspetasi harapanmu
Sekalipun Tuhan punya kuasa

Tak jarang aku berkata ‘aku disini untukmu, masih untukmu, dan tetap untukmu’
Maka akan selalu aku pertegas, akan selalu aku ucap
Bahwa aku untukmu, masih untukmu, dan tetap untukmu
Sampai ragu dan takutmu, terbakas habis dan melebur menjadi abu
Sampai mereka semua yang meragukanmu diam dan membisu
Sampai seluruh alam dan konspirasinya mengaku

Bahwa aku....mutlak punyamu



Sabtu, 08 Juni 2013

Terimakasih II

Lagi-lagi aku di buat takjub, tentang semuanya, apapun itu, darinya. Ini tentang orang yang sama pada tulisanku tepat satu tahun silam. Juga tentang inti yang sama bahwa aku ingin mengucap banyak ucapan terimakasih, lagi dan lagi untuk semuanya, apapun itu, darinya. Mungkin setiap tahun aku akan membuat tulisan dengan judul dan tentang siapa yang sama saja, aku harap, semoga tetap tentang orang yang sama.

Namun kali ini lain cerita, jauh berbeda, benar-benar tak sama. Kali ini mulutku masih sibuk merapal ucapan syukur, punyaimu. Masih sibuk mengucap terimakasih kepada Tuhan, aku dititipkan padamu. Ini memang sudah saatnya aku bersyukur karenamu.

Bila ada yang bertanya bagaimana bisa? entahlah, akupun masih dalam keadaan bertanya pada diri sendiri "bagaimana bisa?"

Bila ada lagi yang bertanya bagaimana prosesnya? semuanya karena tempat lain yang aku tempati tak pernah sama. 

Bila lagi dan lagi ada yang bertanya siapakah? jawabannya, dia. Yang dulu hanya aku abaikan, dan sekarang justru aku banggakan.

Jika sebelumnya aku pernah menulis kisah tentang bulan dan mentari, maka aku tegaskan kita bukanlah bulan dengan mentari, ataupun hujan dengan teduh, yang ditakdirkan bersama namun jalannya tak beriringan. Anggap saja seperti bumi dan semesta, aku ada karena kau telah tercipta.

Aku dihadapanmu tak akan banyak berkata manis, tak akan mampu bersenandung indah, aku hanya bisa menyampaikannya lewat tulisan. Ya, seperti yang kau tahu.

Sekali lagi, terimakasih, Sayang...

Ini permintaanmu untuk hadiah dengan nomer urut 10. Pada kupu-kupu kertas berwarna merah; membuat tulisan tentangmu.



Dari aku, 


Bekasi, H+1 7613.



Sabtu, 01 Juni 2013

Kali Ini

Aku lebih suka menulis sesuatu tentang luka
Aku tak tahu bagaimana cara meluapkan rasa bahagia pada tinta
Aku tak paham bagaimana mengeja tawa pada kata
Yang aku tahu, luka sangat mudah aku buka

Kali ini aku bicara tentang luka
Tentang kecewa yang memaksa aku tetap tertawa
dalam keadaan lupa bagaimana cara untuk bahagia

Kali ini aku bicara tentang kita
yang bersama dalam suatu kondisi yang tak lagi sama
seperti merasa lelah pada cinta
merasa sudah menyerah dan nyaris mati rasa
namun memaksa hati untuk bertahan lebih lama

Kali ini aku ingin bertanya
Akankah kita selamanya?
Terbelenggu dalam ruang penuh duka
Namun hati terlanjur mencinta
Juga candu yang kian membabi buta

Kali ini aku ingin kamu mendengar
Bahwa hatiku telah penuh dengan memar
Bahwa inginku kamu sadar

Tentang rasa yang kian pudar






Kamis, 23 Mei 2013

Rindu Setengah Mati

Aku menulis ini dalam keadaan rindu setengah mati
Dalam keadaan sudah terlalu sulit untuk berdiri
Sepi, sendiri

Aku ingin semua ini kembali ramai
Aku ingin semua ini kembali bingar
Aku ingin semua yang tak lagi sama kembali sama
Aku ingin, aku benci seperti ini

Seperti ketika aku menelusuri setapak yang terpencil
Tak ada cahaya yang menuntun
Hanya suara angin yang sibuk berderu ditelingaku
Mengelus lembut bulu romaku
Bukan lagi kamu

Sudah ku bulang aku benci
Aku benci seperti ini
Berada dalam keadaan rindu setengah mati
Pada apa yang telah aku tinggal pergi

Aku ingin kembali

Sudah ku bilang aku ingin bingar
Aku ingin lagi dan lagi mendengar
Suaramu yang telah lama hilang tak terdengar

Aku ingin berlari
Tetapi hatiku menolak pergi

Aku rindu setengah mati


Lagi & lagi, untuk:


Sahabatku

Selasa, 21 Mei 2013

Sebuah Tanda Pasti

Aku membanting habis seluruh lelahku juga sabarku
Aku pertaruhkan apa yang sebelumnya tak pernah aku serahkan
Akupun berjalan tertatih tanpa satu tanda kepastian

Mari kita bertaruh luka
Mari kita hitung berapa kali kau ciptakan duka

Ah, tapi aku tak ingin mengungkit
tak ingin menghitung, lalu menawar paksa sebuah balasan
Aku ingin semuanya berjalan atas dasar ketulusan
Tanpa sedikitpun paksaan juga tekanan

Apa yang kurang dari apa yang ku beri?
Apa yang tak aku penuhi?
Apa yang tak aku turuti?

Aku sampai pada bagian dimana aku mulai bertanya untuk apa semua ini aku perjuangkan
Jelas, untukmu
Tapi beri sedikit titik terang haruskah aku berhenti atau terus berjalan
Aku ingin dan teramat butuh sebuah kepastian

Iya, aku butuh

Maka sekali lagi
Mari kita bertaruh luka
Agar tak lagi tercipta sebuah duka

Agar aku tahu, untuk apa aku ada



Sandiwara

Aku memang bukan seorang pekerja seni
Atau untuk lebih spesifik bukan seorang yang memperdalam dunia peran
Tapi ku rasa aku sudah mampu menciptakan drama

Bukan maksud atau inginku untuk berpura-pura dengan sengaja
Hanya saja ini untuk kebaikan kita bersama
Sebab kita memang sudah tak lagi bersama

Aku berpura-pura seolah aku lebih bahagia
Aku menyusun kondisi seolah aku tampak baik saja

Nyatanya aku terluka

Aku tertawa dan memasang topeng ceria
Di hadapanmu
Kamu menunduk, kelu
Merasa tak berhasil membahagiakanku

Setelahnya aku melepas topeng palsuku dibalik punggungmu
Lalu menangis sajadi-jadinya
Karena tak mampu menemukan kebahagiaan yang sama
Yang serupa

Lalu mengapa aku harus bersandiwara?
Sebab lelah pula kecewa darimu juga tak ada tandingannya
Kamu yang meremas hatiku dalam satu detik menjadi banyak keping
Dan mampu merangkainya kembali dengan sempurna pada detik setelahnya
Sungguh kamu pemenang!

Dan apa kamu sadar?
Seandainya aku menghitung berapa bekas luka yang kau gurat secara nyata
Aku yakin, jariku tak cukup mewakilinya

Untuk itu aku bersandiwara
Dan berjanji akan berhenti saat ku pikir aku mulai terbiasa
Sampai menemukan kebahagiaan lain pada suatu masa

Bukan denganmu, Sayang...


Untuk sahabatku sayang;)






Aku dan Mereka

Sering kali aku merasa kikuk pada ruang lingkupku
Padahal itu duniaku, separuh waktuku habis untuk itu
Aku pernah tertawa juga menangis dalam dekapan, kala itu

Mereka

Tak jarang aku merasa asing pada sosok-sosok yang ku anggap segalanya
Padahal tingkah tolol mereka sering memecahkan suasana hati yang gundah

Iya, mereka

Aku meluapkan apapun yang membebani hati juga pikiranku dengan leluasa
Sampai menangis, pilu, marah, kecewa aku tumpahkan dalam satu tangisan
Kemudian aku di buat sesak juga tenang dalam pelukan atas dasar sayang

Tentu saja, mereka

Bingungku sering sekali menghambat kerja sel di organ maha luar biasa
yang mengisi tempurung kepalaku
Kemudian jutaan kalimat masuk ke dalam indra pedengaranku
Mengucap saran, nasihat, juga jalan pintas tentang apa yang terbaik untukku
Aku di buat tenang, di buat tahu

Masih, masih mereka

Terakhir
Aku sudah berkali-kali sampai di bagian titik merindukan masa lalu
Merasa sendiri sebab kita tak lagi satu dan tetap saja sibuk bersikukuh kita akan tetap menjadi satu
Meski nyatanya kita tak lagi memiliki banyak waktu seperti dulu

Aku merindukan tawa riang yang pecah bersama-sama
merindukan pelukan itu
merindukan petuah itu

Jangan bertanya lagi, jelas...itu mereka

Sahabatku, segalanya...



Untuk kalian:


7 perempuan hebat :)

Senin, 20 Mei 2013

Aku Harap Selamanya

Aku masih meraba
Bagaimana jika Tuhan tak mempertemukan aku denganmu
Apa aku akan merasa bahagia bila dengan yang lain?

Ah, aku tak peduli
Nyatanya Tuhan berbaik hati
Dia menciptakanmu untuk aku miliki
Untuk aku seorang diri

Kita melewati banyak putaran kisah
Melewati ribuan putaran detik
Meninggalkan jejak kenangan di berbagai tempat
Merangkai mimpi gila untuk berdua

Aku bahagia, denganmu

Tawa dan duka sudah tak asing bagi kita
Justru aku yakin itu pelengkap kebahagiaan
Sebab hadirmu seperti hadiah yang sengaja Tuhan beri padaku

Ini seperti cinta pertama
Juga seperti cinta yang terakhir
Aku tak ingin dengan yang lain

Aku harap, ini selamanya


Aku Menciptakan Jarak

Cerita kita sudah berakhir
Kamu memberi aku jalan pergi
Dan kamu mempersilahkan aku untuk berlari

Darimu

Aku tak lagi punyamu
Tak lagi milikmu
Meski cintamu tetap untukku, katamu

Aku hanya sebuah potongan cerita lalu
Yang seharusnya sudah mampu kau lipat rapi di memori kenangan
Aku hanya sebuah masa lalu
Yang seharusnya sudah tak lagi kamu prioritaskan

Aku menciptakan jarak
Aku menyempitkan waktu untuk denganmu
Aku melepas perlahan sikap manisku, padamu

Aku sedang berjalan beriringan dengan yang tersayang
Yang ku pilih, yang benar memilikiku
Dan sayang, pahamilah
Itu bukan kamu
Tak lagi kamu

Maka aku, menciptakan jarak
Untuk kebaikanku, kamu, juga dia

Walau sebenarnya, aku juga nyaris mati
Melihatmu seorang diri
Merapikan segala cerita yang telah kita akhiri
Segala kenangan yang kita lalui

Aku pamit pergi


Jatuh Cinta Dalam Diam

Kau tahu rasanya jatuh cinta dalam diam?
Rasanya seperti menyimpan ambisi dan obsesi seorang diri

Aku menyaksikanmu dalam jarak yang tak kau ketahui
Aku tersenyum bahagia meski hanya menatapmu saja
Di balik tembok pembatas ini
Sebuah dinding yang bertuliskan bahwa kau sekedar angan

Tanganku ingin menggapaimu
Bila mampu memelukmu
Berkata kau milikku dan aku milikmu
Dan berteriak pada dunia bahwa kamu semestaku

Aku tak pernah lupa pada realita
Bahwa kamu tak sesungguhnya nyata
Untuk dapat leluasa berkata padamu kalau selama ini aku cinta

Kau tahu rasanya jatuh cinta dalam diam?
Rasanya seperti menyaksikan segala hal tentangmu
Termasuk ketika tanganmu merangkul dia

Kau tahu rasanya jatuh cinta dalam diam?
Seperti berada pada goa hitam
Aku berteriak dan tak ada yang mendengar

Kau tahu rasanya jatuh cinta dalam diam?
Seperti menebak langit abu-abu
Seperti menyimpulkan senyum palsu

Seperti menebak
Bagaimana kamu terhadapku


Kau Paham Kata Lelah?

Sudah berapa kali aku bilang aku sekarat?
Sudah berapa kali aku berkata aku tak kuat?
Sudah berapa kali aku mengeluh jangan sampai kau terlambat?

Sayang, aku mencintaimu dan kau paham itu
Aku menomorsatukanmu dan kau?
Bahkan tak memasukkan aku pada nominal manapun

Kau paham kata lelah?
Aku menderita, terluka
Dan kau asyik tertawa

Aku tertarih, merintih, bersedih
dan kau semakin menjadi

Aku menopang tubuhku, cintaku, harapanku
dan kau?
Asyik dengan duniamu tanpa memperdulikan aku

Iya, aku
Yang kau bilang segalanya
Yang kau bilang tak ada duanya
Aku anggap itu sandiwara
Atau hanya sebuah drama
Tapi katamu itu semua benar adanya

Sampai akhirnya
Kita tak lagi bersama

Aku harap kau paham kata lelah
Dan tahukah?
Rinduku, masih mutlak punyamu

Kamu

Jumat, 17 Mei 2013

Ajari Aku

Kita sudah melewati banyak percakapan.
Bukankah kita memang mengenal hanya melalui dunia nyata saja?
Aku senang, sungguh. Meski ketika tak lagi disampingmu aku harus diam meringis menahan rindu.

Hey! kau berhasil menerbangkan harapan besarku untuk bersamamu ke udara.
Terbang bebas, dan tinggi.
Lalu tiba-tiba tubuhmu seperti kerasukan entah makhluk apa yang juga mempengaruhi perubahan sikapmu itu, maksudku kepadaku. Menjadi dingin, menjadi bisu, aku merasa asing.
Rasanya kamu seperti memanah balon udara besar harapanku yang terlanjur terbang tinggi, lalu panahanmu melesat tepat dan mendaratkan harapan itu dengan kasar menuju bumi.

Sudah berapa kali aku bertanya mengapa? dan jawabanmu tetap saja abstrak.
Sudah berapa jarak yang berusaha kau ciptakan setiap kali aku menawar ingin bertemu? dan sesering itu pula aku memotong jarak itu sendirian dengan segala ketidakpahamanku, tentang perubahan sikapmu yang datang tanpa peringatan, aku tak siap.

Tanda tanya ini aku analisis seorang diri, berharap paham dan mengerti.
Tapi nyatanya, diammu masih merajai.

Ajari aku, untuk mengerti apa yang tak aku mengerti.
Ajari aku, untuk bisa tahu apa maumu meski kamu tak mengucap satu katapun.
Ajari aku, untuk melipat tanya besar ini dan memperbaiki segala hal dariku yang bagimu itu salah.
Ajari aku, maka aku berjanji akan menjadi segalanya.

Untukmu.




Kau Bulan, Aku? Sepertinya Mentari

Semalam aku sibuk. kau tahu? aku sibuk mencari jawab mengapa jalan kita seperti ini.
Iya, kita seperti bulan dan mentari, satu pasang bukan? tetapi tidak ditakdirkan untuk beriringan. Aku rasa kita seperti itu.

Semalam aku memutar ulang rekaman lama perjalan panjang kita, jujur saja, sebenarnya setiap hari selalu aku putar ulang. Tapi anggap saja kau tak tahu ya, sebab aku takut kau paham bahwa aku terlalu cinta terhadapmu, dan setiap kali aku memutar ulang cerita kita, rasa bahagianya kembali datang dan entah hal magis apa aku tak paham, tetapi aku selalu saja tersenyum tanpa inginku. Meski jujur, rasa pedih masih mendampingi. Ini rasanya miris.

Uhm, kau bahagia dengannya? aku harap begitu, sebab kebahagianmu bukan denganku. Sekalipun kenyataannya bahagiaku hanya bersamamu. Denganmu saja, yang lain tak mampu sama.

Semalam aku gelisah, memikirkan bagaimana aku setelah hari ini, sebab kenyataan melulu berteriak agar aku mulai melangkah untuk beranjak, iya, darimu.

Tunggu, kau tak mau tahu ya bagaimana beratnya langkah kakiku untuk menjauh darimu bahkan barang satu langkah saja? ah, memang kau tak pernah mau tahu tentang ku, aku rasa. Padahal tentangmu tak ada yang tak aku tahu.

Semalam aku melihat langit di malam hari. Sendiri, ya tentu saja sendiri, aku tak punya siapapun lagi setelah aku memutuskan akan melangkah pergi darimu. Aku melihat Bulan, iya kamu, anggap saja kamu bulan, dan dia, laki-laki yang kini mendominasi isi pesan singkatmu, yang mengisi celah jarimu, yang mengelus lembut rambutmu itu, adalah Bintang. Kalian bersama, beriringan, pasti kalian bahagia, akupun begitu selama kamu bahagia. Apa? tidak, aku tidak berbohong. Tentu saja aku akan bahagia melihatmu bahagia. Aku? Kau anggap saja aku ini Mentari, sudah ku bilang dari awal kan, kita tak beriringan, maka benar, aku memang Mentari. Tak di takdirkan beriringan dengan Bulan, kamu.




Ditulis untuk sahabat, dari aku:

Sahabatmu.

Sabtu, 11 Mei 2013

Manusia Di Persimpangan


“sedang apa?”

“menunggu seseorang.” Jawabku.

“memangnya sudah pasti datang?”

Pertanyaan itu membuat tenggorokanku mendadak kemarau. Aku hanya menelan ludah, sementara pandanganku tetap tertuju pada satu arah. Aku duduk di sisi batu karang dibagian barat pantai, sembari sesekali melempar kerikil ke tengah pantai.

“kenapa diam?”

Perempuan ini duduk disebelah kananku, kakinya dibiarkan mengayun disisi batu karang, kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, membuka sebuah buku bercover usang, tetapi antik.

“kenapa harus banyak bicara?” jawabku, mengalihkan pandanganku darinya dan memperhatikan sekitar pantai. Angin bertiup kencang, suara ombak yang beradu dengan karang ikut serta menemaniku. Angin sibuk memainkan rambutku, juga rambut hitam legam sepinggang perempuan yang tak ku kenal ini.

“kenapa hanya diam menunggu? Jika masih mampu bergerak?”

Kau tahu? Kalimatnya menamparku telak. Mataku terbelalak, tetapi aku tak berminat menatap lekat pada siapa yang baru saja mengeluarkan kalimat itu dengan santai kepadaku.

“dia bilang, dia pasti datang.” Aku berbohong.

“bagaimana kalau ternyata dia lupa jalan pulang? Atau bahkan lupa ada seseorang yang diam menunggunya disini?”

“dia...pasti ingat keduanya.”

“lantas, kenapa masih belum juga datang?”

Entah kalimat apa yang paling layak aku utarakan untuk perempuan ini. Gadis mungil dengan ballpoin berwarna merah dengan bandul kepala tokoh Elmo dibagian ujung ballpoin, Elmo yang sedang tertawa lebar tak tahu apa-apa. Rasanya ingin aku rampas buku usang ditangannya dan ku sobek sambil berkata “apa yang kau tahu????hah???” untung saja dia terlalu lugu, aku tak sampai hati. Dan aku masih ingin sibuk menunggu.

“mungkin sedang dalam perjalanan pulang.” Jawabku, singkat. Aku tak berminat bicara banyak.

“bersama orang lain?” Pandangannya tetap menunduk.

“hey! Apa yang kau tahu tentangku???” aku lepas kendali.

“katanya tak mau banyak bicara.” Jarinya masih tetap sibuk bergerak menumpahkan tinta, sampai aku tak di gubris.

“kalau mau tetap disini, diam. Kalau tak bisa diam, sebaiknya cari tempat lain.”

“kalau mau mendapatkan apa yang kau mau, jangan diam. Kalau hanya diam, cari saja batu karang lain yang tak pernah terkikis habis untuk di duduki lelaki pasif sepertimu.” Ia tetap menulis, dan menulis.

Aku mengepal telapak tanganku dengan kuat, mengalirkan seluruh emosi dan amarahku pada satu titik pusat. Dia berdiri tanpa sedikitpun menatapku, lalu pergi meninggalkan aku di tempat aku terdiam selama berjam-jam setiap harinya, ditemani senja, angin pantai, juga desir ombak. Menunggu kedatangan seseorang, yang sejujurnya tak pernah berjanji akan kembali untukku, tapi entah alasan apa yang begitu meyakinkan aku bahwa aku akan bertemu kembali disini, ditempat terakhir pertemuan itu.




***




            Aku mencari ballpoin kepunyaanku di meja belajar Clara, adikku. Meja belajarnya berantakan, tapi aku yakin hatiku juga arah hidupku masih lebih berantakan dari pada ini. Novel-novel, majalah remaja perempuan tak tertata dengan rapih, tak ada buku berbobot yang mengandung unsur pelajaran, sepertinya adikku terpengaruh gaya hidup perempuan labil metropolitan. Aku mengangkat semua novel serta majalah dan mencari Ballpoin berwarna  silver white buah tangan dari Bangkok, saat Ayahku bertugas disana.

            “Manusia Di Persimpangan.” Ucapku pelan.

Aku memegang sebuah novel roman remaja milik adikku, bercover merah pekat dengan ilustrasi design sebuah siluet seorang lelaki sedang berdiri di depan dua jalan gelap yang bersimpangan. Tertulis Adiya Melia di depan bagian bawah cover novel ini, sepertinya ini nama dari penulisnya. Lantas aku membalik buku ditangan ku ini, membaca sinopsisnya dibagian cover belakang, yang tertulis:

“Kepada kamu yang menyampaikan telapak kakiku di depan persimpangan ini. Menemani langkahku hingga sampai di tempatku berdiri kini, di depan dua buah jalan berbeda yang memaksaku untuk memilih salah satu dari keduanya. Jalan yang aku tak tahu akan kutemui apa dan bagaimana. Aku berdiri diam di tempat ini, diam, tak ingin melangkah satu kalipun, sebab aku masih menyimpan sedikit harapan untuk melihat bayanganmu datang dari kejauhan menuju tempat ku berdiri, atau memeluk punggungku dari belakang, untuk kembali, sekalipun kemungkinan itu hanya setipis jaring laba-laba. Meski katamu dulu, aku hanya perlu memilih satu jalan, antara pergi melanjutkan, atau kembali untuk pulang, tetapi tak ada kamu pada keduanya.

Alasan aku tetap diam dipersimpangan ini karena aku menantikan jalan lain yang barangkali saja tercipta dan di dalamnya ada kamu, meski sempit, sesak, dan semu. Selama itu denganmu kau pikir aku peduli? Tidak. Terhitung sejak kepergianmu aku tak memiliki arah lagi, tak berminat memilih jalan lain selain menunggu kepulanganmu yang tak pasti. Terhitung sejak kepergianmu harapanku mulai menipis dan terkikis, impianku, anganku, semuanya melangkah menjauh dariku, terutama tentang kamu, nyaris mati. Tapi aku masih berdiri di persimpangan ini, sendiri, menanti, untuk sebuah jalan yang disana kuharap ada aku denganmu beriringan. Aku, manusia dipersimpangan.”

            “Lumayan.”

            Kemudian aku membuka biografi penulis dibalik cover belakang, setelah lembar halaman terakhir. Aku melihat seorang gadis perempuan mungil dengan rambut hitam legam sepinggang, memangku buku usang yang antik, dan di tengah-tengah buku yang ia genggam terselip sebuah ballpoin merah berbandul Elmo, ia sedang tersenyum manis menatap kemera.




***




“sedang apa? Menunggu seseorang? Memang sudah pasti datang? Kalau dia lupa jalan pulang atau lupa ada yang menunggunya bagaimana?” Kataku.

            Aku berdiri disampingnya, memasukkan telapak tangan kananku ke dalam saku jaket, sementara tangan kiriku memegang novel roman remaja bercover merah pekat yang aku beli beberapa waktu lalu. Pandanganku tertuju lurus ke depan, memperhatikan senja di tepi pantai, menelaah keindahan karya Tuhan. Sementara gadis mungil ini menatap apa yang ku pegang lalu mengangkat kepalanya perlahan dan menatap parasku, kemudian tertawa kecil tanpa suara.

“Ya...aku menunggu seseorang. Dan baru saja orang yang ku tunggu tiba. Tak sepertimu.” Nadanya meledek.

“hah? Kau menungguku?”

“ya, sepertinya. Aku menulis Manusia Di Persimpangan berbulan-bulan yang lalu, terinspirasi dari cerita sahabatku, sekarang dia melanjutkan studynya di Turki. Namanya Quamilla Faradhisa, sudah pasti kau mengenalnya.  Dia bercerita tentangmu, kebetulan aku seorang penulis, dan cerita tentangmu yang Milla ceritakan cukup menarik.” Jelasnya.

Aku benar-benar kehabisan udara, sesak. Apalagi mendengar nama perempuan yang sudah lama tak aku temui sosoknya. Dan ku tunggu hadirnya, disini, di batu karang bagian barat pantai.

“Bulan ini dia pulang ke Indonesia, membawa Ibrahim, kekasihnya selama 3 tahun dia kuliah di Turki.”

Demi tuhan! Paru-paruku di remas habis-habisan.

“ Jadi nanti disaat kamu mendapatinya kembali di tempatmu berdiri, menunggu dan menanti setiap hari, jangan lemah dan lemas ya, jika tangannya menggegam tangan orang lain. Sudah pasti itu Ibrahim.”

Oksigen entah mengumpat di sudut bumi bagian mana. Aku rasanya sekarat.

“Aku tahu, waktu 3 tiga tahun yang kau habiskan bersama Milla tak singkat. Juga kepergian Milla yang tanpa peringatan membuatmu tak pernah sepenuhnya rela bahkan sampai detik ini. Tapi bukankah hidup hanya sebatas jatuh cinta lalu patah hati dan terus berulang seperti itu?”

Rasanya seluruh syarafku mengencang, kemudiam terjadi keram luar biasa, mengalirkan rasa sakit yang terlampau sulit aku gambarkan. Rasanya ngilu.

“Kamu, Andreas Saputra Widjaya, manusia di persimpangan yang ku maksud, yang kuharap terhitung hari ini sudah tau jalan mana yang sepatutnya kau pilih.”

Gadis ini mengambil buku yang ku pegang, aku masih tercengang, perlahan celah mataku mulai berair, aku merasa sangat payah sebagai lelaki. Dia menandatangani novel ini dengan pesan:

Tuhan tak pernah salah perhitungan dalam menulis takdir ;)

            Aku masih belum bergerak, ia kembali menyelipkan novel ini di telapak tanganku, aku masih tetap diam saja. Kemudian dia menepuk pundakku, tersenyum, lalu pergi. Entah harus ku sebut apa gadis ini, malaikat pembawa kabar buruk, atau justru kabar baik. Sebab darinya aku tahu, tak perlu lagi aku membuang waktu. Ternyata aku yang dia maksud sebagai Manusia Di Persimpangan, ya, ternyata aku.